Oleh : Dwi Irianti Hadiningdyah, Direktur Keuangan Sosial Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kegaduhan baru telah muncul terkait narasi penggunaan zakat untuk membiayai MBG (Makanan Bergizi Gratis). Narasi ini berkembang seiring dengan isu bahwa pemerintah kekurangan dana untuk membiayai program tersebut, sehingga dicari sumber dana lain, termasuk zakat. Namun, benarkah demikian?
Kegaduhan ini seharusnya dapat segera diakhiri, karena dana pemerintah dinyatakan cukup untuk membiayai MBG. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Noor Achmad, seperti dilansir Kompas.com (21 Januari 2025). Ia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo dan Kantor Staf Presiden (KSP) telah memastikan bahwa dana dari pemerintah sudah mencukupi.
Penggunaan zakat untuk membiayai MBG memang menjadi kontroversi, karena penerima zakat (mustahik) telah ditentukan secara spesifik dalam Alquran, surat At-Taubah ayat 60. Ayat ini menyebutkan bahwa zakat hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (asnaf), yaitu fakir (orang yang hampir tidak memiliki apa-apa), miskin (orang yang memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhan dasarnya), amil (pengelola zakat), mualaf (orang yang baru memeluk agama Islam), riqab (budak), gharimin (orang yang memiliki hutang dan tidak mampu melunasi), fii sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal).
Ayat tersebut dimulai dengan frasa “innama…” yang berarti “Sesungguhnya hanyalah…”, menunjukkan pembatasan yang tegas dari Allah SWT bahwa penerima zakat hanya terbatas pada delapan golongan ini.
Selain itu, ayat ini diakhiri dengan frasa “sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Penutup ini menegaskan bahwa ketentuan penyaluran zakat kepada delapan golongan tersebut adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt berdasarkan kebijaksanaan dan pengetahuan-Nya yang sempurna.
Karena penerima manfaat program Makanan Bergizi Gratis (MBG) mencakup seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya mustahik, maka penggunaan dana zakat untuk MBG berpotensi menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, narasi penggunaan zakat untuk membiayai MBG tidaklah tepat. Sebaliknya, yang perlu kita kembangkan adalah bagaimana MBG dapat memberdayakan mustahik, khususnya golongan fakir dan miskin, yang untuk penyederhanaan dalam tulisan ini disebut sebagai mustahik.
MBG dan Pemberdayaan Mustahik
Menurut penulis, program MBG dapat menjadi peluang besar untuk mendorong kebangkitan ZISWAF (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf) untuk pemberdayaan mustahik. MBG juga menjadi momentum strategis bagi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) untuk membangun ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Bagaimana hal ini bisa diwujudkan?
Salah satu cara adalah dengan menjadikan mustahik sebagai mitra pengadaan MBG. Hal ini sangat potensial karena pasarnya jelas, dan sumber pembayarannya pun pasti serta kredibel, yaitu Pemerintah. Badan Gizi Nasional (BGN) menyampaikan bahwa program MBG membutuhkan 5.000 Satuan Pelayanan (SP), yang dikenal juga sebagai dapur umum. Setiap SP diharapkan dapat membagikan 3.000 porsi makanan per hari. Dari total SP yang dibutuhkan, sebanyak 1.542 unit akan dikelola langsung oleh BGN, sementara 3.458 unit lainnya akan dikelola oleh mitra.
Angka ini menunjukkan betapa besar potensi MBG sebagai lahan pemberdayaan ekonomi bagi para mustahik. Dengan demikian, selain berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, program ini juga membuka peluang usaha bagi golongan fakir dan miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Meskipun menjadi mitra dalam program MBG melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menguntungkan bagi mustahik, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil, terutama karena keterbatasan dana. Untuk dapat mengelola Satuan Pelayanan (SP), diperlukan modal yang cukup besar, mengingat standar operasional yang ditetapkan setara dengan katering profesional. Modal awal diperlukan, antara lain, untuk menyiapkan tempat dengan luas minimal dapur 200 meter per segi, peralatan dapur modern, dan peralatan makan berbahan stainless steel. Penggunaan peralatan tersebut bertujuan untuk menghindari bahan-bahan seperti plastik dan styrofoam yang dapat menimbulkan masalah lingkungan. Dalam kondisi ini, sudah dipastikan mustahik membutuhkan dukungan permodalan.
Di sinilah peran strategis dana zakat. Dana zakat dapat digunakan sebagai modal pengelolaan SP. Dengan begitu, distribusi zakat kepada mustahik tetap sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini juga menciptakan model program zakat produktif yang benar-benar memberdayakan mustahik secara ekonomi.
Selain dana zakat, optimalisasi lahan atau bangunan wakaf dapat menjadi solusi tambahan. Lahan atau bangunan wakaf dapat dimanfaatkan sebagai tempat SP, sehingga mustahik tidak perlu menanggung biaya sewa. Selain itu, dana wakaf dalam bentuk uang juga dapat diwujudkan sebagai sarana atau infrastruktur untuk mendukung operasional SP yang profesional.
BGN menawarkan beragam model kemitraan, seperti dengan yayasan, koperasi, BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), atau BUMDesma (BUMDes Bersama). Pola kemitraan yang paling cocok untuk mustahik adalah melalui pembentukan koperasi.
Dana zakat yang diterima oleh mustahik dapat dicatat sebagai simpanan pokok dan simpanan wajib dalam koperasi syariah yang bergerak di sektor riil. Pembentukan koperasi tersebut dilakukan dengan akad syirkah, sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 141/DSN-MUI/VIII/2021 tentang Pedoman Pendirian dan Operasional Koperasi Syariah. Dengan skema ini, mustahik mendapatkan berbagai manfaat ekonomi, yaitu gaji sebagai pekerja di SP dan Sisa Hasil Usaha (SHU) sebagai pemilik usaha SP.
Pemberdayaan mustahik dengan dana zakat tidak hanya terbatas pada kemitraan dengan BGN melalui pengelolaan SP, tetapi juga mencakup permodalan mustahik yang terlibat dalam rantai pasok MBG. Rantai pasok ini meliputi pengadaan bahan baku pangan, kemasan, transportasi, dan lainnya. Dengan demikian, tercipta ekosistem pemberdayaan mustahik berbasis dana zakat yang didorong oleh program MBG.
Peran Strategis KNEKS
Sebagaimana uraian sebelumnya, ada beberapa komponen agar bisa menjadikan program MBG sebagai momentum pemberdayaan mustahik dengan ekonomi dan keuangan syariah (Eksyar). Yang pertama adalah dukungan dana zakat untuk permodalan mustahik; yang kedua adalah tanah dan bangunan wakaf untuk lokasi dapur umum; serta yang ketiga adalah penguatan lembaga usaha dengan badan hukum koperasi. Untuk tiga hal tersebut, membutuhkan dukungan dan otoritas beberapa kementerian dan lembaga (K/L) yang terlibat. Baznas tentang zakat, Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk wakaf dan Kementrian Koperasi terkait perkoperasian. Lembaga yang bisa mengkoordinasikan ketiga K/L tersebut terkait Eksyar adalah KNEKS.
Di sinilah peran strategis KNEKS, mengkoordinasikan K/L tersebut sehingga MBG bisa menjadi momentum pemberdayaan mustahik. Peran mengkoordinasikan ini diantaranya telah dilakukan oleh KNEKS melalui beberapa FGD. Ada dua FGD yang telah diselenggaraka, yang pertama adalah terkait koperasi produksi dan FGD yang kedua terkait sektor ZISWAF.
Pada FGD yang pertama, dibahas bahwa koperasi produksi adalah jenis koperasi yang diharapkan dapat mendukung dengan optimal program MBG. Pada FGD tersebut hadir narasumber dari Kementrian Koperasi, Bappenas dan Konsultan PUM Belanda. FGD tersebut diselenggarakan pada hari Jum’at tanggal 10 Januari 2025.
FGD kedua diselenggarakan pada hari Rabu, 22 Januari 2025. FGD) dengan tema “Penyelarasan Sektor ZISWAF dan Program Makan Bergizi Gratis”, dihadiri dengan narasumber dari Kementrian Agama, BAZNAS, dan Badan Gizi Nasional. Acara tersebut dihadiri oleh peserta aktif dari berbagai lembaga zakat nasional dan nazir. Potensi dukungan yang besar untuk program MBG terlhat dari data BAZNAS bahwa jumlah LAZ nasional dan daerah yang berjumlah 1.041.
Pada akhir FGD tersebut disepakati bahwa KNEKS akan mengorkestrakan penyusunan skema penguatan penggunaan dana ZISWAF untuk mensejahterakan masyarakan melalui program MBG bersama stakeholders terkait. Hal ini penting mengingat program ini harus dijaga kebermanfaatannya, permodalannya dan keberlanjutannya. Selain itu salah satu langkah strategis adalah membentuk tim kecil untuk memetakan lokasi pilot program, menyusun pedoman teknis, dan mengidentifikasi potensi UMKM binaan lembaga filantropi yang dapat dilibatkan sebagai penyedia dalam ekosistem MBG.
Dengan demikian, program MBG yag sangat baik tersebut, manfaatnya bisa dinikmati oleh masyarakat kalangan bawah dan tidak beralik pada pemilik modal yang kuat. Yang tidak kalah penting adalah perlu dibangun ekosistem yang kuat dari sisi akuntabilitas, good governance, dan transparansi, sehingga menghasilkan kredibilitas yang baik.