
Oleh : Deni Danial Kesa, Dosen Magister Terapan Industri Kreatif Vokasi Universitas Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, Masuklah ke kampus vokasi mana pun di Indonesia dan pemandangannya sering terulang: barisan mahasiswa berlatih mesin bubut, memperbaiki mesin, memasang kabel sirkuit, atau berlatih rutinitas layanan pelanggan di lobi hotel tiruan. Gambaran-gambaran ini—praktis, berani, dan langsung—telah menjadi ciri khas pendidikan tinggi vokasi selama beberapa dekade. Dalam sebagian besar sejarah modern Indonesia, model ini masuk akal. Pada tahun 1980-an dan 1990-an, seiring maraknya pabrik-pabrik di Jawa dan Sumatra, bangsa ini membutuhkan operator yang terampil. Politeknik dan fakultas vokasi menjadi jalur produksi, menghasilkan lulusan yang siap bekerja di jalur perakitan, bengkel, dan industri jasa. Keluarga, terutama dari latar belakang sederhana, memandang sekolah-sekolah ini sebagai tiket menuju pekerjaan yang stabil.
Namun dunia yang dulu menuntut "pekerja" kini menuntut sesuatu yang lebih. Industri 4.0, yang disebut "Revolusi Industri Keempat", telah mengaburkan batas antara fisik dan digital. Mesin tidak lagi hanya berdengung di lantai pabrik, mereka berkomunikasi, mengoreksi diri sendiri, dan belajar. Kecerdasan buatan menyusun kontrak hukum, merancang kampanye pemasaran, dan mengoptimalkan rantai logistik. Pertanian bukan hanya menanam dan memanen; melainkan drone, sensor, dan presisi yang digerakkan oleh satelit. Bahkan ketika negara-negara beradaptasi dengan gelombang ini, Industri 5.0 sudah berjalan di depan mata, menekankan inovasi yang berpusat pada manusia, keberlanjutan, dan perpaduan teknologi dengan tanggung jawab sosial (European Commission, 2021). Dalam dunia seperti itu, lulusan tidak bisa hanya mengikuti instruksi,mereka harus berinovasi, merancang, dan mengantisipasi masalah.
Jika pendidikan tinggi vokasi di Indonesia tetap seperti ini, risikonya jelas: menghasilkan tenaga kerja yang terampil tetapi ketinggalan zaman, dapat dipekerjakan hari ini tetapi tidak relevan di masa mendatang. Itulah sebabnya rencana pemerintah Indonesia untuk mengubah pendidikan tinggi vokasi menjadi Sekolah Ilmu Terapan lebih dari sekadar penyempurnaan birokrasi. Ini adalah kesempatan untuk mendefinisikan ulang arti pendidikan vokasi bagi abad ke-21. Idenya sederhana namun ambisius: melampaui pelatihan kerja yang sempit dan mengangkat pendidikan vokasi menjadi platform untuk penelitian terapan, kolaborasi industri, dan inovasi. Mahasiswa tidak boleh hanya dilatih untuk menggunakan mesin—mereka harus didorong untuk meningkatkannya. Mereka tidak boleh hanya belajar mengelola hotel, tetapi juga merancang aplikasi yang merevolusi manajemen pariwisata. Sebagaimana ditunjukkan Lasambouw (2015), “Politeknik dan Pendidikan Vokasi di Pendidikan Tinggi sebagai salah satu elemen dalam sistem pendidikan nasional berada di bawah tekanan untuk meningkatkan kualitas penelitian guna memenuhi tuntutan industri dan masyarakat, serta untuk memperkuat kualitas kegiatan belajar mengajarnya” (hlm. 6).
Memoriam masa lampau
Negara-negara seperti Jerman, Finlandia, dan Singapura telah menunjukkan betapa dahsyatnya model ini. Universitas ilmu terapan mereka dihormati, didanai, dan terintegrasi secara mendalam ke dalam sistem inovasi nasional (Müller, 2019). Indonesia kini memiliki kesempatan untuk mengadaptasi model ini, memadukan praktik terbaik global dengan kebutuhan lokal. Namun, transformasi bukan hanya tentang kebijakan atau kurikulum—melainkan juga tentang persepsi. Selama bertahun-tahun, pendidikan vokasi dianggap sebagai "pilihan kedua"—pilihan cadangan bagi mereka yang tidak berhasil masuk ke universitas akademis. Orang tua berbisik-bisik bahwa politeknik dan pendidikan inggi vokasi hanya untuk siswa dengan nilai ujian yang lebih rendah. Perusahaan seringkali memperlakukan lulusan vokasi sebagai operator, bukan pemimpin. Stigma ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan Harris dan Clayton (2021), "VET seringkali dianggap sebagai pilihan pembelajaran yang kurang menarik dibandingkan dengan pendidikan umum , masih dianggap sebagai pilihan kedua bagi siswa kelas dua" (hlm. 4).
Mengubah narasi ini membutuhkan bukti nyata. Bayangkan Gazera, seorang Anak muda Depok yang lulusan pesantren di Sukabumi, yang mendaftar di Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia di jurusan Bisnis Kreatif telah bertransformasi dari hanya belajar dan praktik di kelas, dari tugas mata kuliah meramu rintisan usaha di bidang food and beverages. Alih-alih hanya belajar mengoperasikan komputer dan analisis data untuk menciptakan inovasi, bersama teman teman sekelas merancang rintisan produk dari riset dan pengembangan menciptakan lapangan pekerjaan dengan mendirikan usaha kopi dan ice cream dengan omset puluhan juta per-bulan. Dua tahun kemudian, ia dan timnya berhasil membuat perusahaan dan mendirikan 6 cabang, upscaling di berbagai sudut kota Jakarta dan Depok.
Ini bukan khayalan. Transformasi semacam ini telah mengakar di negara-negara dengan sistem ilmu terapan yang kuat. Sistem ganda Jerman mengintegrasikan pembelajaran di kelas dengan program magang di perusahaan, menciptakan lulusan yang siap kerja secara sinergis dan efisien (Deissinger, 2015). Singapura meningkatkan Institut, akademi, universitas, sekolah dan politekniknya dengan berinvestasi dalam fasilitas, pelatihan guru, dan pencitraan merek yang kuat, menjadikan mereka institusi yang dihormati alih-alih menjadi pilihan cadangan (Tan & Gopinathan, 2020).
Namun Indonesia harus melangkah dengan hati-hati. Transformasi ini tidak bisa sekadar menjiplak model asing. Transformasi ini juga harus memanfaatkan kearifan lokal. Banyak desa telah menumbuhkan semangat gotong royong—aksi kolektif—yang dapat memperkaya pendidikan ilmu terapan. Mengintegrasikan pengetahuan lokal, mulai dari praktik pertanian berkelanjutan hingga keterampilan lokal, memastikan bahwa pendidikan vokasi tidak sekadar mengimpor model asing, tetapi menciptakan sesuatu yang autentik Indonesia. Pendekatan semacam itu selaras dengan pergeseran yang lebih luas menuju Industri 5.0, yang menghargai inovasi yang berpusat pada manusia, berkelanjutan, dan peka budaya (Breque dkk., 2021).
Urgensinya jelas terlihat ketika kita meninjau kembali sejarah. Di bawah pemerintahan kolonial, pendidikan vokasi dirancang untuk melatih pegawai administrasi dan teknisi tingkat menengah, bukan inovator. Ekspansi pasca-kemerdekaan pada tahun 1950-an dan 1960-an memprioritaskan tenaga kerja untuk badan usaha milik negara. Pada tahun 1980-an, selama dorongan industrialisasi Suharto, politeknik dan pendidikan keterampilan dan kompetensi menjamur untuk mengisi pabrik-pabrik. Era Reformasi kemudian mendesentralisasi pendidikan, tetapi kualitas yang tidak merata dan kurangnya dana menciptakan disparitas yang tajam. Sebagaimana dikemukakan Watrianthos, Jalinus, dan Rizal (2022), “Sistem pendidikan Indonesia memisahkan pendidikan vokasi dari pendidikan akademik. Pendidikan vokasi, yang sebelumnya bukan fokus utama bagi calon mahasiswa, kini seharusnya setara dengan pendidikan akademik” (hlm. 3).
Transformasi keunggulan dan dampak
Namun, transformasi ini rumit. Ketimpangan infrastruktur masih akut. Pendidikan Tinggi Vokasi dan Politeknik perkotaan di Jakarta , Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya mungkin memiliki laboratorium robotika, sementara kampus-kampus di daerah kesulitan dengan peralatan yang sudah ketinggalan zaman. Kompetensi fakultas menjadi hambatan lain; banyak dosen dilatih dengan paradigma lama dan membutuhkan kesempatan untuk pelatihan ulang dan kolaborasi riset. Kesenjangan kebijakan, terutama seputar akreditasi dan pendanaan, menciptakan kebingungan. Dan tentu saja, stigma budaya masih melekat. Tanpa investasi dan kepercayaan yang serius, rebranding berisiko menjadi sekadar pencitraan belaka.
Namun, seperti apa kesuksesan itu? Artinya, kampus-kampus di seluruh Indonesia akan menjadi pusat inovasi regional. Fakultas Ilmu Terapan di Jakarta dapat bermitra dengan berbagai perusahaan untuk mengelola dampak sosial dan tujuan ekonomi berkelanjutan disertai penerapan public policy, Fakultas Ilmu Terapan Surabaya dapat bersinergi dengan perusahaan pembuat kapal untuk merancang kapal hemat energi, yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar hingga 25%. Flores dapat memelopori model pertanian cerdas iklim, membantu petani lokal berkembang pesat dalam cuaca yang tak menentu. Makassar dapat memimpin dalam inovasi limbah laut, sementara Yogyakarta dapat menggabungkan seni, desain, dan AI ke dalam industri kreatif global. Bagi mahasiswa, transformasi ini mengubah kehidupan sehari-hari. Mahasiswa tidak lagi menghabiskan pagi hari dengan kuliah hafalan. Alih-alih, ia berkolaborasi antara mahasiswa teknik, kesehatan sosial humaniora dan bisnis untuk merancang perangkat medis berbiaya rendah, menguji prototipe dengan rumah sakit, dan bertukar gagasan dengan para profesor internasional secara daring. Menjelang akhir pekan, ia kembali ke kampung halamannya untuk menjalankan uji coba lapangan. Pendidikannya bukan lagi jalur linear menuju pekerjaan, melainkan perjalanan dinamis menuju inovasi dan dampak bagi masyarakat.
Transformasi menuju School of Applied Sciences juga menuntut keberanian dalam ranah regulasi. Tanpa payung hukum yang konsisten, inisiatif kampus hanya akan menjadi proyek jangka pendek. Regulasi harus memastikan kejelasan standar akreditasi yang mengakomodir penyetaraan dan terekognisi , mekanisme pendanaan riset terapan, serta jalur karier yang setara bagi dosen vokasi dan akademik. Dalam banyak kasus, kerancuan aturan antara politeknik, universitas, dan lembaga pelatihan membuat pendidikan vokasi berada di ruang abu-abu. Jika ingin melahirkan pusat inovasi yang nyata, kebijakan harus menempatkan sekolah ilmu terapan sebagai entitas strategis, bukan sekadar pelengkap dari pendidikan akademik.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah kapasitas dosen. Banyak dosen vokasi saat ini dibentuk oleh paradigma lama—mampu mengajar keterampilan teknis, tetapi belum cukup mendapat ruang untuk melakukan riset terapan yang kompleks. Program capacity building harus berjalan paralel dengan transformasi kelembagaan. Pertukaran dosen dengan industri, kolaborasi riset internasional, hingga sertifikasi kompetensi global dapat mendorong pergeseran peran dosen dari “instruktur praktik” menjadi “arsitek inovasi.” Dengan begitu, mahasiswa tidak hanya menerima keterampilan siap pakai, melainkan juga inspirasi untuk menciptakan solusi baru.
Terakhir, kontribusi sinergi dengan dunia akademik harus menjadi kunci. Alih-alih menegaskan jarak antara pendidikan vokasi dan universitas akademis, transformasi ini justru harus merajut jembatan. Kolaborasi lintas fakultas—misalnya antara Ilmu Terapan dengan Kedokteran, Teknik, Ilmu Sosial, atau Seni—akan melahirkan riset multidisiplin yang berdaya guna. Inilah momentum di mana pendidikan vokasi berhenti menjadi “jalur alternatif,” dan berubah menjadi mitra sejajar dalam produksi pengetahuan. Sinergi semacam ini tidak hanya memperkuat reputasi lembaga vokasi, tetapi juga mengikis stigma lama bahwa jalur ini hanyalah cadangan.
Dengan regulasi yang kuat, dosen yang berdaya, dan sinergi akademik yang nyata, transformasi keunggulan tidak berhenti di jargon. Ia menjelma menjadi dampak sosial, ekonomi, dan budaya yang terasa hingga akar rumput.
Harapan Menuju Visi Pernikahan Emas
Para kritikus akan berpendapat bahwa transformasi ini terlalu ambisius,bias penamaan, terlalu mahal, atau sekadar upaya mengubah citra. Sebagian khawatir akan dilusi sumber daya, sementara yang lain memperingatkan agar tidak menaikkan ekspektasi tanpa menjamin kualitas. Kekhawatiran ini valid—tetapi bukan alasan untuk mundur. Kekhawatiran ini justru menjadi alasan untuk berkomitmen lebih mendalam, dengan akuntabilitas dan kejelasan. Visi seratus tahun Indonesia untuk tahun 2045 tidak bergantung pada sumber daya alam, melainkan pada sumber daya manusia. Fakultas Ilmu Terapan bukanlah hal yang pinggiran—mereka merupakan pusat untuk mencapai visi tersebut. Meningkatkan pendidikan tinggi vokasi bukan lagi pilihan; hal ini penting bagi masa depan bangsa.
Tugas ke depan tidaklah sederhana. Pemerintah harus menyediakan pendanaan yang adil dan kebijakan yang jelas. Fakultas harus mendukung pelatihan dan internalisasi perpaduan baik di industri langsung mapun dengan teaching factory dan peningkatan kapasitas serta reorientasi kurikulum yang berbasis industri dan masyarakat. Industri harus beralih dari perekrut pasif menjadi mitra aktif dalam membentuk kurikulum dan penelitian. Masyarakat harus memandang mahasiswa bukan hanya sebagai calon pekerja, tetapi juga sebagai inovator yang mampu memecahkan masalah lokal. Pendidikan vokasi telah lama menjadi pintu belakang yang tersembunyi menuju dunia kerja. Dengan transformasi yang serius, pendidikan vokasi dapat menjadi beranda depan ekonomi berbasis pengetahuan Indonesia—menyambut dunia, sekaligus memberdayakan masyarakat dari bawah ke atas. Pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia harus bertindak. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia berani memanfaatkan momen ini.