Selasa 07 Oct 2025 05:59 WIB
Eksklusif Peringatan 2 Tahun Taufan Al-Aqsa

Taufan Al-Aqsa 2023: Titik Balik Global dan Peluang Pembebasan Palestina

Tulisan ini mengungkap pencapaian strategis Taufan Al-Aqsa sebagai game changer.

Massa yang tergabung dalam Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) dan Solidaritas Palestina menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta, Jumat (3/10/2025). Dalam aksinya, massa mengecam  tindakan Israel atas penculikan terhadap ratusan relawan dan aktivis Global Sumud Flotilla (GSF) di perairan internasional saat akan menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza melalui jalur laut. Selain itu, massa menuntut pemerintah Israel untuk segera menghentikan pembantaian terhadap warga Palestina dan membuka koridor kemanusiaan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa yang tergabung dalam Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) dan Solidaritas Palestina menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta, Jumat (3/10/2025). Dalam aksinya, massa mengecam tindakan Israel atas penculikan terhadap ratusan relawan dan aktivis Global Sumud Flotilla (GSF) di perairan internasional saat akan menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza melalui jalur laut. Selain itu, massa menuntut pemerintah Israel untuk segera menghentikan pembantaian terhadap warga Palestina dan membuka koridor kemanusiaan.

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ma’moun Fandy, professor ilmu politik di Georgetown University dan direktur London Global Strategy Institute, menulis di X pada 2/10/2025, “Gaza memang belum membebaskan Palestina dari cengkeraman zionisme, tapi dia telah membebaskan dunia internasional dari hegemoni zionis. Itulah awal mula yang sahih.”

Lanjutnya, dengan nada satir, “Anda tidak akan bisa membebaskan Abbas-Presiden Otoritas Palestina-, tapi anda bisa membebaskan Tucker Carlson (dari pengaruh zionis).”

Baca Juga

Siapa Tucker? Dialah pembawa acara Tucker Carlson Tonight di Fox News Channel, acara yang ditonton oleh lebih dari empat juta orang setiap malam dari tahun 2016-2023 dan Donald Trump, penonton tetap acara tersebut. Dia terkenal di seantero dunia dengan ucapannya, “Setop bilang ini adalah perang. Ini adalah genosida, ini adalah invasi, ini adalah pembersihan etnis!” Bayangkan seorang ahli politik konservatif AS speak up dan keras bersuara mengkritisi Israel.

Di tengah kecamuk perang dan tangis rakyat Gaza, seolah muncul angin perubahan besar yang tak terduga: Taufan Al-Aqsa 2023. Ia bukan sekadar operasi militer — ia menjadi fenomena spiritual, geopolitik, moral — yang mengguncang pondasi hegemoni Zionisme dan mempercepat proses pembebasan narasi bangsa Palestina dari belenggu narasi asing.

Jika kita melihat sejarah panjang Palestina, kita saksikan satu pola: nasib bangsa ini sering ditentukan dari luar. Kesepakatan yang dibuat di meja diplomasi jauh dari deburan pantai Gaza nan elok, magis-eksotisnya Jerussalem Timur serta gagahnya Qubbat Sakhra ‘the Dome of Rock’ saat matahari terbit dan tenggelam. Tapi kini, Taufan Al-Aqsa membuka peluang baru: pembebasan belum sempurna, tetapi dunia mulai tersadarkan bahwa Palestina bukan objek, melainkan subjek. Palestina harus merdeka.

Dalam tulisan ini saya ingin menggali pencapaian strategis Taufan Al-Aqsa sebagai game changer, sambil memperkaya analisis tentang faktor determinan yang akan mempercepat (atau menghambat) pembebasan Palestina merdeka dan berdaulat.

1. Runtuhnya Narasi Terorisme Islam

Selama lebih dari tujuh dekade, dunia dibentuk oleh narasi bahwa Israel adalah “negara demokratis” yang bertahan melawan fasisme dan ancaman terorisme Islamis di kawasan dan global.

Perang global melawan terorisme Islam sejak 2001, invasi Afganistan (2001) dan Irak (2003), termasuk blokade Gaza pasca Hamas menang pemilu Palestina pada 2006, semua dilakukan untuk tujuan perang melawan teror. Keamanan Israel adalah hasil terbesar yang dipetik zionis dari AS dengan aksi koboinya. Semua dikemas sebagai aksi polisional untuk menertibkan kawasan dan melindungi keamanan Israel.

Namun sejak Oktober 2023, narasi ini terbalik total. Untuk pertama kalinya, opini publik global—terutama di Barat—menyaksikan secara langsung melalui media sosial penderitaan rakyat Gaza tanpa filter media arus utama.

Konsekuensi strategis: Israel kehilangan monopoli moral, yang selama ini digambarkan sebagai penjaga setia demokrasi Barat dan garda terdepan melawan ancaman terorisme Islamis di Timur Tengah dan dunia Islam. Narasi “keamanan Israel” yang harus dijamin/dilindungi oleh Barat, kini dipandang sebagai kedok apartheid dan kolonialisme.

Efek domino: Partai-partai progresif, organisasi HAM, universitas, dan gereja di Barat mulai terbuka menyerukan boikot, sanksi, dan embargo militer terhadap Israel.

2. Revolusi Moral dan Narasi Dunia

Sejak 7 Oktober 2023, jutaan orang di dunia, bahkan mungkin milyaran, yang sebelumnya acuh terhadap isu Palestina kini membuka mata. Video, foto, kesaksian langsung penduduk Gaza tersebar luas di media sosial, mematahkan monopoli narasi Israel dan media arus utama.

Runtuhnya narasi “Israel sebagai korban” menjadi transformasi moral global. Solidaritas lintas negara, lintas agama, dan lintas generasi membentuk gelombang dukungan yang tak hanya emosional, tetapi politis: boikot, tindakan diplomatik, pengusiran duta besar Israel, penangguhan perjanjian ekonomi kemitraan strategis dengan Uni Eropa, bahkan larangan ekspor senjata ke Tel Aviv.

Dengan demikian, Taufan Al-Aqsa membuka persidangan moral dunia atas Palestina — bisul-bisul Zionisme mulai pecah dari dalam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement