Rabu 09 Jul 2025 16:44 WIB

Redefinisi KKN: Antara Dekolonisasi dan Tantangan Pengabdian

Tanggung jawab atas keselamatan dan kebermaknaan KKN adalah tanggung jawab kolektif.

Mahasiswa UGM mengikuti penerjunan kuliah kerja nyata (KKN).
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Mahasiswa UGM mengikuti penerjunan kuliah kerja nyata (KKN).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amsa Nadzifah, Ketua Yayasan Literasi Desa Tumbuh, Alumni Master of Development Studies, University of Melbourne

Awal Juli ini, Indonesia berduka. Dua mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) meninggal dunia saat menjalankan program Kuliah Kerja Nyata – Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) di Maluku Tenggara. Kapal yang mereka tumpangi terbalik saat melakukan perjalanan antar pulau. Pengabdian yang seharusnya menjadi ladang pembelajaran justru berakhir dengan kehilangan nyawa.

Tragedi ini mengguncang hati kita semua. Namun lebih dari sekadar empati, peristiwa ini semestinya menjadi pemantik refleksi kritis: sejauh mana program KKN yang kita jalankan selama ini telah benar-benar aman, adil, dan bermakna bagi mahasiswa maupun masyarakat?

Siapa Bertanggung Jawab?

Dalam menyikapi tragedi ini, kita harus berhati-hati untuk tidak semata menunjuk satu pihak. Tanggung jawab atas keselamatan dan kebermaknaan KKN adalah tanggung jawab kolektif. Pemerintah daerah, aparat desa, masyarakat lokal, hingga kementerian terkait punya peran dalam membangun ekosistem pengabdian yang aman, adil, dan berkelanjutan.

Sebaliknya, kampus juga harus jujur mengevaluasi: apakah mereka lebih sibuk mengisi laporan keberhasilan dan dokumentasi program, ketimbang menyiapkan mahasiswa secara manusiawi? Menyiapkan fisik dan non fisik sesuai dengan kondisi di masing-masing lokasi KKN. Pertanyaan lebih mendasar lagi, apakah orientasi program lebih fokus pada “dampak” untuk institusi ketimbang proses belajar mahasiswa dan masyarakat secara setara?

Kita perlu keluar dari logika “datang untuk memberi”—karena dalam banyak kasus, yang paling banyak belajar dari KKN justru bukan masyarakat, tapi mahasiswa itu sendiri. Maka jangan posisikan masyarakat sebagai papan tulis kosong yang menunggu digambari.

KKN: Dekolonisasi yang Masih Tertunda?

Sejarawan Agus Suwignyo (2024) pernah menyebut KKN sebagai upaya dekolonialisasi dalam pendidikan tinggi Indonesia—cara kampus untuk keluar dari menara gading dan menyatu dengan realitas rakyat. Dalam semangat itu, KKN adalah lompatan penting untuk meruntuhkan sistem pendidikan yang terlalu elitis, terlalu kota-sentris, dan terlalu satu arah.

Namun pertanyaannya: apakah semangat dekolonisasi ini benar-benar terwujud di lapangan?

Dalam banyak praktiknya, KKN justru masih sarat pendekatan top-down. Mahasiswa datang dengan program kerja yang dirancang di kampus, lalu diterapkan di masyarakat tanpa cukup ruang dialog. Masyarakat, dalam posisi ini, lebih sering menjadi objek pengabdian ketimbang mitra belajar. Relasi pengetahuan masih timpang—bahwa yang tahu adalah kampus, yang belajar adalah masyarakat. Ironisnya, ini adalah pola relasi yang justru sangat kolonial.

Jika KKN benar ingin menjadi bentuk dekolonisasi, maka ia harus membalik logika tersebut: bahwa mahasiswa datang bukan untuk mengubah masyarakat, tapi untuk membuka diri, mendengar, dan belajar dari pengetahuan lokal yang sering kali dianggap tidak ilmiah, padahal penuh kearifan.

Antara Idealisme dan Kenyataan Lapangan

Kita juga tak bisa menutup mata bahwa KKN telah menghadirkan banyak cerita baik. Di berbagai pelosok, mahasiswa hadir membantu digitalisasi UMKM, membangun perpustakaan desa, hingga menggagas forum anak muda. KKN telah menjadi jembatan yang mempertemukan semangat idealisme muda dengan kompleksitas realitas sosial.

Namun idealisme itu tak selalu cukup. Tidak jarang para mahasiswa canggung memulai interaksi, gugup menyapa warga, bahkan kesulitan memilih kata yang tepat. Bukan karena kurang niat, tapi karena mereka tidak cukup disiapkan—baik secara sosial, kultural, maupun emosional.

Pembekalan KKN kerap terlalu teknokratis: fokus pada target program kerja dan sistem pelaporan, bukan pada proses membangun relasi. Padahal, di masyarakat, relasi sering lebih penting daripada hasil. KKN bukan hanya soal "apa yang dibawa", tapi lebih dalam lagi: bagaimana kampus hadir bersama masyarakarat.

Etika Pengabdian: Dari Sekadar Hadir Menuju Berelasi

Sudah waktunya KKN tak hanya dinilai dari banyaknya program yang dijalankan, tetapi dari seberapa dalam relasi yang dibangun. Mahasiswa harus memahami bahwa hadir di masyarakat bukan berarti membawa solusi, tapi menjadi bagian dari proses. Bahwa relasi sejajar, rasa hormat, dan kesediaan untuk mendengar adalah bagian dari etika pengabdian yang sejati.

Pengabdian bukan proyek. Ia adalah proses jangka panjang yang menuntut kerendahan hati. Jika datang hanya untuk sekadar “mampir mengabdi”, maka masyarakat akan jenuh, bahkan letih berpartisipasi. Inilah yang disebut kelelahan partisipatif: ketika masyarakat terus-menerus menjadi objek kegiatan kampus tanpa hasil yang benar-benar mereka butuhkan.

Intelektual yang Membumi

KKN adalah ruang pembelajaran yang langka: tempat di mana teori diuji oleh kenyataan, dan idealisme diuji oleh keterbatasan. Mahasiswa ditantang untuk menjadi intelektual yang membumi—yang tahu kapan berbicara, kapan mendengarkan. Yang sadar bahwa ilmu tidak hanya tumbuh di ruang kelas, tapi juga di sawah, di warung, di musala kecil, dan dalam percakapan dengan para tetua adat.

Tan Malaka pernah mengingatkan: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi untuk melebur dengan rakyat yang bekerja dengan cangkul, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan.”

Tragedi dua mahasiswa UGM adalah luka yang tidak bisa digantikan. Tapi dari luka itu, kita bisa—dan harus—belajar: bahwa pengabdian sejati menuntut lebih dari niat baik. Ia membutuhkan kesiapan, kesetaraan, sistem yang berkeadilan, dan yang tak kalah penting: keberanian untuk merombak cara kita memandang masyarakat.

Sudah waktunya KKN tak hanya menjadi program pengabdian. Tapi juga ruang dekolonisasi pengetahuan, relasi, dan kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement