Senin 29 Sep 2025 18:35 WIB

Haji, Negara, dan Janji Perubahan

Publik menunggu agar janji perubahan ini tidak berhenti pada struktur baru.

Petugas mengarahkan jamaah haji Indonesia menuju bus saat pemulangan di Hotel Moro Alalameyah, Makkah, Arab Saudi, Selasa (10/6/2025). (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Andika Wahyu
Petugas mengarahkan jamaah haji Indonesia menuju bus saat pemulangan di Hotel Moro Alalameyah, Makkah, Arab Saudi, Selasa (10/6/2025). (ilustrasi)

Oleh : Adha Anggraini, Pranata Humas Itjen Kemenag, Media Center Haji 2024

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun 2025 menjadi tonggak penting bagi penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Presiden Prabowo Subianto resmi membentuk Kementerian Haji dan Umrah, sebuah langkah politik yang menandai babak baru tata kelola haji. Dengan adanya kementerian baru ini, pengelolaan ibadah haji tak lagi berada di bawah Kementerian Agama.

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah diatur dalam RUU Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. RUU tersebut disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-4 Masa Sidang I Tahun Sidang 2025–2026.

Wakil Kepala BP Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak menegaskan bahwa pembentukan kementerian khusus bukan gagasan instan. Visi untuk membentuk Kementerian Haji dan Umrah sudah ada sejak tahun 2014. “Sejak 2014, Pak Prabowo sudah memiliki visi membentuk Kementerian Haji dan Umrah. Hal itu konsisten hingga pilpres 2019 dan 2024,” katanya (Antara).

Adanya kementerian ini bagai oase di tengah problematika penyelenggaraan ibadah haji yang selalu mendapat perhatian publik. Harapan itu hadir bersamaan dengan tantangan yang sama besarnya, mulai dari keterbatasan kuota haji, daftar tunggu jemaah, hingga layanan penyelenggaraan yang dituntut semakin berorientasi pada jemaah.

Sejarah Penyelenggaraan Haji

Sejarah mencatat bahwa haji di Nusantara sejak masa kolonial tidak pernah lepas dari dilema. Dalam tulisannya, Snouck Hurgronje menyebut perjalanan haji kala itu menjadi ladang bisnis agen kapal dan perantara, dan acapkali merugikan jamaah. Catatan RAA Wiranatakusumah, Bupati Bandung 1920-1931 atau juga dikenal sebagai  Kanjeng Dalem Haji, sebagaimana dikutip Emsoe Abdurrahman dalam Hadji Tempoe Doeloe, memperlihatkan bahwa haji selalu berada di persimpangan antara spiritualitas dan kepentingan yang berorientasi pada bisnis.

Jika pada masa lalu haji sering diwarnai keterbatasan akses dan kerentanan jemaah, maka tantangan hari ini justru terletak pada tata kelola yang lebih transparan dan efisien. Kehadiran Kementerian Haji dan Umrah diharapkan mampu menjawab problem struktural itu, bukan hanya mengulang pola lama dengan wajah baru.

Dari pengalaman saya ketika bertugas di Media Center Haji (MCH), terlihat jelas bahwa musim haji adalah kerja maraton. Mulai dari koordinasi lintas kementerian, diplomasi dengan otoritas Saudi, hingga komunikasi publik. Situasi ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji tidak lagi bisa ditangani dengan pola business as usual.

Antrian panjang yang mencapai puluhan tahun membuat banyak jemaah akhirnya berangkat di usia lanjut. Data yang dirilis MCH 2025 menunjukkan, dari total lebih dari 200 ribu jemaah Indonesia tahun ini, sekitar 44 ribu orang atau 20 persen masuk kategori lanjut usia (di atas 65 tahun). Jemaah tertua berusia 108 tahun, sementara yang termuda 17 tahun.

Dari sisi komposisi, jumlah jamaah perempuan lebih banyak, yakni 112.838 orang (55,5 persen), dibandingkan jemaah laki-laki sebanyak 90.311 orang (44,5 persen). Mayoritas lansia berada di rentang usia 65–70 tahun, yang berarti separuh dari mereka tetap membutuhkan perhatian ekstra selama menunaikan ibadah.

Profil pendidikan dan profesi juga menunjukkan keragaman. Sekitar 56 ribu jemaah hanya berpendidikan Sekolah Dasar, sementara lebih dari 50 ribu orang adalah lulusan perguruan tinggi. Dari sisi pekerjaan, ibu rumah tangga mendominasi dengan hampir 55 ribu orang, disusul pegawai swasta, PNS, petani, hingga pedagang. Gambaran ini menunjukkan bahwa haji benar-benar menjadi ibadah lintas kelas sosial dari desa hingga kota, dari petani hingga sarjana.

Ada juga dimensi lain yang menambah kompleksitas layanan, yakni 472 jemaah penyandang disabilitas, sebagian besar dengan keterbatasan pada kaki. Kelompok ini tentu memerlukan layanan dan pendampingan yang lebih khusus. Mayoritas jamaah, yakni lebih dari 98 persen, adalah mereka yang baru pertama kali berhaji, bahkan bisa jadi baru pertama kalinya merasakan transportasi udara. Hal ini berarti kesiapan mental, pengetahuan manasik, hingga bimbingan di lapangan menjadi krusial.

Statistik tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan haji Indonesia bukan hanya soal skala besar, dengan ratusan ribu jamaah setiap tahun, tetapi juga menyajikan kompleksitas layanan. Dominasi jemaah lansia menuntut prioritas pada fasilitas kesehatan dan pendampingan. Ragam latar belakang pendidikan dan profesi juga membutuhkan pendekatan komunikasi yang inklusif, agar informasi layanan dan bimbingan dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan.

Keberadaan jamaah disabilitas semakin menegaskan bahwa penyelenggaraan haji dibutuhkan lebih dari manajemen logistik, tetapi pelayanan publik yang harus berorientasi pada layanan. Di sinilah letak tantangan besar bagi Kementerian Haji dan Umrah untuk memastikan bahwa kebijakan tidak berhenti pada angka kuota dan infrastruktur, melainkan benar-benar menyentuh pengalaman spiritual setiap jemaah.

Angka ini akan terus berulang setiap tahunnya. Dengan jumlah jemaah haji yang menembus lebih dari dua ratus ribu orang, penyelenggaraan haji Indonesia layak disebut sebagai proses mobilisasi masyarakat sipil terbesar di dunia, sebuah operasi sosial keagamaan yang menuntut kapasitas negara pada level tertinggi.

Efisiensi, Transparansi, dan Kampung Haji

Kali ini dengan lahirnya Kementerian Haji dan Umrah, publik menaruh ekspektasi besar pada dua hal utama, yakni pada efisiensi dan transparansi. Dari sisi efisiensi, antrean panjang dan kualitas layanan harus segera dibenahi. Harapan yang mengemuka ialah agar biaya perjalanan haji tidak terus meningkat setiap tahun, sekaligus memastikan kualitas layanan bagi jemaah tetap terjaga.

Sementara itu, tata kelola dana haji, kontrak layanan, dan kuota harus lebih terbuka. Inilah tantangan awal bagi kementerian baru untuk memastikan bahwa penyelenggaraan haji tidak lagi dikaitkan dengan praktik korupsi atau permainan kuota.

Sebagai jawaban atas berbagai ekspektasi tersebut, pemerintah juga menyiapkan langkah strategis jangka panjang. Keseriusan itu diwujudkan melalui rencana pembangunan Kampung Haji Indonesia di Arab Saudi. Proyek ini ditargetkan mulai beroperasi sebagian pada musim haji 2028. Presiden Prabowo bahkan telah membicarakannya dengan Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman.

Wakil Kepala BP Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut bahwa Presiden Prabowo sudah memberikan instruksi agar Kampung Haji bisa menampung 200.000 jemaah, sehingga jamaah tersentralisasi di satu titik. Lahan seluas 80 hektare sedang dipersiapkan, dengan konsep one stop services mulai dari hotel, rumah sakit, dan fasilitas pendukung. Kampung Haji diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan, memperpendek masa tunggu, sekaligus menekan biaya perjalanan.

Jika syahadat adalah ikrar keimanan, shalat adalah tiang agama, puasa adalah latihan kesabaran, dan zakat adalah wujud kepedulian sosial, maka haji adalah puncak penyempurna rukun Islam. Ia adalah ibadah yang sarat makna spiritual, melibatkan jutaan umat Islam yang menabung dan menanti bertahun-tahun. Karena itu, kehadiran negara bukan semata sebagai regulator, melainkan sebagai pelayan yang memastikan kenyamanan, keamanan, dan bahkan memastikan kemabruran jemaah

Dengan mayoritas jamaah adalah lansia ditambah adanya jamaah dengan disabilitas, pelayanan kesehatan, pendampingan, dan fasilitas ramah lansia dan disabilitas harus menjadi prioritas. Inilah tantangan utama bagi kementerian baru, menghadirkan wajah layanan publik yang profesional sekaligus humanis.

Kementerian Haji dan Umrah adalah langkah strategis, tetapi pekerjaan besar justru baru dimulai. Transparansi dana, efisiensi layanan, serta realisasi Kampung Haji 2028 akan menjadi tolok ukur awal. Jika konsisten dijalankan, Indonesia berpeluang menunjukkan diri sebagai negara muslim terbesar dengan tata kelola haji yang modern dan akuntabel.

Pada akhirnya, publik menunggu agar janji perubahan ini tidak berhenti pada struktur baru, tetapi benar-benar mewujud dalam bentuk layanan ibadah yang memuliakan jamaah. Di titik inilah, pembuktian sedang dinanti. Bahwa Kementerian Haji dan Umrah hadir bukan sekadar sebagai birokrasi, melainkan wajah negara yang tulus hadir melayani umat. Sebuah kerja besar yang menuntut dedikasi, integritas, dan orang-orang yang siap mengabdi memuliakan para dhuyufurrahman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement