Kamis 26 Dec 2024 19:53 WIB

Kenaikan PPN Mengundang Tanda Tanya

Dunia usaha sedang lesu karena daya beli masyarakat sedang menurun.

Sejumlah orang melakukan aksi  demonstrasi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam aksinya mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah orang melakukan aksi demonstrasi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam aksinya mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025.

Oleh: Buya Anwar Abbas*)

Dilihat dari perspektif hukum, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi sebesar 12 persen pada tahun 2025 mendatang jelas memiliki dasar. Sebab, hal demikian sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Baca Juga

Namun, pertanyaannya adalah, apakah dari perspektif hukum tuntutan dari UU tersebut sesuai dengan amanat Konstitusi? Kemudian, apakah dari perspektif sosial-ekonomi ketentuan tersebut sudah tepat untuk dilaksanakan saat ini?

Di sinilah letak masalah dan kontroversinya. Pihak pemerintah tampak bersikeras untuk memberlakukan ketentuan tersebut pada tanggal 1 Januari 2025. Di antara berbagai alasannya, ada dua hal yang sangat mengemuka.

Pertama, hal demikian sudah merupakan tuntutan dari UU HPP. Kalau tidak dilaksanakan, pemerintah tentu akan "dicap" telah melanggar UU.

Kedua, lantaran pemerintah saat ini memang sedang memerlukan dana yang besar demi membiayai semua pengeluaran, termasuk yang berkaitan dengan pembangunan. Untuk itu, sebagai bentuk keseriusan dalam melaksanaan kenaikan PPN tersebut, pemerintah juga menyiapkan berbagai langkah. Misalnya, memberlakukan pengecualian kenaikan PPN atas barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan, dan layanan pendidikan.

Namun, di sisi lain masyarakat dan dunia usaha tampak resah dan sangat keberatan dengan pemberlakuan UU HPP. Sebab, adanya kenaikan PPN sebesar 12 persen jelas akan mendorong terjadinya kenaikan harga barang dan jasa.

Bila hal demikian yang terjadi, tentu daya beli masyarakat akan menurun. Jika daya beli masyarakat menurun, tingkat keuntungan pengusaha dan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat tentu juga akan menurun.

Hal demikian jelas tidak sesuai dengat amanat Konstitusi. Sebab, UUD 1945 mengharapkan semua tindakan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus diarahkan bagi terciptanya sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengingat soal ini sangat berkaitan erat dengan kehidupan rakyat banyak, maka demi kebaikan seluruh pihak, sebaiknya pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen. Penundaan bisa dilakukan sampai keadaan dunia usaha dan ekonomi masyarakat mendukung.

Ini penting menjadi perhatian kita bersama, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Sebab, kita tahu, Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan telah berkali-kali menyampaikan sikapnya; bahwa kebijakan yang akan dia buat memberdayakan dan pro-rakyat. Bukan sebaliknya.

Sementara, kebanyakan para ahli dan warga masyarakat menilai, trust publik kepada pemerintah belum begitu kuat dan kehidupan dunia usaha juga sedang lesu lantaran daya beli masyarakat sedang menurun. Maka menaikkan PPN menjadi 12 persen jelas tidak tepat.

Oleh karena itu, jika pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan UU HPP pada tanggal 1 Januari 2025 nanti, maka hal demikian jelas menjadi sebuah tanda tanya.

 

*) Dr H Anwar Abbas MM MAg atau yang akrab disapa Buya Anwar Abbas merupakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Dosen tetap Prodi Perbankan Syariah FEB UIN Syarif Hidayatullah ini juga adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang UMKM, Pemberdayaan Masyarakat, dan Lingkungan Hidup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement