Jumat 20 Jun 2025 07:09 WIB
Analisis Ekonomi

Efisiensi Belanja yang Harusnya Lebih Jelas

Pemblokiran anggaran berdampak langsung ke belanja negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama jajaran pimpinan Kemenkeu sebelum konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Foto: Eva Rianti/Republika
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama jajaran pimpinan Kemenkeu sebelum konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Oleh : Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute

REPUBLIKA.CO.ID,

Belanja Negara selama lima bulan berjalan tahun 2025 sebesar Rp 1.016,3 triliun, lebih rendah dibanding tahun 2024 yang sebesar Rp 1.145,27 triliun. Kinerjanya merupakan 28,1 persen dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp 3.621,3 triliun. Terendah untuk kurun waktu serupa selama ini.

Kinerja belanja tersebut sejalan dengan opini Pemerintah mengenai efisiensi anggaran yang dimulai dengan Instruksi Presiden No.1/2025 tertanggal 22 Januari 2025. Menteri Keuangan menindaklanjuti dengan memblokir berbagai pos Belanja Kementerian/lembaga dan penundaan sebagian Transfer ke Daerah. Berlangsung hampir dua bulan, lalu perlahan dibuka untuk alokasi yang telah disetujui.

Kinerja itu merupakan 28,1 persen dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp 3.621,3 triliun. Jika dibanding kurun waktu serupa tahun 2024 yang sebesar Rp 1.145,27 triliun, maka terjadi penurunan 11,26 persen.

Pemblokiran tampak cukup berpengaruh pada realisasi Belanja Negara yang turun sebesar 11,26 persen dibanding tahun 2024. Selama ini, realisasi lima bulan pertama APBN tidak pernah alami kontraksi. Begitu pula capaian 28,1 persen dari rencana APBN lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.

Belanja Negara didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pengertian ini mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang bersifat mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara. Akan tetapi hanya pengeluaran yang tidak berakibat perolehan pembayaran kembali di waktu mendatang.

Belanja Negara terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP dibelanjakan langsung oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan operasional maupun kegiatan Pembangunan. TKD merupakan belanja pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dan masuk dalam penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bersangkutan.

Pemblokiran tampak sangat berpengaruh pada realisasi Belanja Pemerintah Pusat yang turun 15,78 persen dibanding tahun 2024. Selama ini, realisasi lima bulan pertama APBN tidak pernah alami kontraksi. Begitu pula capaian 25,70 persen dari rencana APBN jauh lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu, realisasi Transfer ke Daerah (TKD) mencapai Rp 322 triliun atau mencapai 35 persen dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp 919,9 triliun. Kinerja ini hampir setara atau hanya sedikit di bawah tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, masih sedikit bertambah yakni sebesar 0,22 persen dari tahun 2024.

Kinerja TKD yang demikian cukup wajar karena terkait dengan layanan publik yang wajib di daerah. Perlu diketahui bahwa sebagian penggunaannya telah ditentukan pusat atau diberi batasannya. Dan pengertian realisasi adalah sudah ditransfer ke daerah, belum dapat dipastikan telah dibelanjakan.

 

Perlu Kepastian Efisiensi atau Realokasi Belanja

Sebenarnya cukup mengherankan mengenai belum adanya keputusan dan publikasi resmi tentang kebijakan efisiensi anggaran. Sampai siaran pers APBN Kita tanggal 17 Juni, postur APBN tidak berubah, yang berarti rencana Belanja masih seperti semula sesuai APBN 2025. Terkonfirmasi data capaian pun masih merujuk pada postur tersebut.

Pemberitaan tentang alokasi terbaru berbagai Kementerian dan Lembaga memang beredar di media, namun bukan bersumber dokumen resmi. Kadang ada pernyataan bahwa blokir telah dibuka untuk pos-pos tertentu. Tidak bisa dihindari kesan publik dan terutama pelaku usaha bahwa hal itu lebih ditentukan oleh negosiasi para pihak, bukan berdasar rencana belanja yang terukur.

Ketidakpastian alokasi belanja akan berpengaruh pada dinamika ekonomi, mengingat sebagian pelaku merupakan rekanan Pemerintah. Salah satu contoh yang cukup buruk, sempat ada larangan atas rapat di hotel lalu dicabut, meski untuk sebagian.

Salah satu informasi yang beredar luas adalah ditambahnya alokasi belanja program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui Badan Gizi Nasional (BGN). Pada saat bersamaan, realisasi dari alokasi semula saja belum berjalan lancar dan masih bersikutat dengan beberapa soalan teknis.

Belum lagi soal alokasi dana untuk program Koperasi Desa Merah Putih (KMP) yang memang tidak dialokasikan oleh APBN 2025 karena inisiasi baru pemerintahan Prabowo. Sejauh ini, KMP mencapai tahap pembentukan di ribuan desa atau kelurahan. Dijelaskan biayanya dan modal awal operasional diambil dari Dana Desa.

Jika Dana Desa yang merupakan bagian dari TKD dipakai, maka akan mengurangi alokasi untuk keperluan lainnya. Sangat mungkin, dampak pengganda bagi perekonomian lokal akan lebih kecil pada saat awal atau tahun 2025 ini. Pembentukan dan persiapan koperasi jelas belum berdampak besar dan mengganti dampak alokasi sebelumnya.

Dari uraian di atas, penulis menilai kotraksi belanja negara dan komponennya belum cukup jelas mencerminkan upaya efisiensi. Padahal, penurunan pendapatan negara telah terjadi dan nyaris pasti berujung tidak tercapainya target APBN 2025. Pengurangan belanja menjadi suatu keniscayaan agar defisit dan kebutuhan berutang tidak membengkak.

Sayangnya, Pemerintah belum memastikan alokasi hasil efisiensi tersebut, sekurangnya tidak tersedia informasi resmi bagi publik. Ketidakpastian ini akan menambah rumor dan ekspektasi buruk tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi investor dalam dan luar negeri. Diperparah oleh paparan APBN Kita seolah kondisi fiskal terkini baik-baik saja dan akan lebih baik lagi bulan-bulan mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement