Rabu 06 Aug 2025 15:05 WIB

Menatap Prospek Keuangan Syariah di Era Disrupsi Global dan Visi 2045

Disrupsi digital juga menghadirkan tekanan.

Kawasan industri halal. Ilustrasi
Foto: MCIE
Kawasan industri halal. Ilustrasi

Oleh : Setiawan Budi Utomo, Pemerhati Ekonomi dan Kebijakan Publik

REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini, dua laporan penting diluncurkan secara terpisah namun saling melengkapi dalam memotret posisi dan arah pengembangan keuangan syariah Indonesia. Pertama adalah Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia (LPKSI) 2024 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kedua adalah State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 oleh DinarStandard yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 dunia dalam sektor Islamic finance.

Angka ini menunjukkan capaian yang patut diapresiasi, namun sekaligus menggarisbawahi bahwa Indonesia belum masuk lima besar dunia, tertinggal dari Malaysia, Saudi Arabia, Bahrain, UEA, dan Kuwait. Ini menjadi cermin tantangan struktural yang harus dijawab secara strategis.

Dari sisi domestik, LPKSI 2024 mencatat bahwa total aset keuangan syariah nasional tumbuh sebesar 13,06% secara tahunan (year-on-year), jauh melampaui pertumbuhan sektor konvensional. Ini adalah sinyal kuat bahwa keuangan syariah bukan sekadar alternatif, tetapi sedang menjelma menjadi arus utama (mainstream).

Regulasi yang progresif seperti UU P2SK serta harmonisasi pengawasan lintas sektor oleh OJK menjadi fondasi kelembagaan yang kokoh. Selain itu, kekuatan Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan ekosistem keuangan sosial zakat-wakaf paling aktif di dunia menambah daya dorong sosial budaya yang khas.

Tak kalah penting, inovasi produk dan adopsi digitalisasi dari mobile banking syariah, fintech P2P lending syariah, hingga embedded Islamic finance mempercepat inklusi keuangan syariah di segmen generasi muda dan sektor informal.

Namun, di tengah potensi yang besar, skala keuangan syariah Indonesia secara agregat masih terbatas, hanya mencakup sekitar 10,81% dari total aset sektor jasa keuangan nasional. Ironisnya, literasi keuangan syariah masih berada pada angka 9,14%, jauh di bawah literasi keuangan umum yang sudah mencapai 49,68%.

Ketimpangan antarsektor pun menjadi sorotan: hampir 70% aset keuangan syariah masih tersentralisasi di perbankan, sementara sektor pasar modal dan IKNB syariah relatif stagnan. Ini menandakan belum terbangunnya ekosistem yang holistik. Di sisi SDM, keterbatasan talenta yang memiliki kompetensi ganda syariah dan teknikal masih menjadi batu sandungan bagi akselerasi kualitas industri.

Peluang Strategis di Tengah Tren Global

Di tengah tantangan tersebut, terbuka banyak peluang yang tak boleh disia-siakan. Pertama, tren global ESG dan keuangan etis sejalan dengan prinsip maqashid syariah. Inisiatif seperti green sukuk dan keuangan berkelanjutan membuka ruang sinergi antara industri syariah dan keuangan hijau.

Kedua, integrasi keuangan syariah dalam ekosistem halal nasional (makanan, fesyen, pariwisata) berpotensi memperluas pangsa pasar dan menjangkau UMKM. Ketiga, perkembangan fintech syariah, crowdfunding syariah, dan tokenisasi aset berdasarkan prinsip syariah membuka jalan inovasi model bisnis dan pembiayaan yang lebih fleksibel.

SGIE 2024 mencatat Indonesia sebagai negara kedua terbesar dalam penerimaan FDI dan menjadi pemimpin investasi di sektor ekonomi Islam 2023/24, khususnya halal food dan modest fashion. Sayangnya, untuk sektor Islamic finance, Indonesia masih harus berbenah.

Persaingan dari lembaga keuangan konvensional dan neo-bank menjadi ancaman riil. Banyak dari mereka kini mengadopsi prinsip etika dan keberlanjutan tanpa label syariah, membuat diferensiasi menjadi kabur. Selain itu, minimnya standardisasi produk syariah antarlembaga dan antarnegara menurunkan interoperabilitas dan efisiensi operasional lintas sektor.

Disrupsi digital juga menghadirkan tekanan. Sektor shadow banking, decentralized finance (DeFi), hingga kripto makin agresif mengambil ceruk pasar yang selama ini belum tersentuh industri keuangan formal, termasuk syariah. Dengan nilai sektor keuangan non-bank global mencapai USD 63 triliun, pertumbuhan keuangan alternatif ini patut diwaspadai. Tanpa inovasi dan respons cepat, keuangan syariah berisiko tertinggal.

Ketidakpastian ekonomi global dan geopolitik juga menciptakan volatilitas pasar yang berdampak pada kinerja sukuk, pasar modal dan investasi syariah. Di sisi lain, masih adanya inkonsistensi standar syariah dan ketidakseragaman implementasi prinsip syariah antar pelaku justru berisiko menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri.

Respon Strategis: Gerak Cepat Fatwa dan Regulasi

Menjawab tantangan itu, langkah cepat dilakukan berbagai pemangku kepentingan. Dalam Rapat Pleno Ke- 59 pada 17–18 Juli 2025, Dewan Syariah Nasional – MUI mengesahkan lima fatwa strategis lintas sektor keuangan syariah secara sekaligus yang menjadi daya dorong baru untuk pengembangan leuangan syariah.

Kelima fatwa tersebut yaitu Fatwa 161: Syirkah Milk Mutanaqishah (Syirkah al-Milk al-Mutanaqishah), Fatwa 162: Tanggung Renteng Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Pembiayaan Ultra Mikro, Fatwa 163: Exchange Traded Fund (ETF) Syariah Emas, Fatwa 164: Penyelenggaraan Manfaat Pensiun Berkala Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Program Pensiun Iuran Pasti, dan Fatwa 165: Pedoman Penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) Syariah untuk Lembaga Penjamin Simpanan. Capaian ini menjadikan jumlah fatwa DSN-MUI mencapai 165 yang bukan sekadar angka, melainkan sebuah prestasi produktif yang tidak sedikit. Ini menjadi fondasi penting bagi pengembangan inovasi produk di sektor keuangan syariah ke depan.

Respons cepat, adaptif dan progresif regulasi terhadap fatwa dan perkembangan pasar serta inovasi produk dan layanan yang diiringi dengan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi lintas sektor oleh OJK menjadi tonggak utama bagi kemajuan sektor jasa keuangan syariah.

Indonesia tidak kekurangan potensi. Namun untuk masuk lima besar dunia, apalagi menjadi pemain utama global pada 2045, butuh lompatan bukan hanya langkah. Perlu strategi yang mengintegrasikan sektor keuangan syariah dengan pengembangan industri halal, riset dan inovasi, serta reformasi SDM dan literasi.

Momentum saat ini ibarat “injury time” dalam pertandingan. Butuh keseriusan kolaboratif dari pemerintah, regulator, industri, akademisi, dan masyarakat sipil. Jangan sampai posisi ke-6 hanya menjadi zona ‘nrimo’ nyaman yang meninabobokan. Justru ia harus menjadi alarm untuk mengejar lompatan besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement