Kamis 04 Jul 2024 19:32 WIB

Kunjungan Grand Syekh Al-Azhar Mesir, NU, dan Perdamaian Dunia

Grand Syekh Al Azhar Mesir akan berkunjung ke Indonesia

(dari kiri) Presiden RI Joko Widodo menyambut kedatangan Grand Syekh Al Azhar Prof Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb.
Foto: Republika/ Wihdan
(dari kiri) Presiden RI Joko Widodo menyambut kedatangan Grand Syekh Al Azhar Prof Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb.

Oleh : DR KH Anis Mashduqi, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hadi Yogyakarta, Dosen UIN Sunan Kalijaga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lepas dari peran para Ulama. Presiden Soekarno adalah figur yang sangat dekat dengan para ulama dan senantiasa meminta pertimbangan mereka dalam menentukan kebijakan-kebijakan awal politik kemerdekaan.

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, dibacakan pada Jumat 17 Agustus 1945. Penentuan tanggal dan hari pembacaan proklamasi itu melibatkan pertimbangan para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU).

Baca Juga

Sejarah menceritakan kedekatan Presiden Soekarno dengan KH Wahab Hasbullah dan KH Hasyim Asy'ari yang sebelumnya telah mendirikan organisasi ulama, yaitu Nahdlatul Ulama.

Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 adalah fatwa yang dirumuskan oleh KH Hasyim Asy'ari untuk menggerakkan seluruh elemen bangsa melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan.

Supuluh tahun kemudian setelah Resolusi Jihad, tepatnya pada 18-24 April 1955, nama Indonesia semakin harum di pentas dunia global. Indonesia mempelopori Konferensi Asia-Afrika di Bandung, dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan di tingkat Asia dan Afrika. Keputusan Mesir untuk mendukung kemerdekaan Indonesia sejak awal membuahkan hasil yang luar biasa.

Perkembangan bangsa Indonesia selanjutnya tidak bisa dilepaskan dari peran NU sebagai organisasi yang dibangun oleh para ulama itu. NU meletakkan fondasi-fondasi bernegara dengan pekikan jargon NKRI harga mati sejak KH Achmad Siddiq menyatakan dalam pidato usai terpilih sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.

Isi dari pidato bersejarah itu paling tidak menegaskan tiga hal. Pertama, penerimaan negara bangsa (nation state) dan penegasan bahwa Indonesia bukan lah negara agama. Akan tetapi, Indonesia adalah negara bangsa yang memegang teguh nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Kedua, NKRI adalah final dan wajib untuk dijaga. Bahkan KH Achmad Siddiq menyatakan kewajiban bukan sebagai ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Ketiga, penerimaan pancasila sebagai landasan memperjuangkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Peran NU di era berikutnya adalah menanamkan, memperjuangkan dan menjaga nilai-nilai moderatisme (wasathiyah) beragama dalam konteks berbangsa dan bernegara, begitu juga dalam memainkan peran sejarahnya dalam pentas dunia global sekarang ini.

Di tengah-tengah ancaman ektremisme (al-tatharruf) dan terorisme (al-irhabiyah) yang mengatasnamakan agama dan akan merusak sendi-sendi bernegara dan tatanan perdamaian global, NU tampil tanpa tedeng aling-aling mengampanyekan Islam Moderat dan melawan semua bentuk ekstrimisme dan terorisme.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement