
Oleh : Fadhil Hasan, Ekonom Senior INDEF
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saya ingin memulai dengan mengatakan bahwa ada suatu perbedaan yang cukup mendasar dalam Pidato Kenegaraan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto kemarin, yang dilanjutkan dengan Pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2026. Ini dibandingkan dengan pidato-pidato Presiden sebelumnya. Jadi perbedaan yang mendasar tersebut adalah bahwa pidato Pak Prabowo kemarin bisa dikatakan lebih paradigmatik dan lebih idiologis.
Sehingga sebelum Presiden menyampaikan angka-angka, target-target pertumbuhan, program-program yang akan dijalankan dan juga implikasinya terhadap fiskal dan lain-lainnya tersebut, itu ada behind the numbers-nya. Nah, behind the numbers ini saya kira dilandasi oleh suatu pemikiran Presiden terkait dengan bagaimana dia melihat atau menafsirkan sistem perekonomian yang ingin dijalankan dalam masa kepemimpinannya.
Jadi ini yang saya kira cukup menarik. Nah saya ingin memulai, misalnya: Pak Prabowo tampaknya ingin menafsirkan kembali Pasal 33 Undang-Undang 1945. Di pasal ini disebutkan: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan. Dan kemudian: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Di sini Presiden Prabowo menekankan bahwa peran negara itu, aktor utama pembangunan. Kemudian tercermin daripada program dan kebijakan yang bukan hanya sekitar regulator tapi juga investor dan pelaku ekonomi langsung. Ini yang pertama.
Kemudian yang kedua, Pak Prabowo menekankan bahwa negara lah yang mengontrol sumber daya strategis. Ini kemudian diwujudkan misalnya dalam berbagai program ketahanan tangan, ketahanan energi, dan hilirisasi itu.
Kemudian tekanan berikutnya adalah keadilan sosial. Ini bukan hanya semata pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Jadi di sini kita melihat bahwa paradigma ekonomi yang dianut dan ingin dijalankan oleh Presiden lebih menekankan kepada paradigma ekonomi yang berorientasi kepada kerakyatan. Istilah populernya: Ekonomi kerakyatan yang kemudian lebih intervensionis, dibandingkan pendekatan ekonomi pemerintahan era sebelumnya.
Kalau kita ikuti pidato-pidato Presiden Prabowo sebelumnya di masa awal pemerintahannya memang hal tersebut di atas sudah terlihat. Tapi dalam kesempatan Pidato Kenegaraan kemarin itu, beliau secara lebih komprehensif, secara lebih utuh lagi menyampaikan penafsiran terhadap perekonomian yang dimaksud di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Kemudian yang kedua: Ideologi yang sering disebut oleh Presiden Prabowo adalah ideologi yang berbasis pada nasionalisme ekonomi. Jadi Presiden Prabowo memposisikan pembangunan ekonomi itu sebagai bagian daripada kedaulatan nasional. Nah ini kemudian dijalankan melalui kebijakan dan program yang bisa mengurangi ketergantungan pada pasar luar negeri.
Misalnya, Presiden Prabowo menekankan swasembada pangan, swasembada energi, dan lainnya. Kemudian saya kira ada nuansa atau ada penekanan kepada kebijakan yang lebih proteksionistis. Ini dikemas ke dalam rangka yang sering disebutkan sebagai berdikari.
Tapi juga Presiden menyadari bahwa perekonomian berbasis pada nasionalisme ekonomi itu harus juga bersifat asertif. Dan kemudian dibangun juga berdasarkan kemitraan yang setara dengan negara-negara lain. Jadi dalam konteks ini saya melihat ada perberbedaan dari era Presiden Jokowi.
Kemudian kita melihat misalnya angka-angka dalam RAPBN 2026 itu diwujudkan dalam berbagai program-program dan kebijakannya. Jadi angka-angka tersebut itu merupakan alat untuk mewujudkan ideologi ekonomi yang diinginkan Presiden.
Pertama, misalnya, ada kenaikan belanja pendidikan sebesar Rp 757,8 triliun. Ini dibaca sebagai investasi pada human capital. Ada program sekolah rakyat, sekolah Garuda, Taruna Nusantara, dan sebagainya. Nah ini sebagai pilar utama kemandirian bangsa.
Yang kedua: Ada peningkatan yang cukup signifikan dari sisi pertahanan dan ketahanan nasional. Nah, Presiden memastikan adanya belanja pertahanan dan ketahanan nasional bukan hanya sepeda sebagai instrumen keamanan bagi bangsa, tetapi membutuhkan fondasi bagi ekonomi yang stabil. Di tengah gejolak politik dan geopolitik yang semakin hari itu semakin tidak menentu.
Kemudian juga ada proyek digitalisasi sebagai bagian atau sebagai instrumen utama daripada industrialisasi. Kalau tidak salah itu nilainya sebesar Rp 38 triliun sebagai strategi kedaulatan untuk mencapai berbagai kedaulatan di bidang energi.
Nah jadi boleh dikatakan paradigma yang dianut oleh Presiden Prabowo di dalam bahasa literatur ekonomi pembangunan itu merupakan developmental state.
Jadi ada peran negara yang sangat besar mempengaruhi atau menentukan arah ekonomi kita ke depan. Jadi ini sebenarnya mirip dengan strategi yang di awal-awal industrialisasi di berbagai negara itu dijalankan, seperti misalnya di Jepang, di Korea Selatan, bahkan di Tiongkok. Beberapa cirinya itu misalnya negara mengarahkan, aktif mengarahkan investasi, yang kemudian memanfaatkan anggaran itu sebagai katalisator untuk mendorong pembangunan-pembangunan industri yang di sektor strategis.
Kemudian juga Presiden mendorong peranan BUMN - Danantarasebagai instrumen untuk bisa melakukan investasi. Apa kemudian implikasi politik dan ekonomi daripada developmental state itu? Tentunya kita melihat, tadi dikatakan bahwa walaupun defisit di tahun 2026 itu diperkirakan atau ditargetkan menurun daripada 2025, jadi 2,78 persen, jadi 2,48 persen. Ini kebijakan fiskalnya harus cukup ekspansif.
Tadi saya sebut di atas bahwa kebijakan pemerintah akan bersifat lebih proteksionistis. Jadi dengan kebijakan yang dianggap proteksionistis ini ada kemungkinan potensi, misalnya saja, ada perbedaan kepentingan misalnya dengan keinginan dan kebutuhan untuk bisa menarik investasi dari luar negeri. Investor dan pelaku pasar itu biasanya tidak terlalu menyukai kebijakan yang proteksionistis.
Walaupun realitasnya fenomena proteksionisme itu sekarang juga dijalankan oleh berbagai negara, masuk oleh Amerika Serikat. Ini merupakan sebuah fenomena yang bersifat umum sekarang. Ini tentunya akan juga membawa implikasi terhadap investasi yang kita ingin peroleh misalnya dari luar negeri. Karena pada kenyataannya kita ini ada perbedaan saving investment gap, kita memerlukan investasi dari luar negeri.
Yang terakhir itu implikasi politik-ekonomi agar developmental state ini bisa berjalan dengan efektif. Itu memerlukan kemampuan eksekusi birokrasi yang kompeten, yang efisien. Agar kemudian berbagai program-program yang dijalankan itu bisa berjalan dengan baik.
Nah ini tantangan ke depannya bagi implementasi program-program Presiden. Kita mengetahui bahwa birokrasi pemerintah justru kurang responsif, tidak terlalu efisien. Sementara ada program yang ingin dijalankan Presiden Prabowo masif sekali skalanya dan sangat memakan biaya yang besar.
Jadi kalau diringkas, Presiden Prabowo ini tidak sekedar hanya menampilkan angka-angka-angka. Tapi dari angka-angka itu ada underline-nya. Ada substansi yang lebih mendasar. Dia mencoba meletakkan angka-angka dalam arah pembangunan dalam rangka ideologi nasionalis yang interventionis.
Nah ini yang merupakan tafsiran Presiden Prabowo terhadap UUD 1945 di bidang perekonomian. Kita melihat berbagai respon dari berbagai pengamat, dan dari berbagai media, ya baik di dalam maupun di luar negeri itu, adalah Presiden Prabowo ingin melakukan deregulasi. Tapi di sisi lain juga ada nuansa kebijakan yang lebih interventionis dan proteksionis.