Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Usai sudah perhelatan Olimpiade Tokyo 2020. Ajang multievent olahraga sejagat ini tuntas pada Ahad (8/8), setelah melewati berbagai rintangan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Setelah tertunda setahun, Olimpiade Tokyo digelar dengan protokol kesehatan ketat dan tanpa penonton.
Kondisi tak normal ini nyatanya tak meragukan keseruan melihat atlet-atlet dunia bertanding mengerahkan kemampuan terbaik untuk menaiki podium tertinggi. Lewat layar kaca, handphone, atau laptop, kita menyaksikan betapa persiapan matang dan terukur Jepang berbuah manis. Tuan rumah yang pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016 menduduki posisi enam dengan torehan 12 emas, 8 perak, dan 21 perunggu, kini lompat ke posisi tiga dengan koleksi 27 emas, 14 perak, dan 17 perunggu.
Jepang membuat dunia berdecak kagum tatkala tim basket putri mereka yang kalah size dibandingkan para lawannya justru mampu menembus final bermodal kecepatan, determinasi, dan konsistensi permainan sejak awal hingga akhir. Walau gagal mengatasi sang juara bertahan Amerika Serikat, aksi Rui Machida dkk disanjung lawan-lawannya.
Emas basket putri ini pula yang turut berperan mengantarkan AS sebagai juara umum. Setelah terus tertinggal dari China, AS meraih tiga emas tambahan pada hari terakhir jelang penutupan Olimpiade Tokyo pada Ahad (8/8).
Perolehan medali AS menjadi 39 emas, 41 perak, dan 33 perunggu atau total 113 medali. AS unggul tipis dari China yang mengoleksi 38 emas, 32 perak, dan 18 perunggu atau total 88 medali.
Untuk kita orang Indonesia, momen mengharukan tentu saat Windy Cantika Asiah menyumbang medali pertama dari angkat besi. Atau ketika Greysia Polii dan Apriyani Rahayu bertarung ketat untuk meraih satu-satunya emas bagi Indonesia.
Di Tokyo, Indonesia mendapatkan satu emas, satu perak, dan tiga perunggu. Semuanya disumbangkan atlet bulu tangkis dan angkat besi. Hasilnya, Indonesia finis di posisi 55, turun dari peringkat sebelumnya 46 di Rio. Ketika itu di Brasil, Indonesia meraih satu emas dan dua perak. Posisi 55 ini jauh dari target masuk 40 besar.
Padahal peluang untuk meraih lebih banyak medali itu terbuka. Hanya, sejumlah atlet atau cabang olahraga yang awalnya digadang-gadang meraih prestasi maksimal nyatanya gagal bersinar.
Baca juga : Kasus Suntik Vaksin Covid Kosong, Polisi Periksa Vaksinator
Angkat besi bisa lebih
Saya jadi teringat sekitar sembilan tahun silam diundang oleh salah satu stasion TV membahas soal prestasi olahraga Indonesia selepas Olimpiade 2012. Ketika itu, saya berdiskusi dengan Eko Yuli Irawan dan pelatihnya Lukman. Di sana saya mendapatkan informasi soal road map dan biaya yang dibutuhkan seorang atlet angkat besi berjaya di Olimpiade. Dalam hitungan saat itu, butuh sekitar Rp 15 juta per bulan bagi atlet, terutama untuk membeli suplemen yang membantu membangun dan menjaga kekuatan otot. Ketika itu, Lukman meyakini emas Olimpiade bukan mimpi jika kebutuhan latihan atlet dipenuhi secara maksimal.
Perihal menjaga kesehatan dan kekuatan otot lifter ini amat penting. Sebab, angkat besi adalah olahraga yang memaksa otot-otot tubuh meregang maksimal untuk mendapatkan angkatan terbaik. Suplemen tubuh yang tepat dan terbaik membantu hal tersebut.
Persiapan lifter juga harus jauh-jauh hari. Tak bisa setahun dua tahun sebelum berlomba atlet baru berlatih. Semua direncanakan matang, termasuk mengikuti perlombaan lain di luar negeri untuk mengukur kekuatan sendiri dan pesaing. Lifter Indonesia umumnya unggul di kelas-kelas ringan, yang mesti jadi fokus para pelatih PP PABSI.