Ahad 11 May 2025 07:00 WIB
Catatan Perjalanan "Islam dan Dialog Antaragama di Jerman" Bagian II

Jejak Dialog Antaragama di Jerman

Keterbukaan dan dialog adalah kunci integrasi.

Orang-orang berjalan melewati Masjid  Pusat Cologne selama Hari Masjid Terbuka di Cologne, Jerman, Selasa (3/10/2023).
Foto: EPA-EFE/CHRISTOPHER NEUNDORF
Orang-orang berjalan melewati Masjid Pusat Cologne selama Hari Masjid Terbuka di Cologne, Jerman, Selasa (3/10/2023).

Oleh : Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia; dari Cologne, Jerman

REPUBLIKA.CO.ID, COLOGNE -- Musim dingin di Cologne, awal 1965, bukan cuma soal suhu yang menggigit — tapi juga cerita hangat tentang kerukunan umat beragama.

Waktu itu, komunitas muslim Turki yang baru empat tahun sebelumnya datang ke Jerman, kesulitan mencari tempat untuk Shalat Id. Mereka sudah mencoba berbagai cara, termasuk menggunakan asrama tempat tinggal. Sayangnya, upaya itu mentok. Penolakan muncul dari sebagian komunitas agama lain. Bibit-bibit islamofobia pun mulai terasa. Akhirnya, mereka meminta bantuan otoritas setempat.

Baca Juga

Tak disangka, tangan terbuka datang dari komunitas Katolik. Katedral Cologne — gereja megah yang mulai dibangun sejak 1248 — membuka pintunya. Salat Id digelar di salah satu lorongnya. Sekitar 700 jamaah bergabung. Sebagai ungkapan terima kasih, mereka mengumpulkan donasi untuk pemeliharaan katedral.

Kisah ini jadi tonggak penting dialog antaragama di Jerman. Bahkan Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier sempat mengutipnya dalam peringatan 50 tahun Asosiasi Pusat Kebudayaan Islam (VIKS), September 2023.

Cerita ini juga seperti mengingatkan kita pada peristiwa lebih dari 14 abad lalu di Madinah. Ketika rombongan Nasrani dari Najran kesulitan mendapatkan tempat kebaktian, Rasulullah mempersilakan mereka menggunakan Masjid Nabawi.

photo
Pengunjung menaiki tangga menuju Masjid Pusat Cologne pada Hari Masjid Terbuka di Cologne, Jerman, Selasa (3/10/2023). - ( EPA-EFE/CHRISTOPHER NEUNDORF)

Dialog dan Integrasi: Jalan Panjang yang Masih Berlanjut

Keterbukaan dan dialog adalah kunci integrasi — dan di Jerman, perjalanan itu sudah lebih dari seabad. Sejak 1924, masjid pertama berdiri di Berlin berkat Jamaah Ahmadiyah. Kini ada sekitar 2.500 masjid tersebar di seluruh Jerman.

Namun, jalan tak selalu mulus. Islamofobia masih menjadi tantangan. Sejak 1997, inisiatif Open Mosque Day digelar tiap 3 Oktober: semua masjid membuka pintu untuk siapa saja, termasuk nonmuslim, demi mempererat hubungan.

Sekjen PBB António Guterres bahkan pada Maret 2025 menyerukan gerakan global melawan islamofobia. Sejak 2017, Konsil Pusat Muslim Jerman (ZMD) mencatat lebih dari 700 serangan terhadap muslim.

Upaya integrasi terus bergerak. Pada 2017, Masjid Besar Cologne berdiri megah — dirancang oleh arsitek ayah-anak, Gottfried dan Paul Böhm, yang biasanya mendesain gereja. Gaya arsitekturnya bernuansa Utsmani. Ini mengingatkan kita pada Masjid Istiqlal di Jakarta, yang diarsiteki Friedrich Silaban, seorang Protestan.

Sejak 2023, Masjid Cologne diperbolehkan mengumandangkan azan Salat Jumat lewat pengeras suara — simbol kemajuan koeksistensi.

Berbagai organisasi Islam di Jerman juga aktif mempromosikan integrasi: imam diminta fasih berbahasa Jerman, dan situs Konsil Pusat Muslim Jerman hanya memakai bahasa Jerman, sebagai penanda “kami bagian dari sini.” Apalagi, mayoritas muslim Jerman kini generasi kedua atau ketiga.

House of One: Satu Rumah untuk Tiga Agama

Pada 2012, sebuah gagasan berani dari kalangan akar rumput lahir di Berlin: House of One. Satu bangunan yang memuat tiga rumah ibadah — gereja, sinagoge, dan masjid — dipisahkan oleh ruang besar untuk pertemuan dan dialog.

Desainnya sengaja netral, tak menyerupai bangunan agama manapun. Pesan utamanya: persatuan dalam perbedaan. Konstruksinya yang sempat tersendat akan dilanjutkan kembali pada September 2025, diharapkan rampung dalam beberapa tahun ke depan.

Pembangunan House of One yang lambat, seakan menjadi cerminan proses integrasi muslim di Jerman. Tapi, tekad para penggagas House of One mengajarkan satu hal: dialog antaragama harus terus diikhtiarkan, meski tidak selalu mudah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement