REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Rizky Fajar Meirawan, Pengajar Universitas Indonesia Maju Jakarta, Almunus Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Kalangan awam menilai, kedokteran hewan adalah sebuah rumpun ilmu dengan fokus pengobatan dan penanganan kesehatan hewan. Meski tidak sepenuhnya salah, penilaian ini membutuhkan penyempurnaan. Kedokteran hewan, merupakan sebuah rumpun ilmu yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, melalui kesejahteraan hewan.
Tujuan ini telah termaktub dalam moto Dokter Hewan di Indonesia yang berbunyi, “Manusya Crika Satwa Sewaka”. Arti dari kalimat ini adalah mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan.
Praktisi, akademisi, dan ahli di bidang kedokteran hewan (veteriner), beraktivitas demi mewujudkan kesejahteraan manusia. Mereka berperan dalam tiga bidang utama, yaitu reproduksi veteriner, medis veteriner, dan kesehatan masyarakat veteriner.
Ilmu reproduksi veteriner menitikberatkan padaoptimasi reproduksi hewan, khususnya hewan ternak, agar mampu memenuhi kebutuhan pangan berupa susu, daging, dan telur, kepada masyarakat. Ilmu medis veteriner berfokus pada pengembangan metode pengobatan dan perawatan hewan, demi menjaga eksistensi dan menghindari kepunahan hewan. Termasuk di antaranya mengontrol dan menjaga status kesehatan hewan peliharaan (pet animals).
Kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) merupakan rumpun ilmu kedokteran hewan yang menitikberatkan pada pengawasan kesehatan hewan agar tidak menimbulkan penyakit dan gangguan kesehatan pada manusia. Salah satu peran kesmavet adalah mengontrol dan mencegah kejadian zoonosis. Yaitu penyakit yang bisa menginfeksi manusia dan hewan. Beberapa penyakit zoonosis antara lain antraks, rabies (anjing gila), avian influenza (flu burung), swine influenza (flu babi),
leptospirosis, chikungunya, Hepatitis E, dengue, termasuk Covid-19.
Peran kedokteran hewan dalam pengendalian zoonosis
Pandemi Covid-19 merupakan wabah lintas batas negara, yang bersumber virus yang berada dalam tubuh kelelawar liar. Secara alamiah, hewan liar merupakan reservoir (populasi organisme atau lingkungan spesifik yang menjadi tempat hidup dan reproduksi) mikroorganisme patogen. Pandemi Covid-19 terjadi karena kontak antara manusia dengan hewan liar. Dalam hal ini, kontak antara manusia dan hewan dalam penjualan dan konsumsi daging kelelawar liar yang diperjualbelikan di
pasar di wilayah Cina.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) merilis data, 60% kejadian penyakit dan wabah merupakan penyakit zoonosis. WHO menemukan lebih dari 30 mikroorganisme patogen baru dalam tubuh manusia. Menariknya, 75% mikroorganisme patogen baru tersebut berasal dari hewan.
Penyakit dan gangguan kesehatan akibat konsumsi bahan pangan (food borne disease) yang bersumber dari hewan (daging, susu, telur, jeroan, kulit) termasuk dalam zoonosis. Beberapa contoh food borne disease adalah salmonellosis, infeksi E.coli, campylobacteriosis, dan toxoplasmosis.
Terkait dengan pengendalian food borne disease tersebut, dokter hewan berperan dalam penjaminan bahan pangan asal hewan yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH) bagi masyarakat. Dalam konteks pembangunan kesehatan nasional, dokter hewan, akademisi, ahli, dan praktisi veteriner turut berperan dalam pengendalian dan penurunan kejadian stunting (cebol) di Indonesia. Mereka berperan dan menjadi garda utama dalam penyediaan dan penjaminan keamanan bahan pangan asal hewan, sebagai sumber protein dan asam amino esensial.
Masyarakat perlu mewaspadai penyakit zoonosis dalam bentuk infeksi mikroorganisme, khususnya bakteri resisten obat atau Antibiotic-Resistant Bacteria (ARB). Beberapa peneliti memperkirakan terjadinya epidemi atau wabah penyakit infeksi bakeri resisten obat di masa depan. Prediksi ini bersumber dari masifnya penggunaan antibiotika, baik pada manusia maupun pada hewan.
Penggunaan antibiotika yang berlebihan pada hewan, khususnya hewan ternak, berdampak pada tingginya residu antibiotika pada bahan pangan asal hewan (daging, susu, telur, jeroan). Konsumsi bahan pangan dengan residu antibiotika tersebut akan mengakibatkan mutasi dan perubahan sifat genetik bakteri, sehingga memunculkan bakteri yang resisten obat.
Infeksi bakteri resiten obat, tidak hanya berbahaya dan fatal. Wabah penyakit ini akan menimbulkan permasalahan pembiayaan kesehatan. Hal ini berdasar pada pengobatan infeksi bakteri resiten obat yang membutuhkan antibiotika dengan kemampuan membunuh (bactericidal) dan menghambat pertumbuhan (bacteriostatic) bakteri. Obat dengan sifat bactericidal dan bacteriostatic yang
digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi bakteri resisten obat, biasanya obat generasi terbaru.
Antibiotika derivat (turunan) terbaru ini, hasil dari produk riset dan inovasi teknologi farmasi dengan biaya tinggi. Dan biaya riset tersebut menjadi tanggungan dari konsumen atau pasien pengguna obat. Hal inilah yang menyebabkan wabah atau epidemi penyakit infeksi bakteri tahan obat akan berdampak pada melambungnya pembiayaan kesehatan di masa mendatang. Sehingga koordinasi antara
pemangku kepentingan (stakeholder) di bidang kesehatan dan kedokteran hewan terkait penggunaan antibiotika, menjadi penting dan strategis dalam proses memitigasi epidemi (wabah) penyakit infeksi dari bakteri resiten obat.
Pendekatan One Health
Keterkaitan antara rumpun ilmu kedokteran hewan (veteriner) dengan rumpun ilmu kesehatan memunculkan paradigma dan pendekatan One Health. Di tingkat global paradigma ini melibatkan empat lembaga internasional yang terafiliasi dengan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain WHO, paradigma One Health turut melibatkan Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization - FAO), Badan Kesehatan Hewan Dunia (World Organisation for Animal Health - WOAH), dan Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Programme - UNEP).
Keempat badan dunia ini bekerja sama secara kuadripartit untuk mempromosikan respons dan kerja sama lintas sektor dalam mengatasi ancaman kesehatan dengan pendekatan pengelolaan kesehatan hewan dan lingkungan. Aplikasi dan implementasi One Health di Indonesia,sudah mulai berjalan.
Salah satunya melalui inisiasi dan pembentukan Badan Karantina Indonesia. Dalam aspek kesehatan masyarakat, karantina adalah salah satu cara pencegahan masuknya penyakit dari luar Indonesia (penyakit eksotis) dengan serangkaian pemeriksaan dan pengawasan di pos serta perbatasan antar negara. Badan Karantina Indonesia akan memilah dan memilih serta mengendalikan lalu lintas manusia, hewan dan komoditas yang dapat menjadi carrier (pembawa) penyakit.
Di sisi lain, pendekatan One Health secara nasional membutuhkan percepatan dan penyusunan cetak biru (blue print) oleh pemerintah. Salah satunya adalah penyusunan rencana kerja jangka menengah dan jangka panjang implementasi One Health dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Langkah kolaborasi global dari WHO, FAO, WOAH, dan UNEP, dapat menjadi acuan utama dalam mengembangkan implementasi One Health secara nasional.
Kolaborasi dan koordinasi ini membutuhkan kepedulian lintas sektor yang berkaitan dengan kesehatan, pertanian, pangan, kesehatan hewan, dan lingkungan. Koordinasi juga tidak semata melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah, tapi turut menggandeng institusi pendidikan, akademisi, peneliti, organisasi profesi dan praktisi terkait.
Langkah awal koordinasi lintas sektor dan multidisiplin ini dapat berbentuk perumusan dokumen peraturan perundangan, sebagai dasar implementasi One Health secara nasional. Keberadaan undang-undang ini akan menjadi dasar hukum
bagi praktisi, akademisi, dan peneliti veteriner untuk terlibat aktif dalam pembangunan kesehatan masyarakat melalui paradigma One Health.