Kamis 28 Aug 2025 08:48 WIB

Di Balik Hilirisasi Nikel dan Baterai Kendaraan Listrik

Badan Industri Mineral punya peran strategis dalam hilirisasi nikel.

Pekerja berjalan di area tungku pembakaran nikel di salah satu perusahaan smelter di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon/aww.
Pekerja berjalan di area tungku pembakaran nikel di salah satu perusahaan smelter di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.

Oleh : Dr Kuncoro Hadi, RIFA, CLOT; Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al Azhar Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia telah menjadi kisah sukses ekonomi yang memukau. Nilai ekspor nikel dan produk turunannya melonjak drastis dari hanya 5,4 miliar dolar AS pada tahun 2013 menjadi diperkirakan menembus angka 20 miliar dolar AS pada 2022. Kenaikan ini juga tercermin dari peningkatan nilai ekspor komoditas besi dan baja—yang mencakup produk turunan nikel seperti feronikel—dari USD 1,65 miliar pada 2013 menjadi 27,8 miliar dolar AS di tahun 2022. 

Namun, di balik narasi kesuksesan makroekonomi ini, tersimpan sebuah ironi yang mendalam: industri yang dielu-elukan sebagai pendorong utama transisi energi global justru sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU), menimbulkan jejak karbon yang besar dan memicu masalah lingkungan yang tak terhindarkan. Inilah paradoks hilirisasi nikel: menjanjikan masa depan hijau, tetapi dibangun di atas fondasi yang kotor.  

Peningkatan nilai ekspor ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari transformati nyata di lapangan. Investasi hilirisasi telah menjadi daya tarik utama bagi penanaman modal. Data menunjukkan realisasi investasi hilirisasi secara keseluruhan mencapai Rp 266 triliun, atau 25,3 persen dari total realisasi investasi nasional sepanjang Januari-September 2023. Sektor mineral, yang didominasi oleh nikel, menyumbang Rp 151,7 triliun dari nilai tersebut. Tren ini terus berlanjut, dengan investasi hilirisasi mencatat Rp 280,8 triliun pada semester I 2025, naik 54,8 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, dengan nikel sebagai primadona investasi. Angka-angka ini menopang target ambisius pemerintah untuk mencapai realisasi investasi Rp 1.650 triliun pada tahun 2024 dan Rp 2.684 triliun pada tahun 2027, yang semuanya bertujuan mendukung target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen.  

Dampak dari masifnya investasi ini juga terasa pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi regional. Industri smelter nikel dinilai berhasil menciptakan lapangan kerja yang signifikan, menyerap 1,875 juta tenaga kerja hingga triwulan III 2024. Penyerapan tenaga kerja ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong pembangunan ekonomi di luar Pulau Jawa. Hasilnya terlihat dari pertumbuhan ekonomi fenomenal di wilayah-wilayah episentrum nikel, seperti Maluku Utara dan Morowali, Sulawesi, yang mencatatkan pertumbuhan masing-masing sebesar 28 persen dan 27 persen. Data ini seolah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kebijakan hilirisasi telah berhasil mengubah lanskap ekonomi lokal, menciptakan pusat pertumbuhan baru di daerah-daerah penghasil komoditas.  

Di balik narasi angka-angka makro yang memukau, terdapat jurang yang menganga antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan riil masyarakat lokal. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyayangkan adanya anomali di mana Produk Domestik Bruto (PDB) di daerah penghasil nikel meningkat, sementara daya beli masyarakat justru mengalami penurunan. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa “efek berganda” yang digembar-gemborkan tidak selalu terdistribusi secara merata, khususnya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebuah studi yang mengkaji dampak keberadaan smelter nikel di beberapa kabupaten juga menemukan bahwa meskipun rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga meningkat secara umum, di Halmahera Tengah justru terjadi penurunan. Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa pertumbuhan pengeluaran cenderung dinikmati oleh kelompok rumah tangga kelas menengah ke atas, meninggalkan kelompok menengah ke bawah dengan manfaat yang lebih kecil.  

Salah satu tantangan terbesar yang sering luput dari perhatian adalah perbedaan mendasar antara produk nikel yang diproduksi dengan narasi yang dibangun. Industri hilir nikel Indonesia saat ini didominasi oleh produksi nikel kelas dua, seperti feronikel dan Nickel Pig Iron (NPI), yang pada dasarnya digunakan sebagai bahan baku untuk industri baja tahan karat. Realitasnya, hanya sekitar 5 persen dari total produksi nikel Indonesia yang diarahkan untuk menghasilkan nikel kelas satu—produk dengan kemurnian 99,8 persen atau lebih—yang menjadi bahan utama untuk katoda baterai kendaraan listrik. 

Kondisi ini menciptakan diskrepansi antara ambisi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok EV global dengan fakta volume produksi terbesar yang sebenarnya melayani pasar baja. Dalam sebuah forum, Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyoroti ironi ini dengan mengatakan, “Kita sudah menguasai secara kuantitas proses produksi nikel secara global. Tapi saat ini bukan lagi bicara kuantitas, melainkan bagaimana menciptakan value.”  

Narasi “hijau yang kotor” juga menjadi kritik tajam yang membayangi industri nikel Indonesia. Proses pengolahan nikel di smelter sangat intensif energi, di mana setiap ton nikel olahan membutuhkan 13 hingga 15 MWh listrik. Pembangkit listrik untuk menyuplai smelter-smelter ini, yang sebagian besar berada di luar Jawa, masih sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU), yang menyumbang 67 persen dari total kapasitas listrik nasional. Ketergantungan ini menciptakan jejak karbon yang masif, sebuah paradoks yang bertentangan langsung dengan tujuan industri ini untuk mendukung transisi energi global. Selain emisi, aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel juga memicu deforestasi, pencemaran air, dan menghasilkan limbah. Kasus ekspansi tambang di Raja Ampat, Papua Barat, yang berstatus UNESCO Global Geopark, menjadi sorotan publik dan Greenpeace, yang menyerukan perlindungan ekosistem laut yang vital.

Isu-isu sosial juga menjadi tantangan serius yang membutuhkan perhatian mendalam. Laporan investigasi menunjukkan adanya kasus-kasus konflik agraria, penggusuran lahan, dan hilangnya mata pencaharian petani serta nelayan di wilayah seperti Morowali. Yang lebih mengkhawatirkan, protes masyarakat seringkali berujung pada kriminalisasi. Warga yang melakukan blokade jalan sebagai bentuk protes atas klaim sepihak perusahaan dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pelanggaran hukum. Konflik-konflik ini menunjukkan bahwa meskipun industri mencatatkan pertumbuhan ekonomi, manfaatnya tidak merata dan justru menciptakan kerusakan sosial yang sulit dipulihkan.  

Menyadari kompleksitas ini, pemerintah mengambil langkah strategis dengan membentuk entitas baru. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini membentuk Badan Industri Mineral. Lembaga ini dibentuk untuk mengelola dan mengembangkan industri mineral di Indonesia, dengan tugas utama melindungi mineral strategis nasional dari eksploitasi berlebihan dan memastikan nilai tambah yang maksimal dari hilirisasi. Badan Industri Mineral dikepalai oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, yang diangkat oleh Presiden Prabowo Subianto melalui Keputusan Presiden Nomor 77P Tahun 2025. Pernyataan yang dilontarkan oleh Yuliarto menjelaskan bahwa tugas baru ini menuntut pendekatan yang holistik, tidak hanya melihat nikel sebagai komoditas ekonomi, tetapi sebagai aset strategis yang harus dikelola dengan pendekatan yang seimbang antara riset, teknologi, dan dampak pada masyarakat.  

Masa depan hilirisasi nikel Indonesia sangat bergantung pada kemampuan untuk merubah narasi menjadi kenyataan yang berkelanjutan. Solusi dan terobosan konstruktif harus menjadi prioritas. Pertama, percepatan transisi energi menjadi keharusan mutlak. Investasi masif dalam pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan tenaga air (PLTA) harus dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada batubara. Kedua, tata kelola lingkungan dan sosial harus diperkuat secara radikal. 

Pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa lahan yang adil dan cepat, serta audit lingkungan yang transparan dan independen, sangat krusial. Terakhir, pemerintah perlu mendorong diversifikasi produk hilir nikel, beralih dari dominasi nikel kelas 2 untuk baja tahan karat menuju produksi nikel kelas 1 yang esensial bagi baterai EV. Penguasaan teknologi canggih seperti High Pressure Acid Leaching (HPAL) dan penguatan riset domestik menjadi kunci untuk mewujudkan kemandirian dan daya saing sejati. Dengan mengelola tantangan ini secara proaktif, Indonesia dapat mewujudkan potensi besarnya tidak hanya sebagai raksasa mineral, tetapi juga sebagai teladan pembangunan berkelanjutan bagi dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement