REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Maya Puspitasari, Jurnalis dan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang akhirnya muncul ke publik, setelah ribuan anak-anak tumbang karena keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG). Nanik menyampaikan keterangan pers sambil berurai air mata. Menurutnya, ibu mana yang tak sedih melihat video para siswa digotong ke puskesmas karena keracunan massal.
Ada harapan besar dari sikap Nanik yang emosional di layar kaca, bahwa BGN sangat menyesal dan akan segera membenahi tata kelola MBG yang buruk. Tapi harapan tak seindah kenyataan. Jumlah korban keracunan MBG justru terus bertambah dari hari ke hari.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan, jumlah anak yang terbaring sakit usai menyantap Makan Bergizi Gratis kini tembus 10.482 orang per 4 Oktober 2025 atau naik 1.833 anak dalam sepekan. Kondisi ini membuat publik semakin khawatir. Alih-alih mendapatkan kepastian penanganan kasus keracunan, yang muncul justru kebingungan: siapa yang bertanggung jawab? apa langkah konkret pemerintah? aman tidak anak-anak mengonsumsi MBG besok?
Di tengah gempuran informasi, pemerintah terutama Badan Gizi Nasional selaku penanggung jawab program MBG terlihat lamban dalam merepons krisis dan tidak punya protokol komunikasi yang terarah. Padahal, keberhasilan program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu tak hanya ditentukan dari pelaksanaan teknis di lapangan. Tapi juga bagaimana pemerintah mengelola komunikasi kebijakan publik. Penggunaan emosi tanpa strategi komunikasi yang terstruktur membuat pesan pemerintah dengan mudah hilang, ditelan kekhawatiran publik karena maraknya kasus keracunan di berbagai daerah.
Pesan yang Sporadis
Persepsi krisis MBG tidak akan bisa diredam bila pemerintah tidak sigap membenahi pola komunikasi yang selama ini terkesan sporadis. Sejak awal, pesan mengenai program MBG datang dari berbagai sumber. Tak hanya BGN, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah juga sumbang suara.
Celakanya, data yang disampaikan berbeda-beda. Contohnya, simpang siur data jumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Sragen, Jawa Tengah. Dikutip Kompas.com, Dinas Pendidikan setempat mencatat ada 23 SPPG, sementara BGN merilis terdapat 35 SPPG di Sragen. Tapi itu belum apa-apa.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR pada 1 Oktober 2025 lalu, dua badan pemerintahan menyampaikan data kasus keracunan MBG yang berbeda. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut jumlah korban kejadian luar biasa (KLB) keracunan dalam proyek MBG sebanyak 9.089 orang yang tersebar di 83 kabupaten/ kota di 28 provinsi di Indonesia. Sementara BGN di rapat yang sama menyampaikan angka yang lebih kecil, yakni ada 6.517 orang penerima manfaat MBG yang mengalami keracunan. Lantas data siapa yang bisa dipercaya?