
Oleh : KH DR Aguk Irawan, Lc MA Pengasuh Pesantren Bailtul Kilmah Bantul Yogyakarta
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Sebelum lawatan ke Timur Tengah, pada 9 April 2024, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan gagasan evakuasi warga Palestina sebagai korban perang.
Ada dua syarat agar evakuasi bisa terealisasi yaitu pertama, mendapat dukungan penuh negara-negara Tetangga di Timur Tengah. Kedua, kewajiban mengembalikan setelah kondisi aman dan proses pengobatan korban sudah dianggap cukup. Statement presiden ini telah menimbulkan pro-kontra dalam negeri.
Sebelumnya, Presiden Yordania King Abdullah dan Presiden Mesir Abdul Fattah as-Sisi mengajak Liga Arab mengeluarkan sikap. Pada 1 Februari 2025, Liga Arab mengafirmasi bahwa mereka menolak segala jenis kompromisasi hak-hak Palestina yang tidak bisa dicabut, baik melalui permukiman, penggusuran maupun pengosongan atas nama keadaan maupun justifikasi apapun (The Begin-Sadat Center for Strategic Studies, 13 Februari 2025).
Maka, rencana evakuasi yang secata teritoroal sangat jauh ini dikhawatirkan menjadi langkah pertama yang membuka proses relokasi dan “pengosongan” yang ditentang oleh Liga Arab sendiri.
BACA JUGA: Ayat Terakhir yang Dibaca Umar Bin Khattab dan Tangisan para Sahabat Iringi Kematiannya
Evakuasi atas nama pengobatan atau nilai kemanusiaan apapun (kecuali di perbatasan atau negara tetangga) ditolak oleh Liga Arab, karena substansinya sama saja, yaitu pengosongan tanah dari pemiliknya. Oleh karena itulah, syarat pertama rencana evakuasi Presiden Prabowo tidak terpenuhi, karena bertolak belakang dengan konteks maupun sikap Liga Arab sendiri.
Syarat kedua dari Presiden Prabowo juga sulit terpenuhi. Pasalnya, negara Timur Tengah sendiri sudah jauh hari melakukannya. Evakuasi untuk tujuan perawatan medis telah lebih dulu dilakukan oleh Kerajaan Yordan dan Pemerintah Mesir.
Kementerian Kesehatan Gaza pada awal tahun 2025 mengatakan bahwa puluhan korban luka-luka telah memasuki Mesir untuk perawatan medis setelah jalur Rafah dibuka (Aljazeera, 1 Febaruari 2025).
