Senin 25 Aug 2025 05:00 WIB

Melawan Serakahnomics, Jalan Lurus Ekonomi Islam

Serakahnomics juga persoalan spiritual dan moral.

Deretan barang bukti kendaraan yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertunjukkan di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Deretan barang bukti kendaraan yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertunjukkan di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (21/8/2025).

Oleh : Jaharuddin, ekonom Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada 20 Juli 2025 memperkenalkan istilah baru ke publik, Serakahnomics. Frasa ini digunakan untuk menyindir praktik ekonomi curang yang dilakukan oleh sebagian oknum pengusaha dan elite ekonomi. “Jadi, ternyata kita ada fenomena baru ya. Saya kira mazhabnya tadinya mazhab ini, mazhab itu. Ini ada mazhab baru ekonomi yang saya sebut Serakahnomics,” ujar Prabowo dalam pidatonya yang disiarkan secara langsung.

Istilah ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia mencerminkan keresahan kolektif yang telah lama dirasakan oleh masyarakat—tentang ekonomi yang tampak tumbuh di permukaan, namun meninggalkan mayoritas rakyat di belakang. Tentang kemakmuran yang menumpuk di atas, namun tak pernah menetes ke bawah. Ketika peluang ekonomi disabotase oleh kelompok tertentu, yang seharusnya menjadi alat kesejahteraan bersama justru berubah menjadi kendaraan akumulasi segelintir orang. Maka, Serakahnomics bukan sekadar istilah; ia adalah kritik keras terhadap sistem ekonomi yang telah kehilangan empati, etika, dan arah.

Baca Juga

Dalam perspektif ekonomi Islam, Serakahnomics bukan hanya bentuk penyimpangan teknokratis, tapi juga peringatan spiritual dan moral. Ini adalah tanda bagaimana nilai-nilai dasar dalam bermuamalah telah dikorbankan demi akumulasi kapital yang tak bermoral. Ketika pertumbuhan dijadikan tuhan baru, namun keadilan disingkirkan; ketika angka-angka ekonomi dirayakan, namun kesejahteraan rakyat diabaikan; maka yang terjadi adalah kerusakan sistemik. Dalam Al-Qur’an, keadaan semacam ini disebut fasād fīl-ardh—kerusakan di muka bumi.

Islam tidak memusuhi kekayaan, tidak pula melarang kepemilikan. Namun Islam menetapkan batas dan tanggung jawab moral atas setiap harta yang diperoleh. QS Al-Hadid ayat 7 menegaskan bahwa harta hanyalah titipan: “Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari apa yang Dia (titipkan kepadamu dan) telah menjadikanmu berwenang dalam (penggunaan)-nya…”. Artinya, harta bukan milik mutlak, tetapi amanah yang harus digunakan sesuai prinsip keadilan dan kebermanfaatan sosial.

Keserakahan atau tama’ dalam tradisi Islam bukan hanya sifat tercela, tetapi penyakit struktural yang bisa menjerumuskan seluruh sistem ekonomi ke dalam kezaliman. Ketika individu atau korporasi terus mengakumulasi kekayaan tanpa batas, menolak berbagi, menindas yang lemah, memonopoli sumber daya, atau memanipulasi harga untuk kepentingan sepihak, maka ia tidak hanya melakukan dosa personal—tetapi membangun tatanan yang merusak keadilan sosial. Inilah yang dimaksud Serakahnomics, sistem yang menjadikan kerakusan sebagai prinsip operasional ekonomi. Ia adalah antitesis dari qana’ah (rasa cukup), ’adl (keadilan), dan ukhuwwah (solidaritas)—nilai-nilai inti dalam ekonomi Islam.

Lalu, kapan sebuah tindakan ekonomi bisa dikategorikan serakah? Ini pertanyaan penting agar masyarakat dan pelaku usaha tidak terjebak dalam perilaku yang secara tak sadar memperpanjang sistem serakah ini. Dalam Islam, mencari harta tidak dilarang jika dilakukan secara halal, dimanfaatkan secara wajar, dan disertai semangat berbagi melalui wakaf, zakat, infak, dan sedekah. Namun disebut serakah jika orientasinya semata-mata akumulasi tanpa batas, menggunakan cara haram, menolak tanggung jawab sosial, serta mengeksploitasi sesama dan lingkungan.

Masalah utamanya, Serakahnomics hari ini bukan lagi soal perilaku individu semata, tetapi telah menjadi sistem yang dilembagakan. Ia hadir atas nama regulasi, dibungkus dengan legalitas, namun substansinya adalah pengkhianatan terhadap keadilan ekonomi. Monopoli rantai distribusi, akumulasi lahan oleh segelintir pemodal, bunga mencekik di lembaga keuangan, spekulasi di pasar modal—semuanya membuka ruang bagi ekonomi tanpa nurani.

Inilah saatnya kita menyadari bahwa di atas regulasi, ada etika. Regulasi bisa disiasati oleh oknum, tapi etika adalah kompas moral yang tak bisa dibohongi. Etika dalam Islam bersumber dari wahyu, berakar pada fitrah, dan melahirkan keadilan sebagai hasil akhirnya. Maka sudah saatnya kita membangun sistem yang aman syar’i, aman etika dan regulasi, serta aman NKRI—yakni ekonomi yang sesuai dengan nilai agama, Etika dan tidak bertentangan dengan hukum negara, dan menjamin keberlanjutan serta stabilitas bangsa.

Islam telah menawarkan solusi yang sistemik. Zakat, infak, dan wakaf bukanlah instrumen filantropi semata, melainkan mekanisme distribusi kekayaan yang dirancang Allah untuk menjaga keseimbangan. Dalam sejarah Islam, zakat berhasil menghapus kemiskinan struktural ketika dijalankan secara serius. Selain itu, larangan riba menjadi benteng utama dari eksploitasi ekonomi. Sistem Islam menggantinya dengan pola kemitraan—mudharabah dan musyarakah—yang adil, transparan, dan manusiawi.

Islam juga menempatkan negara sebagai rā‘in—pelayan dan pelindung rakyat. Negara tidak boleh netral terhadap dominasi ekonomi. Ia harus aktif mengatur distribusi lahan,tanah, menjaga ketersediaan air, pangan, dan energi, ruang udara, serta melindungi ruang hidup rakyat dari kekuatan pasar yang membabi buta. Dalam ekonomi Islam, baitul mal bukan sekadar kas negara, tapi instrumen kesejahteraan kolektif yang harus dikelola secara profesional dan amanah.

Namun semua itu akan sia-sia jika budaya kerakusan masih dianggap sebagai kecakapan bisnis. Kita perlu revolusi kesadaran. Pelaku usaha harus menjadikan etika sebagai fondasi, bukan sekadar strategi pemasaran. Keuntungan tidak boleh menjadi satu-satunya tujuan. Berkah dan kebermanfaatan sosial harus menjadi ukuran kesuksesan sejati. Masyarakat pun perlu dididik bahwa keberhasilan bukan semata soal kekayaan pribadi, tetapi tentang kontribusi nyata bagi umat dan bangsa.

Kita tidak boleh terus menormalisasi kerakusan. Ketika petani dirugikan oleh manipulasi harga, nelayan diperas oleh tengkulak, ketika pedagang menimbun barang untuk mengeruk margin saat krisis, atau ketika ruang hidup warga disulap jadi kawasan elite oleh pengembang rakus—itulah wajah konkret Serakahnomics yang harus kita lawan.

Perubahan memang tidak instan. Tapi arah bisa ditentukan sejak sekarang. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin “mengembalikan ekonomi ke tangan rakyat dengan adil”, maka langkah paling jujur adalah membuka ruang seluas-luasnya bagi prinsip ekonomi Islam dalam kebijakan publik—bukan hanya simbolik, tapi substantif: reformasi fiskal, penguatan koperasi syariah, pengelolaan wakaf produktif, hingga penerapan etika bisnis dalam semua lini.

Sebagai ekonom Islam, saya meyakini bahwa bangsa ini memiliki seluruh sumber daya—alam, manusia, dan spiritual—untuk membangun sistem ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk berkata tegas, cukup sudah kerakusan, saatnya keadilan.

Ekonomi Islam bukan utopia. Ia adalah jalan tengah antara kebebasan dan tanggung jawab, antara kepemilikan dan distribusi, antara pertumbuhan dan pemerataan. Ia bukan sekadar alternatif, tetapi kebutuhan. Semakin cepat kita sadar, semakin besar peluang kita membangun Indonesia yang sejahtera, bermartabat, dan diridhai Allah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement