Selasa 15 Apr 2025 14:31 WIB

Wayang, Tembang, Gadang, dan Dagang: Alat Syiar Wali Songo di Nusantara

Warisan Wali Songo terukir pada pendekatan asimilasi dan akulturasi yang damai.

Pelajar membawa poster Wali Songo saat mengikuti Kirab 1000 Santri Yogyakarta di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Ahad (6/11/2022).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pelajar membawa poster Wali Songo saat mengikuti Kirab 1000 Santri Yogyakarta di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Ahad (6/11/2022).

Oleh : Indra Gunawan*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di bawah langit pantai utara Jawa, di tengah aroma garam dan rempah, sembilan wali yang dikenal sebagai Wali Songo melangkah dengan penuh kebijaksanaan. Mereka bukan hanya ulama, melainkan penenun cerita yang membawa Islam menyatu dengan jiwa Nusantara. Tanpa gemuruh perang atau paksaan, mereka menggunakan wayang, tembang, gadang (pernikahan), dan dagang sebagai alat syiar Islam yang sudah kaya nilai budaya dan agama.

Di tengah kuatnya pengaruh Hindu-Buddha dari Sriwijaya dan Majapahit, aroma animisme di pedesaan, serta jejak kecil Kristen di pelabuhan, Wali Songo menghadirkan Islam seperti air yang mengalir, meresap tanpa merusak. Kisah mereka adalah tentang bagaimana syiar Islam menjadi harmoni budaya, sebuah keunikan yang menjadikan Nusantara istimewa.

Wayang: Panggung Drama Pemikat Hati

Temaram saga di Demak, sekitar tahun 1500-an, adalah saat ketika alun-alun menjadi lautan manusia. Ribuan pasang mata, dari petani hingga bangsawan, takjub pada kelir wayang kulit yang digelar Sunan Kalijaga. Ia tak sekadar memainkan tokoh-tokoh Mahabharata, tapi memberi nafas baru pada tradisi Hindu-Buddha itu. Wajah wayang dibuat lebih abstrak, mengadopsi ajaran Islam, sementara cerita seperti Dewa Ruci diisi dengan pesan tauhid dan perjalanan menuju Ilahi.

Pertunjukan “para pencari tuhan” ini, mampu menarik hingga ribuan penonton dalam semalam, bukan hanya tontonan, tapi juga tuntunan. Bukan roman picisan tapi hikmah panutan. Dalam area masjid-masjid di Demak, Sunan Kalijaga menyisipkan dialog aqidah yang dipupuk, ibadah yang dirujuk, lalu mengubah wayang menjadi suluk—media pendidikan yang merangkul budaya Jawa. Tradisi yang dulu mengalir di candi-candi Majapahit kini menjadi panggung dakwah, larut membaur dengan hegemoni Hindu tanpa konflik. Bahkan gunungan wayang mulai dihiasi kaligrafi Islami pada abad 16, tanda perubahan yang halus namun maknanya mendalam.

Tembang: Lantunan Melodi Pelipur Jiwa

Di pesantren Tuban, alunan gamelan mengiringi suara Sunan Bonang yang mengalunkan tembang. “Lir ilir, tandure wis sumilir,” syair Kanjeng Sunan Kalijaga bergema, mengajak pendengar bangun dari kelalaian dengan bahasa puitis yang akrab di hati Jawa. Tembang diracik dengan rima khas Jawa yang mudah dihafal, lebih dari sekadar seni. Ia adalah undangan untuk menerangi iman, dibalut melodi yang biasa mengiringi ritual Hindu-Buddha.

Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga mengganti puja candi dengan pesan sufisme, menjadikan tembang seperti Dhandhanggula dan Pangkur sarana dakwah yang inklusif. Dari pasar hingga sawah lalu rumah, tembang ini menyebar, dinyanyikan bersama, dan diajarkan kepada ratusan santri setiap tahun di pesantren seperti Giri yang didirikan Sunan Giri pada 1487. Berbeda dengan qasidah Arab yang asing, tembang Walisongo adalah refleksi budaya lokal, sebuah inovasi yang masih hidup di pesantren Jawa hingga kini.

Gadang: Cinta Suci Perekat Budaya

Di pelabuhan Gresik dan Cirebon, cinta menjadi jalan syiar yang tak kalah kuat. Pernikahan antara pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, hingga Tiongkok dengan keluarga lokal, termasuk bangsawan, menciptakan ikatan yang mengubah sejarah. Raden Patah, putra Brawijaya V dari Majapahit dengan putri Tionghoa Muslim, mendirikan Kesultanan Demak sekitar tahun 1500. Sunan Gunung Jati, melalui pernikahan dengan Putri Ong Tien, memperkokoh Islam di Cirebon. Sunan Ampel bahkan menikahkan para santrinya dengan keluarga Jawa untuk membangun jaringan Muslim yang erat.

Di Masjid Agung Demak, didirikan pada 1479, pernikahan-pernikahan ini menarik bangsawan Hindu untuk memeluk Islam. Dalam satu generasi, lebih dari separuh pejabat Demak adalah Muslim hasil perkawinan campur, sebuah strategi yang tak umum di tempat lain seperti India. Cinta, di tangan Walisongo, bukan hanya soal hati, tapi aliansi yang menyatukan budaya dan iman, menetralkan pengaruh Kristen Eropa yang mulai merayap masuk.

Dagang: Niaga Pemantik Iman

Pelabuhan seperti Gresik dan Tuban adalah nadi perdagangan sekaligus dakwah. Sejak abad ke-7, Islam masuk melalui pedagang, ditandai dengan makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik pada 1419. Sunan Gresik dan Sunan Ampel membangun komunitas Muslim di tengah tumpukan rempah dan kain, menarik pedagang lokal dengan etika dagang Islami yang menekankan kejujuran dan zakat. Pada awal abad 15, catatan Tiongkok menyebut seribu keluarga Muslim di Tuban dan Gresik, sebuah angka yang terus tumbuh.

Pelabuhan Demak, pada 1520-an, bahkan menguasai hingga 40 persen perdagangan rempah Jawa, menyaingi pelabuhan Hindu seperti Tuban. Pekojan, kampung Muslim di Gresik, menjadi pusat syiar di sela kesibukan dagang. Berbeda dengan Jazirah Arab yang kerap diributkan konflik suku, perdagangan di Nusantara adalah harmoni sosial, sebuah keunikan yang menjadikan pelabuhan sebagai gerbang iman.

Warisan harmoni Wali Songo terukir pada pendekatan asimilasi dan akulturasi yang damai. Tak ada darah dan nanah, apalagi banyak pedang atau parang dalam perang agama di Nusantara, berbeda dengan konflik dan sengketa agama di Timur Tengah atau ketegangan di India. Wali Songo merangkul tasawuf, menyatukan budaya Jawa dengan ajaran Islam. Wayang dan tembang tak dihancurkan, melainkan diisi ruh baru, menjadikan Islam Nusantara sebagai wajah lokal yang hangat. Gadang dan dagang dibalut jadi sarana negosiasi.

Dalam satu abad, populasi Muslim di Nusantara melesat dari segelintir menjadi lebih dari separuh penduduk, dengan masjid seperti Demak dan Kudus sebagai pusatnya. Jaringan pesantren, masjid, dan pasar yang mereka bangun menghubungkan pelabuhan dengan pedalaman, menciptakan komunitas yang kokoh. Warisan mereka masih hidup—dalam tembang yang bergema, wayang yang memikat, dan masjid kuno yang berdiri tegak. Melalui wayang, tembang, gadang, dan dagang inilah Wali Songo mengajarkan bahwa syiar tak perlu keras, cukup mengalir seperti sungai, merangkul budaya, dan menjadikan Islam bagian  nilai ”bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”  jiwa nadi Nusantara.

*)Dosen FEB UIII, Alumni Lemhannas PPSA XXIV, Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement