Oleh : Heka Hertanto, Ketua Umum Yayasan Artha Graha Peduli
REPUBLIKA.CO.ID, Hari Sabtu, 10 November 1945 bertepatan dengan 4 Zulhijah 1364 H terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya, Jawa Timur. Saat itu, pertempuran pecah antara tentara Indonesia dan pasukan Inggris. Momen itu merupakan pertempuran pertama tentara Indonesia dengan pasukan asing setelah pasca menyatakan diri sebagai negara merdeka lewat pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Sebuah pertempuran yang tidak lepas dari Resolusi Jihad yang disuarakan di Kampung Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945. Pekikan takbir oleh Bung Tomo dalam setiap pidatonya membakar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo. Takbir Bung Tomo dalam pidato-pidato di siaran radio juga membuat hati masyarakat dari semua golongan dan agama di Surabaya bergetar untuk ikut bergabung di medan perempuran.
Tak pelak, pertempuran Surabaya menjadi salah satu perang terbesar dan terberat dalam sejarah revolusi Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Bumi Pertiwi terhadap kolonialisme.
Bung Tomo dalam bukunya “Menembus Kabut Gelap” menulis sebagai berikut:
"Sebab kekuatan siapa lagi yang akan kita andalkan, sedangkan senjata tidak lengkap. Lawan kita pasukan Inggris sudah siap siaga memusatkan panser-panser dan kapal-kapal perangnya. Kecuali semangat patriotisme, saya kira tidak lain kekuatan kita hanya perlindungan Allah. Perlindungan Allah itu hanya bisa terjadi kalau kita menyadari bahwa Allah itu Mahakuasa. Untuk menunjukkan Allah itu Mahakuasa saya kira perlu diresapkan makna ucapan yang selalu menggetarkan jiwa manusia, baik pada waktu perang maupun waktu mendengar seruan azan, Allahu Akbar,”.
Tulisan tersebut menggambarkan betapa pada saat itu para pejuang tidak memiliki segala sesuatu yang cukup kecuali hanya tekad dan semangat untuk terus berupaya mempertahankan negara Republik Indonesia yang baru saja merdeka.
Para tokoh pejuang sadar bahwa kemerdekaan negara Indonesia memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan bangsa Indonesia. Komitmen untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka dari segala bentuk penjajahan dan berdaulat untuk dapat menentukan langkah dalam menyejahterakan seluruh bangsa adalah tekad dari para tokoh bangsa sejak awal abad ke-20.
Peristiwa Kebangkitan Nasional di tahun 1908 dan Sumpah Pemuda di tahun 1928 merupakan bukti bahwa tekad Indonesia merdeka sudah bulat sehingga mampu mengesampingkan segala bentuk perbedaan yang ada. Persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia seutuhnya menjadi suatu bentuk yang harus ada untuk menjadi Indonesia yang merdeka.
Setelah Indonesia merdeka jalan yang harus ditempuh pun tidaklah mudah. Kemerdekaan Indonesia itu tidak mendapat pengakuan oleh sekutu sebagai pihak pemenang dari Perang Dunia ke II dan Belanda sebagai bagian dari rencana sekutu untuk kembali menjajah Indonesia. Tanggal 25 Oktober 1945, bala tentara Sekutu dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby mendarat di kota Surabaya. Pasukan ini bertugas melucuti tentara Jepang dan mengevakuasi para interniran Sekutu/Belanda yang pernah ditawan oleh tentara Jepang.
Tokoh-tokoh pejuang di Surabaya sudah mencium adanya gelagat tidak baik dari pihak Belanda yang tergabung dalam pasukan sekutu untuk menguasai kembali kota Surabaya. Di titik inilah mulai terjadi bentrokan-bentrokan di seluruh wilayah kota antara pihak Sekutu dan para pejuang yang saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Adanya perjanjian gencatan senjata yang ditanda-tangani oleh pihak Indonesia dan Inggris pada tanggl 29 Oktober 1945 hanya sedikit meredakan suasana.
Masyarakat Surabaya tetap berjuang dengan melakukan perlawanan sehingga bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya masih tetap terjadi. Ketegangan antara sekutu dan para pejuang terus memuncak sampai akhirnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby tewas tanggal 30 Oktober 1945 dalam suatu kejadian bentrokan bersenjata yang tidak jelas penyebabnya.
Kematian Mallaby menyebabkan Inggris dan sekutu marah. Mereka kemudian
mengeluarkan ultimatum bahwa pada tanggal 10 November 1945, Indonesia harus menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan kepada tentara sekutu. Tak cukup sampai di situ, para pejuang juga dituntut menyerahkan administrasi pemerintahan kepada pihak Belanda/NICA. Jika tak dipenuhi, mereka mengancam akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila rakyat tidak memenuhi ultimatum tersebut.
Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh rakyat Surabaya sehingga terjadilah pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 selama lebih kurang tiga pekan. Kota Surabaya mendapat julukan “neraka” karena perang selama berpekan-pekan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi kedua belah pihak.
Pertempuran itu menyebabkan sekitar 20 ribu rakyat Surabaya syahid yang sebagian besar warga sipil, diperkirakan 150 ribu warga mengungsi dan sekitar 1.600 prajurit Inggris tewas, hilang, dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak serta hancur. Meskipun banyak pemuda pejuang yang gugur dan luka-luka dalam pertempuran itu, semangat yang membara tak kenal menyerah yang ditunjukkan rakyat Surabaya membuat tanggal 10 November dikenang sebagai hari pahlawan. Atas kejadian itu pula, Surabaya mendapat titel Kota Pahlawan.
Semangat perjuangan ini harus tetap dikenang sepanjang masa karena meskipun Indonesia sudah merdeka selama 76 tahun, tetapi perjuangan untuk menyejahterakan bangsa Indonesia belumlah usai.