
Oleh : Lukmanul Khakim, Staf Khusus Kemenko Pemberdayaan Masyarakat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu lagi ketegangan global dengan kebijakan perang dagang terbaru pada April 2025. Ia menetapkan tarif impor 104 persen terhadap barang Tiongkok, menyusul balasan Beijing dengan tarif 34 persen untuk produk AS.
Sebelumnya, Trump mengumumkan tarif baru sebesar 10 persen untuk hampir semua barang impor, yang memicu respons Tiongkok dengan tarif tambahan 10 persen-15 persen pada produk AS. Kebijakan proteksionis ini memicu kekhawatiran akan dampak negatif terhadap ekonomi global, meskipun Trump berargumen langkah ini untuk menghadapi praktik perdagangan tidak adil, seperti pencurian kekayaan intelektual.
Namun, kebijakan ini tidak sepenuhnya baru. Trump telah memulai perang dagang sejak Juli 2018 dengan tarif 25 persen pada barang impor Tiongkok senilai 34 miliar juta dolar, yang dibalas Tiongkok dengan tarif serupa. Ironisnya, kebijakan ini justru meningkatkan defisit perdagangan AS, yang mencapai rekor tertinggi 684,1 miliar dolar AS pada akhir 2018.
Dampak perang dagang ini pasti dirasakan luas oleh perekonomi global. Di Amerika sendiri, tarif tinggi memicu kenaikan harga konsumen sebesar 0,5 persen dan mengurangi pendapatan rumah tangga rata-rata hingga 1.300 dolar AS per tahun. Perang dagang menyebabkan penurunan PDB riil AS sebesar 0,2 persen.
Di sisi lain, China mengalami kerugian sebesar 1,2 persen dari PDB-nya. Laporan Brookings Institute pada 2022 menyebutkan bahwa kesepakatan "fase pertama" antara AS dan Tiongkok gagal mencapai target pembelian tambahan barang AS senilai 200 miliar dolar AS oleh Tiongkok hingga akhir 2021.
Di Indonesia, dampak perang dagang yang dimulai pada 2018 dan berlanjut hingga 2025, juga memberikan tekanan terhadap perekonomian. Kini, dengan tarif resiprokal 32 persen yang diterapkan oleh AS, kendati mengalami jeda, tentu akan membuat daya saing ekspor Indonesia terganggu dan memengaruhi kinerja industri dalam negeri. Pengaruh perang dagang juga dapat dirasakan mata uang rupiah jika ekspor terkendala tarif tinggi ini.
Tak ayal, ketidakpastian di industri perbankan dalam negeri juga meningkat. Risiko kredit perbankan bisa terkerek naik. Peningkatan risiko kredit terutama akan menerpa debitur yang bergantung pada perdagangan internasional. Pada April 2025, rasio kredit bermasalah (NPL) di sektor perbankan Indonesia diperkirakan mencapai 3,2 persen atau naik dari 2,8 persen pada tahun sebelumnya.
Situasi ini berpotensi memicu pengetatan suku bunga oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas moneter. Inflasi juga diprediksi bisa mencapai 3,5-4 persen akibat biaya ekspor-impor yang lebih mahal. Makanya, sektor perbankan harus lebih selektif dalam penyaluran kredit dan memperkuat manajemen risiko untuk menghadapi tantangan ini.
Tak bisa tidak, perbankan Indonesia perlu menerapkan strategi yang komprehensif. Pada Desember 2024, rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Indonesia tercatat sebesar 26,69 persen, menunjukkan posisi permodalan yang kuat. Namun, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hanya mencapai 4,48 persen year-on-year (yoy), menurun dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 7,54 persen yoy.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah menekankan pentingnya penguatan manajemen risiko dan permodalan dalam menghadapi dinamika ekonomi global. Kepala Eksekutif Pengawas Perankan OJK, Dian Ediana Rae, pada Januari 2025, menyatakan bahwa perbankan harus memperhatikan aspek kehati-hatian, profesionalisme, inovasi, dan integritas dalam operasional mereka. Fokus pada sektor-sektor yang memiliki multiplier effect tinggi dan penyerapan tenaga kerja signifikan, seperti perdagangan besar dan industri pengolahan, dapat menjadi strategi efektif dalam penyaluran kredit.
Selain itu, perbankan perlu meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk mengantisipasi potensi peningkatan kredit bermasalah akibat ketidakpastian ekonomi global. Meskipun rasio kredit bermasalah (NPL) gross masih di bawah ambang batas 5 persen, namun kewaspadaan tetap diperlukan. Perang dagang yang dikumandangkan Donald Trump dapat menciptakan krisis ekonomi global yang kompleks dan sulit diprediksi karena situasi dapat memburuk seketika.
Lawrence Summers, mantan Menteri Keuangan AS, memperingatkan bahwa eskalasi tarif dapat mendorong AS ke dalam resesi, berpotensi mengakibatkan hilangnya 2 juta pekerjaan dan penurunan pendapatan rumah tangga dalam jumlah signifikan. Ekonom Michael Hudson menekankan kebijakan Trump dapat mendestabilisasi ekonomi global, menyebabkan krisis keuangan, dan memperburuk ketidakpastian ekonomi.
Presiden Prabowo Subianto juga telah merespons kebijakan tarif impor baru Amerika Serikat dengan sikap tegas dan diplomatis. Dalam pidatonya, Presiden menegaskan pentingnya menjaga hubungan bilateral yang adil dan resiprokal, sembari mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia.
Presiden Prabowo bahkan sudah menyiapkan strategi jangka panjang, termasuk membuka pasar baru dan memperkuat hilirisasi ekonomi. Pendekatan ini mencerminkan kepemimpinan yang tenang, visioner, dan siap menghadapi tantangan global. Langkah tersebut menunjukkan komitmen kuat untuk melindungi kedaulatan ekonomi nasional.
Tinggal kalangan Perbankan Indonesia yang sekarang dituntut untuk mengadopsi strategi manajemen risiko yang efektif dalam menghadapi potensi gejolak ekonomi ini. Salah satu langkah penting adalah melakukan analisis portofolio yang mendalam untuk mengidentifikasi nasabah yang paling terpengaruh oleh perubahan tarif dan ketidakpastian pasar.
Bank juga harus fokus pada analisis risiko kredit dan country risk dan mampu memperbarui model penilaian agar lebih responsif terhadap perubahan kondisi makroekonomi dan dinamika pasar global. Aspek likuiditas harus benar-benar diperkuat, terutama likuiditas valas.
Peningkatan penggunaan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI), untuk memantau dan menganalisis data secara real-time tidak bisa dihindari. Ini memungkinkan bank untuk melakukan penyesuaian strategis dengan cepat dalam menghadapi volatilitas pasar. Adopsi pendekatan yang lebih dinamis dalam manajemen risiko untuk menghadapi ketidakpastian geopolitik dan ekonomi yang terus berkembang agar perbankan Indonesia dapat memperkuat ketahanan menghadapi dampak negatif perang dagang yang berkepanjangan.