REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teguh Setiawan, Mantan Wartawan Republika
Inilah jejak tulisan mengenai polemik soal kedelai yang terjadi sewaktu era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono. Kala itu suasana sama dengan sekarang. Pengrajin tahu dan tempe mogok berproduksi karena harga kedelai terus membumbung.
Tapi berbeda dengan sekarang yang terkesan harga kedelai mendadak naik dengan cepat, dahulu kenaikkah harga itu bertahap. Minimal tidak secepat atau ngebut seperti sekarang. Ini pun makin aneh terasa, sebab sekarang ini kurs dolar AS terhadap rupiah terlihat cendurung turun.
Adanya hal itu, saya yakin pasti ada masalah dirantai perdagangan impor kedelai. Entah soal ini dari negara produsen, yakni negara di Canada, Amerika atau Brasil. Maupun juga akibat adanya permainan para perantara, baik importir atau tengkulak kelas menengah. Mereka bisa saja nekad menahan barang dengan tujuan menaikkan harga. Ini yang sampai sekarang belum jelas juntrungnya.
Kala di era SBY para pengrajin tahu tempe yang tergabung dalam Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (Koptti) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau kembali Peraturan Presiden (Perpres) No 32 tahun 2013. Mereka berharap agar soal pasokan kebutuhan kedelai kewenangannya diberikan kepada Perum Bulog dengan tujuan mengamankan harga dan menyalurkan kedelai.
"Perpres No 32 tahun 2013 itu tidak ada gunanya, karena tidak didukung seluruh menteri terkait," ujar Suharto, ketua Koptti DKI Jakarta kala iu.
Perpres itu ditetapkan SBY pada 8 Mei 2013, dan mulai berlaku pada saat diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Tanggal penetapan dan pengudangan sama, yaitu 8 mei 2013.
Idealnya, masih menurut Suharto, harga kedelai tetap Rp 7.450 per kilogram mulai 1 Juli 2013 dan pasokan ke pengrajin lebih lancar. "Yang terjadi justru sebaliknya. Harga lima merk kedelai naik antara Rp 7.550 sampai Rp 7.500," keluh Suharto.
Kenaikan harga ini, masih menurut Suharto, menunjukan Perum Bulog sama sekali tidak berperan, atau tidak mampu menjalankan tugas seperti diamanatkan dalam Pepres No 32 tahun 2013.
"Perpres itu tidak didukung menteri-menteri terkait; menteri perdagangan, menteri pertanian, menteri perindustrian, menteri koperasi, dan menteri keuangan," kata Suharto lagi saat itu.
Suharto juga menyesali keengganan pemerintah mengikut-sertakan Koptti dalam penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) Perpres No 32 tahun 2013. Padahal, semula pemerintah akan merangkul Koptti sebagai pihak yang mengetahui fluktuasi harga kedelai di pasaran.