Sabtu 26 Oct 2024 22:57 WIB

Santri, Kemerdekaan, dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Santri akan mewarnai Indonesia Emas 2045.

Sejumlah santri mengaji kitab kuning.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Sejumlah santri mengaji kitab kuning.

Oleh : KH Anang Rikza Masyhadi*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Santri dan pesantren merupakan bagian penting dari masyarakat Indonesia. Peran dan kontribusinya kepada bangsa dan negara tak dapat dinafikan begitu saja. Mari kita simak bagaimana santri dan pesantren mengambil peran-peran strategis dan kontribusi besar kepada nusa dan bangsa ini.

Pada masa penjajahan, pesantren menjadi salah satu pusat pergerakan yang melawan kolonialisme. Para ulama dan santri seringkali memimpin perlawanan di berbagai daerah. Salah satu momen paling bersejarah adalah ketika KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang kemudian memicu lahirnya pertempuran 10 November di Surabaya pada 1945. Itulah hari yang kita peringati hingga sekarang sebagai Hari Pahlawan Nasional. Sedangkan keluarnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober itu kemudian ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional.

Baca Juga

Jelas, bahwa resolusi jihad lahir dari fatwa kiai pesantren. Diserukannya Resolusi Jihad bertujuan untuk membangkitkan semangat rakyat Indonesia, terutama di kalangan kiai dan santri, dalam mempertahankan kemerdekaan yang hendak direbut kembali oleh para penjajah.

Para ulama pesantren memahami betul firman Allah SWT:

{ ٱنفِرُوا۟ خِفَافࣰا وَثِقَالࣰا وَجَـٰهِدُوا۟ بِأَمۡوَ ٰ⁠لِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِۚ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ خَیۡرࣱ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ }

[سُورَةُ التَّوۡبَةِ: ٤١]

Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Qs. At-Taubah [9]: 41)

{ إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوا۟ وَجَـٰهَدُوا۟ بِأَمۡوَ ٰ⁠لِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلصَّـٰدِقُونَ }

[سُورَةُ الحُجُرَاتِ: ١٥]

Sesungguhnya orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Qs. Al-Hujurat [49]: 15)

Secara historis peran ulama dan santri tidak bisa dinafikan atau sekadar dipandang sebelah mata. Perannya tercatat dengan tinta emas sejak zaman pergerakan kemerdekaan melawan penjajah. Peran itu terus berlanjut dalam mempersiapkan kemerdekaan melalui keterlibatan aktif di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menjaga kemerdekaan republik, membangun fondasi negara Indonesia merdeka, hingga peran-peran mengisi kemerdekaan melalui keterlibatan langsung di pemerintahan dan parlemen.

Kaum santri ini lahir dan dididik dalam dunia pesantren yang merupakan sistem dan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren muncul dari satu kearifan lokal (local  wisdom) di seluruh wilayah Indonesia yang telah eksis selama berabad-abad.

Di antara peran penting pesantren adalah penjagaannya terhadap karakter moral bangsa serta dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia bangsa sejak zaman pra kemerdekaan (Wardiman Djojonegoro, 1994).

Banyak tokoh besar pejuang dan peletak dasar kemerdekaan (the founding fathers/mothers) lahir dari dunia pesantren, sebut saja KH Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, dan Buya Hamka. Mereka semua adalah para ulama dari dunia pesantren.

Pada periode perjuangan fisik dapat disebut pejuang republik yang berasal dari kalangan santri, seperti Jenderal Soedirman, Bung Tomo, KH Wahab Hasballoh, KH Zainal Mustofa, dan KH As’as Syamsul Arifin. Jauh sebelumnya, kita kenal pahlawan masyhur Raden Mas Antawirya yang lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dien, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Tjut Meutia, dan lainnya. Bahkan, Presiden pertama RI Soekarno juga pernah mengenyam pendidikan pesantren pada masa mudanya.

Jauh sebelum kemerdekaan (abad 17 hingga awal abad 19), kita juga menemukan banyak pujangga dan sastrawan sekaligus ulama besar yang dikenal dunia dan lahir dari rahim pesantren sebagai kaum santri. Tercatat nama-nama sekaliber Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili, Yussuf Makassari, Abdul Samad Palimbani, Khatib Minangkabawi, Nawawi Bantani, Arsyad Banjari, dan lain-lain.

Mereka adalah founding father pembaruan Islam di Nusantara. Karya-karya besar di bidang fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf, serta hasil kreasi intelektual mereka bukan hanya dalam skala domestik Nusantara, tapi juga sampai diakui di dunia internasional.

Bagaimana peran santri pasca kemerdekaan? Meskipun perjuangan fisik melawan penjajah telah berakhir, peran santri dan pesantren tidak lantas meredup. Justru, mereka terus berkontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa pasca kemerdekaan.

Berikut beberapa peran penting mereka: Pertama, di bidang pendidikan: Pesantren terus menjadi pusat pendidikan bagi masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Kurikulum pesantren pun terus berkembang, menyesuaikan dengan tuntutan zaman.

Kedua, di bidang dakwah dan pembinaan masyarakat: Santri dan ulama pesantren aktif menyebarkan nilai-nilai agama dan moral, membina masyarakat agar menjadi lebih baik. Mereka juga sering menjadi rujukan dalam berbagai persoalan kehidupan.

Ketiga, di bidang politik: Banyak santri dan alumni pesantren yang terjun ke dunia politik. Mereka berperan dalam merumuskan kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Keempat, di bidang ekonomi: Santri dan pesantren turut berkontribusi dalam pengembangan ekonomi. Banyak pesantren yang memiliki usaha produktif, seperti pertanian, peternakan, dan kerajinan tangan. Dalam banyak riset empiris dibuktikan bahwa lingkungan dimana pesantren tumbuh kembang, maka perekonomian masyarakat ikut tertopang.

Kelima, di bidang sosial dan budaya: Santri dan pesantren berperan penting dalam melestarikan budaya bangsa. Mereka aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti pengajian, taklim, dan kegiatan kemanusiaan lainnya.

Masih banyak peran-peran lainnya yang masih terus dilakukan dunia pesantren hingga kini. Salah satu landasan para kiai dalam mendidik para santri di pesantren adalah firman Allah SWT:

{ وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِیَنفِرُوا۟ كَاۤفَّةࣰۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةࣲ مِّنۡهُمۡ طَاۤىِٕفَةࣱ لِّیَتَفَقَّهُوا۟ فِی ٱلدِّینِ وَلِیُنذِرُوا۟ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ یَحۡذَرُونَ }

[سُورَةُ التَّوۡبَةِ: ١٢٢]

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (Qs. At-Taubah [9]: 122)

Namun demikian, pesantren terus melakukan transformasi untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Antara lain adalah dengan modernisasi sistem pendidikan dan pengajarannya yang memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sekaligus.

Selain itu, para santri dibekali dengan kemampuan berbahasa asing, setidaknya bahasa Arab dan Inggris. Kedua bahasa itu di pesantren tidak saja digunakan untuk tujuan akademik dan keilmuan, namun juga untuk tujuan dakwah dan diplomasi global.

Dengan kemampuan bahasa Arab dan Inggris para santri memiliki kompetensi internasional, sehingga ia tidak lagi canggung menjadi bagian dari global citizen (masyarakat global). Selanjutnya, peran dan kontribusi santri dan pesantren tidak lagi bersifat lokal atau nasional, namun juga dapat bersifat global.

Pesantren juga menjadi tulang punggung bagi bangsa dan negara dalam menangkal isu dan bahaya radikalisme ataupun terorisme, karena ajaran Islam yang dididikkan di pesantren adalah ajaran Islam yang washaty (moderat), berkemajuan dan menebar rahmat bagi semesta.

Bangsa ini banyak berutang budi pada dunia pesantren atas jasa, peran dan kontribusinya dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Pada saat yang sama bangsa ini berharap besar pada dunia pesantren yang masih akan terus mendidik generasi muda bangsa dan mencetak calon-calon pemimpin masa depan.

*Pengasuh Pondok Modern Tazakka, Sekretaris Jenderal Forum Pesantren Alumni Gontor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement