
Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator ECO-FITRAH, keluarga FKPPI, ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Presiden Prabowo Subianto melontarkan istilah serakahnomic, ia seakan menciptakan kosakata baru yang padat dan jitu. Langsung menusuk jantung permasalahan ekonomi modern.
Kata ini memang tidak ditemukan dalam literatur ekonomi konvensional. Namun, ia merepresentasikan kritik tajam dan kegeraman terhadap wajah para pelaku ekonomi dan kekuasaan yang kian didominasi oleh kerakusan. Serakah menjadi bukan sekadar sifat individual, melainkan sistemik, terinstitusionalisasi dalam regulasi, lembaga, dan ideologi.
Dalam Alquran, fenomena ini telah diabadikan sejak lama, terutama dalam Surah At-Takatsur. Dalam surah itu Allah mengingatkan manusia yang terjerumus dalam perlombaan menumpuk harta hingga melupakan nilai sejati kehidupan.
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur." (QS At-Takatsur: 1-2)
Ayat ini adalah teguran keras: keserakahan tidak hanya melalaikan, tetapi juga menipu manusia hingga mati masih dalam keadaan mabuk mengejar kuantitas, bukan kualitas.
Dalam konteks Indonesia kini, surat ini terdengar relevan sekali. Kita menyaksikan berita tentang pejabat negara yang korup,anggota DPR yang sibuk berupaya menaikkan tunjangan di tengah daya beli rakyat melemah, jumlah pengangguran meningkat. Perilaku ini tidak menunjukkan empati, mereka justru berlomba menampilkan gaya hidup hedon: pamer mobil mewah, pesta keluarga, atau flexing liburan ke luar negeri. Semua itu adalah potret nyata dari “takatsur” di zaman modern.
Serakahnomic dan Neoliberalisme
Jika ditelusuri, serakahnomic bisa dipandang sebagai wajah vulgar dari neoliberalisme. Neoliberalisme,yang berakar dari pemikiran klasik seperti Adam Smith hingga berkembang dalam narasi kebebasan pasar ala Milton Friedman, menempatkan "kepentingan individu" sebagai motor utama pertumbuhan. Lionel Robbins (1932) bahkan mendefinisikan ekonomi sebagai ilmu tentang hubungan antara tujuan manusia yang tidak terbatas dan sarana yang terbatas.
Definisi Robbins itu sepintas ilmiah,tetapi sesungguhnya melanggengkan paradigma "keterbatasan" yang justru melahirkan scarcity mindset. Dari pola pikir inilah lahir sistem yang melegitimasi keserakahan: setiap orang berhak merebut sebanyak mungkin sumber daya, meski dengan mengorbankan yang lain. Inilah yang disebut sebagai “ekonomi keserakahan" -dan kini oleh Presiden Prabowo Subianto diistilahkan menjadi serakahnomic.
Bedanya dengan neoliberalisme klasik, serakahnomic lebih eksplisit: ia bukan sekadar doktrin pasar bebas, tapi kultur kerakusan yang merembes ke dalam gaya hidup, politik, bisnis, bahkan relasi sosial.
Kontribusi Pemikiran Barat terhadap Ekonomi Keserakahan
Pertama,ada pemikiran Lionel C Robbins-dengan menekankan kelangkaan dan tujuan tak terbatas, Robbins memperkuat logika bahwa manusia adalah homo economicus yang tak pernah puas.
Lionel C Robbins (1932) yang mendefinisikan ekonomi sebagai hubungan antara tujuan tak terbatas dan sumber daya terbatas. Doktrin ini memicu paradigma scarcity-based economy, yang pada akhirnya membentuk budaya zero-sum game: siapa cepat dia dapat, siapa lambat dia terjerat.
Kedua,Thomas R Malthus, dengan teori populasi yang pesimistis, ia menyuburkan legitimasi kolonialisme dan perampasan sumber daya dengan dalih "sumber daya terbatas".
Ketiga, Milton Friedman & Chicago Boys,dengan prinsip "pasar bebas absolut", Friedman justru membiarkan korporasi besar memonopoli pasar, merampas ruang hidup rakyat kecil.
Esensi paling mendalam adalah pada roh ilmu ekonominya. Serakahnomic ditenagai oleh takatsur (rakus,berlomba menumpuk). Semua pemikir ini, meski tidak pernah secara langsung menyerukan “serakah”, tetapi produk teorinya menyuburkan sistem ekonomi yang justru memberi insentif pada keserakahan.
Serakahnomic dalam Perspektif Alquran
Alquran dengan sangat tajam sudah mengingatkan: kerakusan manusia tidak akan pernah terpuaskan. "Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan." (QS Al-Fajr: 20). "Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui." (QS At-Takatsur: 3-4)
Di sinilah serakahnomic bukan hanya jargon politik, melainkan kritik spiritual yang dalam. Sebab, kerakusan sejatinya adalah penyakit hati yang jika dilembagakan dalam sistem ekonomi akan melahirkan ketidakadilan struktural: kesenjangan, oligarki, dan perbudakan modern.
Dari Serakahnomic ke Rahmanomic
Jika serakahnomic adalah wajah gelap peradaban modern, maka Islam menawarkan antitesisnya: rahmanomic alias ekonomi berbasis kasih sayang, keberlanjutan, dan keadilan.Implementasinya antara lain melalui zakat-infak-shodaqoh, wakaf. Ini mekanisme distribusi untuk memutus siklus keserakahan. Selanjutnya ada larangan riba yang membatasi akumulasi harta tanpa kerja produktif. Selain itu ada keadilan distribusi sumberdaya, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Hasyr ayat 7, agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja.
Prinsip-Prinsip Rahmanomic (Econofitrah)
Diawali dengan Tauhid sebagai fondasi ekonomi, segala aktifitas produksi, distribusi, konsumsi, hingga investasi diarahkan untuk ibadah dan Ridha Allah, bukan demi laba tanpa batas.
Kedua, kecukupan-bukan keserakahan. Manusia mencari rezeki secukupnya,memakmurkan bumi, dan berbagi dengan sesama. Prinsip ini menegaskan QS Al-A‘raf: 31, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.”
Ketiga,distribusi adil dan anti eksploitasi. Rahmanomic menolak sistem riba, monopoli, oligopoli, dan kartel. Sebaliknya, ia menghidupkan zakat, infak, sedekah, wakaf, dan koperasi.
Keempat,keselarasan ekosistem.Alam bukan objek eksploitasi, melainkan amanah. Maka Rahmanomic sejalan dengan paradigma agrofitrah, ecofitrah, dan sirkularitas sumber daya.
Serakahnomic vs Rahmanomic: Pertarungan Peradaban.
Jika kita mau jujur, pertarungan peradaban saat ini bisa dipetakan sederhana: SERAKAHNOMIC VS RAHMANOMIC. Serakahnomic itu kapitalisme global, neoliberalisme, pasar spekulatif, serta konsumerisme, dan sebagainya.QS At-Takatsur: 1-2,menjadi kritik tajam pada serakahnomic: “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur.” Sedangkan QS Ar-Rahman adalah fondasi rahmanomic: pengingat akan nikmat yang melimpah,seruan untuk bersyukur, larangan merusak bumi.
Rahmanomic Sebagai Solusi
Rahmanomic tidak meniru kapitalisme, tidak pula jatuh ke ekstrem sosialisme. Ia berdiri sebagai jalan tengah (wasathan), dimana ia mengakui hak milik pribadi,tapi membatasi keserakahan;memberi ruang kreatifitas individu, tapi tetap menjaga kepentingan publik;menghormati mekanisme pasar, tapi memberi pagar moral agar pasar tidak menjadi pasar “pasang jebakan”. Rahmanomic bukan sekadar teori, tapi gerakan revolusi sunyi yang bisa dimulai dari hal sederhana. Dimulai dari hal yang kecil,dari diri sendiri,dan saat ini juga.
Serakahnomic adalah istilah kontemporer yang sesungguhnya menyingkap realitas klasik: manusia serakah sejak zaman Qarun hingga korporasi modern. Bedanya, kini keserakahan itu dilembagakan dalam teori dan regulasi global.
QS At-Takatsur memberi peringatan yang relevan, serakah akan terus melalaikan manusia, sampai ajal menjemput. Tugas kita adalah melawan kultur serakah ini dengan membangun sistem ekonomi berfitrah-ekonomi yang bukan didorong oleh nafsu tak terbatas, melainkan oleh rahmat, keseimbangan, dan keberlanjutan. Rahmanomic itu econofitrah, sebagai jalan pulang peradaban. Ia mengajarkan ekonomi bukan soal kelangkaan, melainkan soal kecukupan yang dikelola dengan amanah.
Istilah RAHMANOMIC bisa dipandang sebagai antitesis dari SERAKAHNOMIC. Kalau serakahnomic lahir dari nafsu tak terbatas, eksploitasi, dan paradigma "scarcity" ala Lionel Robbins, maka rahmanomic lahir dari nilai Rahman-Rahim Allah, yang fitrahnya ada pada manusia.
Rahmanomic itu ekonomi Rahman, berpijak pada kasih sayang Allah, rezeki yang melimpah, keberkahan sumber daya, serta orientasi untuk rahmatan lil-‘alamin. Econo-fitrah itu ekonomi fitrah,ekonomi yang selaras dengan tabiat asli manusia: cukup, adil, berbagi, dan tidak rakus.
Jadi, rahmanomic = econofitrah, hanya beda gaya bahasa. Satu menekankan aspek ilahiah (Rahman-Rahim), yang lain menekankan aspek humanis-fitrah. Serakahnomic itu logikanya adalah akumulasi-eksploitasi-kolonisasi. Maka rahmanomic logikanya adalah kecukupan-keadilan-kolaborasi.
Simak QS Ar-Rahman, penuh dengan pengulangan “fabi ayyi 'ala’i rabbikumaa tukazzibaan”, pertanyaan retoris yang mengingatkan manusia agar tidak kufur terhadap nikmat.
Keberkahan adalah sinergi antara moral, keadilan, spiritualitas, dan distribusi yang adil. Negeri yang diberkahi bukanlah negeri paling kaya, melainkan negeri yang mengusung keadilan dan penduduknya penuh syukur. Negeri yang tidak diberkahi bisa jadi adalah negeri yang terperangkap dalam “serakahnomic”, sementara negeri yang diberkahi hidup dalam “rahmanomic”.
Serakahnomic pasti berakhir pada kufur nikmat. Itulah kegelapan peradaban. Sedangkan, Rahmanomic pasti berakhir pada syukur nikmat. Itulah cahaya terang peradaban. Maka, keberkahan dalam konteks negara adalah ketika pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan teknologi tidak menjadi beban, melainkan justru memperluas rahmat bagi semua.
Semoga negeri kita menjadi negeri yang baldah thoyyibah wa Rabbun Ghafur.