Ahad 23 Mar 2025 11:03 WIB

Dua Tekanan Global, Satu Ujian Besar

Pemerintah dan otoritas keuangan harus berbicara dalam satu suara.

Pedagang sayur merapikan cabai rawit di Pasar Kosambi, Kota Bandung. Sabtu (22/3/2025). Di Bandung harga cabai rawit mengalami kenaikan Rp 10.000 dari semula Rp 90.000 per kilo, kini naik menjadi Rp 100.000 per kilo. Kenaikan harga sejumlah komoditas bahan pokok ini dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya cuaca ekstrem, gagal panen hingga kelangkaan dan terhambatnya pasokan.
Foto: Edi Yusuf
Pedagang sayur merapikan cabai rawit di Pasar Kosambi, Kota Bandung. Sabtu (22/3/2025). Di Bandung harga cabai rawit mengalami kenaikan Rp 10.000 dari semula Rp 90.000 per kilo, kini naik menjadi Rp 100.000 per kilo. Kenaikan harga sejumlah komoditas bahan pokok ini dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya cuaca ekstrem, gagal panen hingga kelangkaan dan terhambatnya pasokan.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Syafruddin Karimi, Departemen Ekonomi Universitas Andalas

Indonesia kembali diuji. Dua tekanan global datang bersamaan, mempersempit ruang gerak ekonomi domestik. Pertama, sikap hati-hati Federal Reserve AS yang menunda pelonggaran suku bunga. Kedua, lonjakan harga minyak dunia akibat sanksi terbaru terhadap Iran dan kebijakan pemangkasan produksi dari OPEC+. Kombinasi ini menciptakan tekanan ganda terhadap stabilitas nilai tukar, inflasi energi, serta keseimbangan fiskal Indonesia.

Federal Reserve, melalui pernyataan Presiden Fed New York, John Williams, menegaskan bahwa kondisi suku bunga saat ini tetap relevan di tengah ketidakpastian kebijakan fiskal dan geopolitik di AS. Dengan inflasi yang masih belum sepenuhnya jinak, The Fed enggan menurunkan suku bunga secara terburu-buru. Konsekuensinya, aliran dana global akan tetap condong ke aset dolar AS yang aman dan menguntungkan, meninggalkan emerging markets seperti Indonesia dalam posisi rawan capital outflow. Di tengah situasi ini, tekanan terhadap nilai tukar rupiah tak terhindarkan.

Tak kalah serius adalah perkembangan harga minyak dunia. Brent naik ke 72,16 dolar AS per barel, dan WTI ke 68,28 dolar AS. Ini bukan lonjakan teknikal semata, melainkan respons pasar terhadap sanksi baru AS terhadap ekspor minyak Iran dan ketegangan produksi dalam tubuh OPEC+. Sebagai negara net importir energi, Indonesia akan menanggung konsekuensi langsung: membengkaknya subsidi energi, meningkatnya tekanan inflasi, dan memburuknya neraca transaksi berjalan.

Sementara itu, pasar modal domestik menunjukkan tanda-tanda optimisme. Nilai transaksi saham di Bursa Efek Indonesia melonjak lebih dari 60 persen dalam sepekan. Tapi optimisme ini tidak mengubah fakta bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetap turun. Investor asing mencatat jual bersih yang signifikan, mengindikasikan bahwa sentimen eksternal tetap dominan. Euforia lokal tidak cukup untuk menepis keraguan global.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah dan otoritas keuangan harus berbicara dalam satu suara. Bank Indonesia perlu menjaga stabilitas rupiah, tanpa mengorbankan pertumbuhan kredit dan investasi. Sementara itu, pemerintah harus memperkuat efektivitas belanja negara. Belanja subsidi harus dikaji ulang agar tidak menggerus ruang fiskal yang seharusnya digunakan untuk menopang sektor produktif.

Transisi energi tidak lagi menjadi opsi, melainkan keharusan. Ketergantungan pada minyak impor telah berkali-kali menempatkan Indonesia dalam posisi rentan. Dalam jangka menengah, strategi energi nasional harus beralih ke ketahanan dan kemandirian. Dalam jangka pendek, daya beli masyarakat perlu dilindungi. Bantuan langsung, insentif UMKM, dan pengendalian harga pangan adalah langkah strategis untuk menjaga stabilitas sosial di tengah ketidakpastian ekonomi.

Ekonomi Indonesia pernah bertahan di tengah badai. Tapi untuk bertahan kali ini, dibutuhkan arah kebijakan yang tegas, respons cepat, dan koordinasi lintas sektor yang nyata. Optimisme pasar adalah modal awal. Namun, tanpa ketahanan, optimisme bisa berubah menjadi euforia yang rapuh.

Indonesia perlu lebih dari sekadar pertumbuhan. Kita membutuhkan ketahanan. Ketahanan fiskal, ketahanan energi, dan ketahanan sosial. Inilah saatnya membuktikan bahwa ekonomi kita tak hanya tumbuh saat dunia bersahabat, tapi juga tangguh saat dunia berubah tak menentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement