Kamis 10 Apr 2025 15:34 WIB

Ketidakwarasan Diplomasi Global: Etika Diplomasi tanpa Nurani, Jeritan dari Gaza

Apakah kita menyebut ini perang?

Seorang gadis muda Palestina yang terluka akibat serangan udara Israel di sekolah Dar al-Arqam, dibawa untuk dirawat di Rumah Sakit Baptis di Kota Gaza, pada Kamis, 3 April 2025.
Foto: AP Photo/Jehad Alshrafi
Seorang gadis muda Palestina yang terluka akibat serangan udara Israel di sekolah Dar al-Arqam, dibawa untuk dirawat di Rumah Sakit Baptis di Kota Gaza, pada Kamis, 3 April 2025.

Oleh : Ali Amril, Aktivis Gerakan Filantropi Dunia Islam & Chairman Aksi (Aliansi Kemanusiaan Indonesia)

REPUBLIKA.CO.ID, Di ujung timur Laut Tengah, di atas tanah bernama Gaza, dunia menyaksikan tanpa daya, bahkan tanpa getar hati, anak-anak yang dibunuh dan tubuhnya terlempar ke langit, rumah-rumah yang menjadi kuburan massal, dan ibu-ibu yang memeluk erat jasad bayinya seolah melepaskan kerinduan terakhirnya. Kita terlalu sering menyebut tragedi kemanusiaan ini dengan istilah perang.

Tapi apa yang kita saksikan hari ini adalah pembantaian! Ini genosida! Ini pemusnahan penduduk suatu negeri secara sistematis dan terang-terangan!

Baca Juga

Lantas, apakah waras jika saat ini kita bisa masih bicara tentang diplomasi dengan datar-datar saja, seolah sedang bicara di podium seminar akademik? Masih layakkah kita meyakini bahwa diplomasi adalah satu-satunya jalan, ketika darah telah terlalu sering membasuh penduduk suatu negeri serta mengeliminasi garis batas kesabaran ?

Seruan Solidaritas dari Dunia yang Tuli

Israel melakukan pembantaian secara terang-terangan. Sekolah, Rumah sakit, pengungsian, fasilitas publik, bahkan bantuan medis dan pangan secara keji juga menjadi sasaran. Di sisi lain, dunia berbasa-basi menggunakan narasi yang tidak berubah: kami mengecam, kami menyesalkan, kami prihatin. Tapi kita tidak (atau belum) melihat sama sekali adanya tekanan dari dunia.

Tidak ada (atau belum pernah ada) sanksi. Tidak ada (atau belum pernah ada) langkah real dan terorganisir. Dunia saat ini baru sebatas orkestrasi amoral, di mana setiap negara besar hanya "bermain-main" memainkan narasi diplomasi, namun sambil tetap menutup mata dan telinga mereka.

Sebuah anomali: apakah tuli? Atau sengaja tidak mau mendengar?

Dunia Telah Gagal Menjadi Manusia Seutuhnya

Saat ini, kita telah sampai pada masa dimana istilah HAM seolah hanya sebatas dekorasi diplomasi, bukan pegangan nilai moral. PBB; lembaga yang salah satu tujuan didirikannya adalah untuk mencegah berulangnya tragedi kemanusiaan, hari ini justru menjadi "prasasti kebisuan". Negara adidaya, sebutlah Amerika Serikat secara terang-terangan mensponsori pembantaian umat manusia, mereka berbicara tentang hak Israel membela diri, tetapi gagal menjadi manusia seutuhnya saat Palestina dibumihanguskan.

Masih layakkah bicara peradaban jika kita gagal menjadi manusia seutuhnya? Apa gunanya "kaidah hukum dunia" jika ia tumpul ke negara besar dan hanya tajam ke negara kecil ?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement