
Oleh : Syahnanto Noerdin*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia politik Indonesia baru-baru ini dihebohkan dengan kasus komunikasi publik yang kontraproduktif dari Bupati Pati, Jawa Tengah. Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen yang disampaikan dengan nada menantang dan arogan telah memicu gelombang protes dari masyarakat dan menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi politik yang efektif.
Polemik bermula ketika Bupati Pati Sudewo mengumumkan rencana kenaikan PBB-P2 sebesar 250 persen untuk tahun 2025. Yang menjadi masalah bukanlah semata-mata kebijakan tersebut, melainkan cara penyampaiannya yang terkesan menantang dan meremehkan aspirasi warga. Dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial, Sudewo bahkan menyatakan tidak takut jika 50.000 warga melakukan demonstrasi di kantornya.
Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dari masyarakat Pati. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu dan berbagai elemen masyarakat sipil mulai mengorganisir aksi protes. Tekanan publik yang begitu besar akhirnya memaksa Sudewo untuk meminta maaf dan membatalkan kebijakan kenaikan pajak tersebut pada 8 Agustus 2025.
Analisis Komunikasi Politik yang Bermasalah
Yang lebih memprihatinkan adalah cara penyampaian kebijakan ini kepada publik. Video viral yang menunjukkan Bupati Sudewo seolah menantang warganya untuk berdemo dengan mengatakan "50 ribu orang saya tidak gentar" mencerminkan pendekatan komunikasi yang sangat kontraproduktif.
Sebagai pemimpin daerah, Sudewo seharusnya memahami bahwa perannya bukan sebagai lawan dari rakyat, melainkan sebagai pelayan publik yang harus mampu menjelaskan kebijakan dengan empati dan transparansi. Sikap defensif dan konfrontatif justru menunjukkan ketidakmatangan dalam mengelola komunikasi publik.
Lebih ironis lagi, catatan media menunjukkan bahwa saat kampanye, Sudewo pernah menyatakan rasa kasihan terhadap rakyat jika pajak dinaikkan. Kontradiksi antara janji kampanye dan realitas kebijakan ini mencerminkan fenomena yang sayangnya tidak asing dalam dunia politik Indonesia.
Hal ini mengingatkan kita pada pentingnya konsistensi antara visi yang dijual saat kampanye dengan implementasi kebijakan ketika sudah berkuasa. Masyarakat memiliki hak untuk mempertanyakan perubahan sikap yang drastis ini.