Ahad 10 Aug 2025 10:47 WIB

Tidak Ada Pemimpin Sesempurna Nabi Muhammad SAW

Kita tidak bisa menilai kepemimpinan hanya dari satu sisi.

Umat muslim mengunjungi makam nabi Muhammad SAW (Raudhah) di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.
Foto: REUTERS/Amr Abdallah Dalsh
Umat muslim mengunjungi makam nabi Muhammad SAW (Raudhah) di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi.

Oleh : Ali Mochtar Ngabalin*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saya baru saja membaca sebuah tulisan berjudul “Memimpin Tanpa Mendidik.” Bahasanya indah, nada kritiknya kuat, dan niatnya, saya percaya, ingin mengingatkan. Namun izinkan saya ikut menyampaikan pandangan. Tulisan tersebut menyisakan sejumlah pertanyaan penting. Semangatnya kita hargai, tapi nuansanya terasa terburu-buru dalam menyimpulkan arah kepemimpinan hari ini.

Membangun bangsa tidak seperti membalik telapak tangan. Ia bukan cerita pendek yang tuntas dalam satu halaman. Kita sedang menjalani estafet peradaban, di mana setiap pemimpin hanya mendapat satu giliran untuk berlari.

Baca Juga

Setelahnya, tongkat itu berpindah. Demokrasi mengajarkan kita, tidak ada satu pun pemimpin yang bisa menyelesaikan segalanya dalam satu waktu. Karena itu, menuntut kesempurnaan dalam sekejap justru bertentangan dengan semangat demokrasi itu sendiri.

Rakyat Indonesia adalah rakyat yang penuh cinta pada negerinya. Harapan mereka besar, keyakinan mereka tulus. Namun dari harapan yang begitu tinggi, terkadang lahir juga rasa kecewa yang terlalu cepat. Baru satu kekurangan muncul, langsung dianggap sebagai tanda kegagalan total. Tanpa sadar kita terjebak dalam cara berpikir yang terburu-buru. Kalau pemimpin belum sempurna, langsung dianggap gagal total. Kalau satu kebijakan belum terasa hasilnya, langsung disimpulkan sebagai pengabaian.

Padahal hidup tidak bekerja dengan pola hitam putih seperti itu. Cara berpikir seperti ini dalam dunia logika disebut false dilemma. Cacat logika ini menganggap hanya ada dua pilihan mutlak, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks dan penuh proses.

Kita tidak bisa menilai kepemimpinan hanya dari satu sisi. Apakah benar negara abai terhadap misi mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah benar pembangunan fisik dilakukan dengan mengorbankan akal budi rakyat? Pertanyaan seperti ini layak diajukan, tetapi juga layak dijawab dengan fakta.

Pemerintah saat ini terus bekerja di banyak lini. Sekolah dibangun, beasiswa diperluas, kurikulum dibenahi, digitalisasi pendidikan berjalan, kesejahteraan guru diperjuangkan, dan pelatihan vokasi diperluas. Apakah semuanya sudah cukup? Tentu belum. Tapi kalau disebut tidak ada sama sekali, itu jelas tidak benar.

Presiden Prabowo memimpin negeri ini dengan bekal semangat dan pengalaman panjang. Beliau tidak pernah mengklaim diri sebagai pemimpin yang sempurna. Justru sejak awal, ia menyadari betul bahwa masa kepemimpinannya adalah masa belajar, masa memperbaiki, masa merespons tantangan yang diwariskan dari masa lalu dan yang muncul dari zaman baru.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement