
Oleh : Dosen dan Peneliti Kajian Islam dan Masyarakat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Tulus Musthofa
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika Zohran Mamdani diumumkan sebagai wali kota baru New York, sorak kemenangan di jalan-jalan Queens bukan hanya ekspresi politik, tetapi gema sejarah. Untuk pertama kalinya, kota paling kosmopolitan di dunia dipimpin oleh seorang Muslim keturunan imigran Afrika dan India. Dalam dirinya, terjalin kisah diaspora, perjuangan kelas pekerja, dan harapan komunitas minoritas yang selama dua dekade terakhir harus hidup dalam bayang-bayang Islamofobia.
Namun, kemenangan ini bukan sekadar simbol “Muslim pertama” yang menembus dinding kekuasaan. Zohran Mamdani tampil bukan dengan bendera identitas, tetapi dengan visi sosial yang inklusif.
Dalam pidato kemenangannya, ia berbicara bukan tentang Islam, tetapi tentang hope—harapan, keadilan, dan keberpihakan kepada warga kecil. Ia menutup pidatonya dengan kalimat yang kini viral di media dunia: “We build not through fear, but through care.” Kata “care” itu, dalam konteks politik Amerika, adalah perlawanan terhadap politik kebencian.
Dari Queens ke Dunia
Zohran Mamdani lahir di Kampala, Uganda, dan besar di Amerika. Ia tumbuh dalam dua dunia: warisan Islam Afrika Timur dan realitas kapitalisme Amerika. Ia bukan ulama, bukan aktivis masjid, tetapi politisi muda yang percaya bahwa perjuangan sosial adalah bentuk spiritualitas baru. Selama kampanye, ia menolak memusatkan identitas keagamaannya. Ia berbicara tentang transportasi publik, pajak korporasi, dan perumahan rakyat. Justru karena itu, kemenangannya menjadi bukti bahwa umat Islam bisa berkontribusi di ruang publik tanpa terjebak pada label “politik identitas”.
Pendekatan ini mengingatkan kita pada Sadiq Khan di London dan Ahmed Aboutaleb di Rotterdam—dua pemimpin Muslim Eropa yang berhasil menyeimbangkan iman dan inklusivitas. Mereka membuktikan bahwa menjadi Muslim di Barat bukan penghalang untuk menjadi pemimpin semua warga. Tetapi sejarah juga mencatat: setiap kemenangan Muslim di panggung politik Barat selalu diikuti dengan gelombang kecil Islamofobia.
Di Inggris, kemenangan Khan disambut dengan ratusan meme bernuansa rasis. Di Belanda, Aboutaleb kerap dijadikan sasaran ujaran kebencian. Di Skotlandia, Humza Yousaf menghadapi kampanye anti-Muslim begitu dilantik.