Kamis 24 Apr 2025 13:33 WIB

Membangun Konsensus: PPHN Sebagai Arah Kebijakan untuk Masa Depan  

PPHN adalah bentuk reformulasi pokok-pokok kebijakan nasional.

Ilustrasi. PPHN adalah bentuk reformulasi pokok-pokok kebijakan nasional.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi. PPHN adalah bentuk reformulasi pokok-pokok kebijakan nasional.

Oleh : DR I Wayan Sudirta, SH MH, anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI-Perjuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Mengapa Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) diperlukan? Apakah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 sebagaimana UU Nomor 59 Tahun 2024 belum cukup memadai untuk menjadi landasan pembangunan nasional?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dilihat RPJPN secara komprehensif. Dimana ada 4 (empat) visi dalam RPJPN 2025-2045 yaitu pendapatan per kapita setara dengan negara maju; kemiskinan menurun dan ketimpangan berkurang, kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat, dan daya saing sumber daya manusia meningkat.

Baca Juga

Untuk mencapai visi tersebut dan dikaitkan dengan tujuan 100 tahun kemerdekaan atau dikenal juga dengan Indonesia Emas 2045, RPJPN 2025-2045 telah menegaskan 8 (delapan) agenda pembangunan yaitu mewujudkan transformasi sosial, mewujudkan transformasi ekonomi, mewujudkan transformasi tata kelola, memantapkan supremasi hukum, stabilitas, dan kepemimpinan Indonesia, memantapkan ketahanan sosial budaya, dan ekologi.

Selain itu juga, mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan, mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, dan mewujudkan kesinambungan pembangunan.

Selanjutnya, bagaimana kaitannya dengan PPHN? Apakah dengan demikian PPHN “hanya” menegaskan yang sudah diatur dalam RPJPN 2025-2045?

Untuk menjawab hal tersebut, termasuk juga dua keraguan yang ada dalam masyarakat tentang PPHN. Pertama, hakikat PPHN dan kedudukannya setelah adanya RPJPN 2025-2045 (dan juga UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional atau SPPN).

Kedua, menjawab keraguan masih perlukah haluan negara (PPHN) dan masih berwenangkah MPR menetapkannya?

Dikutip pada penjelasan UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan rakyat.”

Pada bagian selanjutnya, ditegaskan: “Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk dikemudian hari.”

Istilah haluan negara sendiri dipergunakan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen menyebut “MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara” dan penjelasannya menyatakan: “...DPR senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat...”

BACA JUGA: Eks Menteri Pertahanan Bongkar Kebohongan Israel Soal Terowongan, Ternyata...

Dalam konstruksi di atas, haluan negara mempunyai makna sebagai pedoman bagi penyelenggaraan negara. Berdasarkan pengalaman UUD 1945 sebelum amandemen, Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa haluan negara mencakup pengertian haluan negara yang tercantum dalam UUD 1945, haluan negara yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR/S, haluan negara dalam pengertian program kerja yang tertuang dalam Ketetapan MPR tentang GBHN, dan haluan negara yang tertuang dalam UU APBN.

photo
Syarat amendemen UUD 1945. - (infografis Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement