
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB ke-80 (23 September 2025) menjadi sorotan dunia. Indonesia, sebagai negara muslim terbesar, menegaskan kembali komitmen pada solusi dua negara: mengakui Israel hanya jika Israel lebih dulu mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Palestina. Sikap ini konsisten dengan amanat konstitusi UUD 1945: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Namun, pernyataan Presiden Indonesia itu segera mendapat tanggapan dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Dalam pidatonya di UNGA-80 pada 26/9/2025 yang diwarnai aksi ‘walk-out’ para diplomat 77 negara anggota PBB, ia menyebut Prabowo sebagai pemimpin negara muslim terbesar di dunia yang berpandangan “maju ke depan”, lalu menambahkan: hanya dengan mengalahkan Hamas dan Hizbullah, normalisasi dengan dunia Arab—termasuk Indonesia—akan membuka “terobosan besar” di bidang sains, teknologi, pertanian, air, hingga kecerdasan buatan (AI).
Imbalan “Hadiah Ekonomi”
Narasi Netanyahu jelas: menawarkan iming-iming keuntungan ekonomi dan teknologi jika Indonesia ikut dalam jalur normalisasi seperti Abraham Accords. Namun di balik itu, ada upaya menutupi kenyataan pahit: agresi brutal di Gaza yang sejak 2023 menewaskan puluhan ribu warga sipil, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Menurut laporan PBB yang dihimpun databoks.katadata.co.id, hingga September 2025 korban jiwa di Gaza telah melampaui 65 ribu orang. Grafik menunjukkan tren peningkatan korban, 6 kali veto AS yang menggagalkan resolusi gencatan senjata, dan gelombang pengakuan lebih 150 negara terhadap Palestina.
Dilema Normalisasi
Bagi Israel, normalisasi dengan Indonesia tentu menjadi “hadiah geopolitik” yang sangat strategis. Dengan 270 juta penduduk, mayoritas Muslim, Indonesia bisa dianggap “pencapaian puncak” dari Abraham Accords yang sejak 2020 telah merangkul UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan.
Namun, bagi Indonesia, persoalannya jauh lebih kompleks. Konstitusi UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sejak era Bung Karno, Indonesia konsisten mendukung Palestina sebagai bangsa yang terjajah.
Normalisasi tanpa penyelesaian akar masalah – yaitu pendudukan, aneksasi Tepi Barat, yahudisasi Al-Quds, dan kini genosida di Gaza – akan berarti pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan jati diri politik luar negeri bebas-aktif Indonesia.
Respon Indonesia
Pemerintah Indonesia harus menjawab pernyataan Netanyahu dengan dua lapis pendekatan:
Pertama, Kemanusiaan dan Hukum Internasional. Presiden Indonesia sebaiknya menegaskan kembali kecaman atas genosida di Gaza, bukan sekadar ‘catasthropic situation’. Israel harus segera menghentikan agresi, dan para pelaku kejahatan perang diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hal ini selaras dengan amar putusan ICJ yang menyatakan ada plausible genocide di Gaza.
Kedua, Konstitusi dan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif. Sikap RI tak bisa ditukar dengan “hadiah teknologi”. Normalisasi tidak boleh transaksional, melainkan soal keadilan dan kemanusiaan. Indonesia tetap konsisten: hanya akan membuka hubungan diplomatik setelah Israel mengakui Palestina Merdeka yang berdaulat sesuai batas garis 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.