Jumat 12 Dec 2025 08:08 WIB

Renungan Kebijakan Purbaya dan Hukum Isaac Newton

Purbaya mencoba melawan entropi dengan transparansi dan digitalisasi.

ilustrasi potret menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Foto: Republika/Daan Yahya
ilustrasi potret menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Oleh : Anang Fahmi, Pusdiklat BAZNAS RI, Dosen UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto

REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang menarik ketika Isaac Newton merumuskan hukum gerak. Ia tak sedang bicara tentang uang. Tapi siapa sangka, ratusan tahun kemudian, hukum-hukumnya itu bisa menjelaskan mengapa kebijakan pajak seorang Purbaya Yudhi Sadewa menjadi begitu mengguncang.

Fisika, pada dasarnya, adalah ilmu tentang gerak dan gaya. Pajak pun demikian. Ia adalah gaya yang menggerakkan uang dari saku pribadi ke kas negara. Dan seperti setiap gaya dalam fisika, ia memiliki arah, besaran, dan—yang paling penting—“reaksi”.

Hukum Pertama: Inersia Sistem Lama

Newton pernah bilang: benda diam cenderung diam, benda bergerak cenderung bergerak. Dalam bahasa fisika, ini disebut inersia. Dalam bahasa perpajakan Indonesia, ini adalah resistensi terhadap perubahan.

Selama puluhan tahun, sistem pajak kita bergerak dengan kecepatan tertentu. Ada ritme yang nyaman. Ada celah yang akrab. Ada business as usual yang menenangkan—setidaknya bagi mereka yang tahu bagaimana memanfaatkannya.

Lalu datang Purbaya dengan kebijakannya: transparansi, integrasi data, digitalisasi. Ia mencoba mengubah kecepatan sistem. Dan seperti yang diprediksikan Newton, sistem menolak. Pelaku usaha merasa perlu beradaptasi dengan "sistem yang masih asing." Pelaku usaha yang "terbiasa dengan sistem lama" memicu pro-kontra.

Ini bukan sekadar resistensi psikologis. Ini adalah hukum alam. Setiap perubahan kecepatan memerlukan gaya. Semakin besar massa yang bergerak—dalam hal ini, 70% APBN—semakin besar gaya yang dibutuhkan untuk mengubah arahnya.

Gesekan: Kenapa Sistem Harus Panas

Dalam fisika, gesekan menghasilkan panas. Dua permukaan yang bersinggungan, bergerak berlawanan arah, menciptakan energi termal.

Kebijakan Purbaya kini bersinggungan dengan sistem lama. Tentu saja muncul panas. Tentu saja topiknya menjadi "hangat dibicarakan." Ini bukan anomali. Ini konsekuensi.

Penegakan kebijakan pajak yang lebih tegas adalah permukaan kasar yang digosokkan pada permukaan yang selama ini licin. Integrasi data adalah upaya mempersempit ruang kosong tempat uang "menguap" tanpa jejak. Digitalisasi adalah percepatan yang membuat gesekan semakin intens.

Yang menarik: dalam fisika, gesekan dianggap pemborosan energi. Tapi dalam rekayasa, gesekan juga yang membuat rem berfungsi. Tanpa gesekan, mobil tak akan pernah berhenti. Tanpa "panas" perdebatan ini, kebocoran pajak takkan pernah tertutup.

Pertanyaannya: berapa besar panas yang bisa kita tahan sebelum sistem overheating?

Tekanan dan Volume: Paradoks Boyle dalam Kas Negara

Robert Boyle menemukan sesuatu yang indah: pada suhu tetap, tekanan dan volume gas berbanding terbalik. Tekan gas, volumenya menyusut. Longgarkan tekanan, ia mengembang.

Kebijakan Purbaya meningkatkan tekanan: laporan lebih terstruktur, audit lebih cepat, pengawasan lebih ketat. Logikanya sederhana: perkecil ruang manipulasi, maksimalkan penerimaan.

Tapi apakah berlaku hukum Boyle di sini?

Mungkin. Mungkin tidak. Karena wajib pajak bukan gas ideal. Mereka bisa "menguap" ke ekonomi informal. Mereka bisa memindahkan aset keluar sistem. Tekanan berlebih tak selalu menghasilkan volume penerimaan yang lebih besar—ia bisa justru membuat sistem bocor di tempat lain.

Ini yang disebut fisikawan sebagai non-linear system. Sistem yang responsnya tak proporsional dengan stimulus. Seperti manusia yang, ketika ditekan terlalu keras, justru memberontak.

Termodinamika: Entropi yang Tak Terhindarkan

Hukum kedua termodinamika mungkin yang paling melankolis dalam fisika: entropi selalu meningkat. Keteraturan cenderung menuju kekacauan. Energi berguna selalu terdegradasi.

Sistem pajak lama telah mengalami entropi. Data tercecer. Potensi pajak "menguap" tanpa tercatat. Manipulasi laporan keuangan adalah bentuk energi yang terbuang sia-sia—produktif bagi individu, destruktif bagi sistem.

Purbaya mencoba melawan entropi dengan transparansi dan digitalisasi. Ia ingin menciptakan "sistem tertutup" tempat setiap transaksi tercatat, setiap aliran uang terlacak. Secara teoretis, ini mengurangi entropi informasi.

Tapi ada yang sering dilupakan: mengurangi entropi memerlukan energi. Sistem yang lebih teratur membutuhkan input yang lebih besar—birokrasi yang lebih kompeten, teknologi yang lebih canggih, pengawasan yang lebih intensif.

Pertanyaannya: apakah kita punya cukup energi untuk mempertahankan keteraturan baru ini? Atau kita hanya memindahkan kekacauan ke tempat lain?

Ekuilibrium: Mencari Titik Setimbang

Setiap sistem fisika mencari kesetimbangan. Air mengalir dari tempat tinggi ke rendah. Panas berpindah dari benda panas ke dingin. Tekanan menyebar merata.

Sistem pajak pun mencari ekuilibrium—antara penerimaan negara dan daya tahan ekonomi. Antara keadilan dan efisiensi. Antara kontrol dan kebebasan.

Kebijakan Purbaya adalah upaya mencari titik setimbang yang baru. Lebih dari 70% APBN berasal dari pajak—ini adalah gravitasi yang menarik seluruh ekonomi ke pusatnya. Terlalu kuat, ekonomi kolaps. Terlalu lemah, negara tak berfungsi.

Fisikawan tahu: sistem yang stabil adalah sistem yang dapat meredam gangguan kecil tanpa runtuh. Sistem pajak yang baik harus sama: cukup kuat untuk mengumpulkan, cukup fleksibel untuk tidak mematikan.

Resonansi: Ketika Frekuensi Bertemu

Ada fenomena dalam fisika bernama resonansi. Ketika frekuensi gaya eksternal sama dengan frekuensi alami sistem, amplitudonya membesar drastis. Jembatan bisa runtuh karena angin dengan frekuensi tepat.

Kebijakan pajak juga bisa mengalami resonansi. Ketika frekuensi perubahan bertemu dengan frekuensi alami resistensi masyarakat—di sinilah topik menjadi "panas." Di sinilah amplitudo perdebatan membesar.

Purbaya menciptakan resonansi. Transparansi, digitalisasi, penegakan hukum—semuanya bergetar pada frekuensi yang membuat sistem bereaksi keras. Pro dan kontra bukan kebisingan acak. Ia adalah gelombang yang saling menguatkan.

Yang bijak tahu: resonansi bisa menghancurkan, tapi juga bisa dimanfaatkan. Oven microwave memasak dengan resonansi. MRI mendiagnosis dengan resonansi.

Pertanyaannya: akankah resonansi ini membangun sistem yang lebih baik, atau meruntuhkan yang sudah ada?

Di ujung renungan ini, kita kembali pada pertanyaan awal: mengapa fisika penting untuk memahami pajak?

Karena pajak, seperti alam semesta, tunduk pada hukum-hukum tertentu. Ia tidak bisa dipahami hanya dengan angka dan regulasi. Ia harus dipahami sebagai sistem—dengan gaya, gesekan, tekanan, dan ekuilibrium.

Purbaya Yudhi Sadewa sedang melakukan eksperimen besar. Ia mengubah parameter sistem yang telah berjalan puluhan tahun. Dan seperti setiap eksperimen fisika, hasilnya bergantung pada seberapa baik kita memahami hukum-hukum yang berlaku.

Newton mengajari kita tentang inersia. Boyle tentang tekanan. Termodinamika tentang entropi.

Kebijakan pajak mengajari kita tentang manusia—yang lebih kompleks dari gas ideal, lebih tak terduga dari benda jatuh bebas, dan lebih sulit dipahami dari hukum fisika manapun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement