REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Erberveld pria Jerman serdadu sewa'an, kemudian di jaman VOC dia sebagai Luitenant kavaleri VOC. Dari perkawinannya, sebelum VOC, dengan gadis Siam, Erberveld mendapat anak lelaki tahun 1600 dan dikasi nama Pieter.
Erberveld dan keluarga tinggal di loji Sunda Kalapa. Lalu ia membeli tanah di Sunter dan Mangga Dua. Ia pensiun militer dan di Mangga Dua dia bikin pabrik sepatu. Di tempat itu biasa orang menyamak kulit yang dusebut pecak atau peca' kulit, bukan pecah kulit.
Erberveld mati dan warisan jatuh ke Pieter. Pieter kawin dengan gadis pribumi dan dapat anak perempuan dikasih nama Aletta.
Aletta tumbuh berkembang sebagai jelita Peca Kulit. Yang naksir dia tidak sedikit. Sementara bisnis sepatu sukses dengan pekerja 12 orang dan mandor Ateng Kartadriya (NB: Makam Ateng di kampung Mangga Dua masih terjaga).
Kebahagiaan keluarga Pieter dirusak VOC. Pada tahun 1771 asset Pieter tanpa alasan dibeslag (disita) Tuan GG, Gubernur General VOC.
Jelang Natal 1771 pabrik petasan milik orang Cina di Pinangsia meleduk. Kumpeni mencurigai ini mengarah pada makar yang diotaki Pieter.
31 Desenber 1721, di malam tahun baru, Ateng Kartadriya bertamu di rumah Pieter. Mereka berbincang tentang ikhtiar baru mencari nafkah. Tiba-tiba pintu rumah Pieter didobrak. Selusin polisi kumpeni langsung angkut Pieter dan Ateng. Aletta dan ibunya hanya bisa menangis. O mijn papa...?
Pieter di markas langsung diseret ke pijnbank (bangku penyiksa). Pieter disuru mengaku bila dia mau makar. Ateng juga begitu, dibentak penyidik Belanda yang cadel, Kowe makaw?
Ateng menyaut: "belon Tuan dari siang." Telinga Ateng hanya bisa paham bila bentakan polisi yang tak bisa omong fasih makar dengan mengucapkannya 'makaw' itu adalah 'makan'. Dan Ateng jujur sebagai tahanan dari pagi memang belum makan.
Tapi, penyidik tetap tonjok Ateng. Dia tak peduli.
Penyidik dengan membentak: "Kowe omong apa?"
Ateng menjawab: "Pan saya ditanya makan?"
Ateng kemudian digaplok penyidik. Leherya dicekek:"Makaw, makaaaaw... Bukan makan!" Teriak penyidik dengan mata mendelik. Kejam.
Akhir dari kasus tersebut, landraad atau pengadilan, kemudian jatuhkan vonnis Pieter hukuman mati zonder pardon, tanpa ampun.
Menjadi tradisi, sehari sebelum eksekusi keluarga boleh bezoek. Aletta pergi sendiri menjenguknya. Mamanya tak kuat menahan sedih.
"Zegt maar papa, waarom jij berbuat makar?,'' tanya Aleta ke mamanya.
"Oh Tidak Aletta, papa disiksa disuruh mengaku. Papa tak kuat Aletta, sakit sekali," jawab mamanya tabah.
"Waarom huil je toch papa manis? Jangan menangis, je ben goed papa. Aletta bangga aan jouw papa,'' tukasnya. Namun Aletta menangis juga akhirnya. Si jelita ini tetap tak tahan melihat nasib buruk ayahnya. Air matanya tumpah.