
Oleh : Supriyono, Direktur Pengendalian Kualitas Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi ambruknya bangunan pesantren yang menewaskan puluhan santri kembali mengguncang nurani bangsa. Peristiwa memilukan ini bukan sekadar kecelakaan atau takdir, bisa juga sebagai cermin lemahnya tata kelola keselamatan bangunan pendidikan keagamaan di Indonesia. Duka mendalam itu seharusnya menjadi peringatan bahwa keselamatan santri harus menjadi prioritas bersama, bukan sekadar urusan sesaat setelah tragedi terjadi.
Kasus ambruknya struktur bangunan pesantren bukan hal baru. Contoh terbaru terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, pada 29 September 2025. Bangunan tiga lantai, yang juga berfungsi sebagai musholla, di kompleks tersebut runtuh, Basarnas melaporkan terdapat 67 santri yang meninggal dunia dan 104 orang mengalami luka-luka baik ringan maupun berat. Sebelumnya, masyarakat juga dihebohkan dengan robohnya gedung madrasah di Lombok yang ambruk akibat gempa ringan pada 2021. Semua menunjukkan pola serupa bahwa bangunan tidak memenuhi standar teknis, tanpa pemeriksaan kelayakan, dan kerap dibangun secara swadaya tanpa pendampingan ahli konstruksi.
Data Kementerian Agama tahun 2025 mencatat, dari 42.433 pesantren di Indonesia, hanya sekitar 50 pesantren yang memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) atau dokumen legal sejenis seperti Persetujuan Bangunan Gedung. Artinya, lebih dari 99 persen pesantren berdiri tanpa sertifikasi teknis yang menjamin keamanan fisiknya. Kondisi ini menggambarkan lemahnya tata kelola keselamatan fasilitas pendidikan berbasis masyarakat.
Sebagian besar pesantren dibangun bertahap, mengikuti kemampuan dana yang terbatas. Banyak diantaranya berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka atau regulasi bangunan modern diberlakukan. Dalam situasi seperti ini, aspek teknis dan keamanan sering diabaikan demi efisiensi biaya dan percepatan pembangunan.
Asuransi Syariah Lebih dari Sekadar Santunan
Dalam praktik asuransi modern, terdapat mekanisme survei risiko sebelum polis diterbitkan. Petugas survei akan menilai kekuatan struktur, instalasi listrik, sistem pemadam kebakaran, jalur evakuasi, hingga kebiasaan penghuni bangunan. Hasil penilaian tersebut menghasilkan rekomendasi perbaikan (risk improvement plan). Jika rekomendasi dipenuhi, tingkat risiko menurun dan premi bisa lebih rendah. Sebaliknya, jika risiko tinggi dan tidak ada upaya mitigasi, perusahaan asuransi dapat menolak memberikan polis.
Konsep ini juga berlaku pada asuransi syariah, dengan prinsip kerja sama dan tolong-menolong antarpeserta. Selain memberikan perlindungan finansial, asuransi syariah juga menumbuhkan kesadaran kolektif untuk mengelola risiko sesuai prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab sosial. Sayangnya, hingga kini, penerapan skema takaful untuk bangunan pesantren masih sangat minim.
Ada beberapa penyebab utama. Pertama, banyak pengasuh pesantren beranggapan bahwa premi asuransi (tabarru) mahal, padahal proteksi dasar bangunan sebenarnya cukup terjangkau bahkan di bawah 0,1 persen dari nilai bangunan per tahun. Kedua, banyak pesantren tidak memiliki status badan hukum formal sehingga sulit menjadi pemegang polis. Padahal, secara prinsip syariah, skema kolektif melalui yayasan, lembaga sosial, atau koperasi umat sangat memungkinkan. Ketiga, belum ada intervensi nyata dari pemerintah. Hingga kini, Kementerian Agama belum memiliki sistem audit teknis nasional untuk bangunan pesantren, sehingga keselamatan bangunan sepenuhnya bergantung pada kemampuan dan inisiatif pengelola.
Momentum Peningkatan Keselamatan Pesantren
Tragedi ambruknya pesantren seharusnya menjadi momentum nasional untuk memperkuat sistem keselamatan bangunan publik. Peran asuransi dapat dikembangkan melalui tiga pendekatan utama. Pertama, dari sisi regulasi, hasil survei risiko asuransi bisa dijadikan salah satu syarat penerbitan atau perpanjangan izin operasional lembaga pendidikan. Dengan demikian, lembaga yang mengabaikan rekomendasi keselamatan tidak akan memperoleh izin. Kedua, dari sisi teknis, perusahaan asuransi dapat bekerja sama dengan dinas pekerjaan umum atau lembaga profesi teknik untuk melakukan audit struktural berkala terhadap bangunan pesantren dan madrasah. Ketiga, dari sisi finansial, pemerintah dapat memberikan insentif berupa potongan premi bagi pesantren yang memenuhi standar keselamatan, dan sebaliknya, premi lebih tinggi bagi yang berisiko tinggi.
Langkah-langkah ini tidak hanya menyelamatkan nyawa santri dan tenaga pendidik, tetapi juga menciptakan pasar baru bagi industri asuransi, khususnya di sektor sosial yang selama ini belum tergarap optimal. Lebih jauh lagi, penerapan skema ini bisa mengambil contoh atau disinergikan dengan program Asuransi Barang Milik Negara (ABMN) untuk memastikan setiap aset publik atau ummat terlindungi dan diawasi secara berkelanjutan.