Ahad 30 Jun 2024 22:19 WIB

Integrasi Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum di Indonesia

Pancasila adalah landasan bernegara di Indonesia

Ilustrasi Pancasila. Pancasila adalah landasan bernegara di Indonesia
Foto:

Oleh : Dr I Wayan Sudirta, SH MH, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Musyawarah juga disebut tradisi berembug atau rembug merupakan sistem tradisional dari dialog timbal balik, konsultasi, permusyawaratan, dan pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan.

Dengan demikian, musyawarah merupakan abstraksi dari pengalaman empiris masyarakat Indonesia, bukan premis yang diterjemahkan secara deduksi dari dunia ide.

Soekarno menegaskan, Pancasila dan juga musyawarah dia gali dari bumi Indonesia, bukan berasal dari dirinya. Setiap sila inheren dalam masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang diprekenalkan dari atas.

Agar dimensi operasional demokrasi di Indonesia tidak terjebak menjadi elitis/oligarkis, maka nilai dasar Pancasila niscaya dijalin dengan prinsip dasar demokrasi.

Dengan demikian, harmoni sebagai nilai dasar Pancasila yang di dalamnya juga terkandung nilai kekeluargaan, kegotongroyongan, serta kebersamaan niscaya dijalin dengan kedaulatan rakyat dan partisipasi warga negara secara berkelanjutan sebagai prinsip dasar demokrasi.

Kebutuhan untuk menjalinkan nilai dasar Pancasila dengan prinsip dasar demokrasi tersebut adalah dilandaskan pada pemahaman bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yang memungkinkannya untuk diberikan nilai-nilai baru yang segar agar Pancasila tidak kehilangan nilai aktualitasnya tanpa kehilangan nilai filosofisnya.

Apalagi perumusan kedaulatan rakyat dalam UUD Tahun 1945 (Pasal 1 ayat 2) telah terjadi pergeseran dari kedaulatan dilakukan sepenuhnya oleh MPR menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” semakin memperkuat pemikiran untuk memberi makna baru terhadap demokrasi berdasarkan Pancasila.

Pancasila dalam konteks demokrasi dapat diilustrasikan sebagai jiwa bangsa yang tercermin dalam asas-asas hukum adat sebagai manifestasi nilai kekeluargaan.

Konsekuensi cara berpikir ini membuat kita memeriksa kembali dengan seksama berbagai praktik yang terjadi dan mewakili sekaligus mengekspresikan gagasan musyawarah dalam pengalaman konkret masyarakat terutama di Bali.

Salah satu contohnya adalah Sangkepan, tradisi yang dilaksanakan di desa adat dan banjar-banjar di Bali. Dalam Sangkepan, sistem voting kurang dikenal dalam praktek musyawarah Bali kuno.

Prinsip musyawarah mufakat dalam Sangkepan terutama berkaitan dengan tata kehidupan adat, budaya dan agama di masyarakat Bali.

Pancasila dan Ekonomi

Indonesia sedang menghadapi sebuah pembelahan besar. Pembelahan teresebut bukan seperti seperti yang digambarkan oleh media sosial, antara pendukung dan pembenci.

Pembelahan yang saya maksud adalah realitas ketimpangan sosial yang memisahkan kelompok minoritas elite bisnis-politik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Dalam perjalanan Indonesia, cita-cita kemerdekaan politik dan ekonomi, demokrasi dan keadilan sosial tersimpan dalam mentalitas kebangsaan kita, dan muncul ke permukaan dalam titik-titik persimpangan arah perjalanan Indonesia.

Soekarno menegaskan, “Demokrasi yang kita kejar jangan hanya demokrasi politik saja, tetapi kita juga harus mengejar pula demokrasi ekonomi.”

Keadilan sosial merupakan hal yang terpenting guna mencapai suatu masyarakat yang berkemakmuran dan berkeadilan.

Keadilan sosial dalam semesta pemikiran Soekarno adalah kritik paling besar terhadap kapitalisme.

Pemikiran Soekarno akan kemandirian bangsa teraktuliasasi dalam nilai keadilan ini atau yang dikatakan Soekarno sebagai sosio-demokrasi yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yang kedua kakinya berdiri dalam masyarakat.

Pertanyaannya, apakah Keadilan Sosial sesuai Sila ke-5 Pancasila sudah terwujud?

Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik.

Ideologi Pancasila mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi.

Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha.

Sedangkan dalam sistem sosialisme-komunis, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara.

Dengan demikian, Pancasila hadir sebagai sintesis antara negara kapitalisme-liberal dan sosialisme-komunis.

Dalam hal ini Soekarno mengemukakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya.

Namun, kita mendirikan negara “semua buat semua‟, “satu buat semua, semua buat satu”.

Dalam implementasi saat ini masih ada kesenjangan yang sangat lebar, jurang antara si kaya dan si miskin masih menganga karena berbagai faktor yang ada. Sebagai contoh:

1. Walaupun di dalam pembukaan UUD, frasa keadilan disebut berulang kali, akan tetapi Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menimbulkan perdebatan karena mengedepankan efisiensi dan menomor duakan keadilan.

2. Sementara itu, berbagai UU seperti UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Perkebunan dan UU Kehutanan masih mendapat kritik secara luas karena sebagian masyarakat menganggap UU tersebut lebih memihak kepada modal asing dan kurang berpihak kepada masyarakat.

Sehingga hal ini juga dituding sebagai salah satu penyebab melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.

3. Sebagai sekedar contoh kondisi sosial di Bali tentang nasib Pecalang misalnya, dimana mereka ditugaskan oleh desa adat menjaga hutan tanpa bayaran sama sekali, akan tetapi baik Pecalang maupun masyarakat sekitar hutan menghadapi berbagai kesulitan jika mereka hendak memanfaatkan hutan adat tersebut untuk menanam bawang atau cabe misalnya, yang notabene tidak merugikan kelestarian dan efisiensi pemeliharaan hutan.

4. Dengan demikian, keadilan belum dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan dikarenakan mereka hanya dibebani kewajiban, tetapi tidak diberikan hak apapun juga.(*)

*Artikel ini disampaikan pada Kuliah Umum di Kampus Universitas Brawijaya, Malang pada 30 Juni 2024

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement