REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fahmi Mada, Jurnalis Senior dan Pebisnis.
Duta Besar Belanda di Indonesia Lambert Grijns melaporkan kepada Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte tentang kondisi Indonesia pada masa New Normal.
"Rakyat Indonesia kini ramai bersepeda. Hampir mirip di negeri kita. Mereka bersepeda ke kantor, ke mall, ke pasar dan berolahraga sepeda setiap akhir pekan," lapornya lewat Zoom meeting.
PM Rutte bertanya apa yang menarik dari massalnya jumlah pesepeda di Indonesia. "Pemerintah Indonesia berencana akan menarik pajak dari setiap sepeda," sebut Grijns lagi.
Belum selesai dijelaskan, Rutte langsung menyambar dengan menjelaskan bahwa pajak sepeda itu warisan dari nenek moyang mereka saat menjajah Hindia Belanda. "Namanya 'peneng' atau 'plombir.' Bagus mereka mewarisi budaya nenek moyang kita sekarang," tuturnya dengan penuh senyum.
Di akhir pertemuan virtual tersebut Rutte mengingatkan Dubesnya untuk tidak bercerita kepada relasinya di Jakarta, bersepeda di Nederland sekarang tak lagi dibebani peneng. "Biar mereka mewarisi alam kehidupan masa lalu nenek moyang kita," pungkasnya.
Cerita di atas merupakan dialog imajiner bukan cerita yang sesungguhnya. Namun ada pelajaran penting dari rencana pengenaan pajak sepeda tersebut, elit kita kurang melakukan kajian akademik serta dampak yang akan timbul dalam masyarakat.
Dalam banyak kebijakan kebiasaan pemerintah kita sering melakukan "tes ombak" untuk melihat reaksi publik. Jika sebuah kebijakan ditentang hampir pasti diurungkan.
Tetapi tidak sedikit juga kebijakan publik langsung dibuat menjadi aturan tanpa kajian akademik yang mendalam. Akhirnya masyarakat yang menanggung beban yang timbul di kemudian hari.
Ambil contoh masalah BPJS, pemerintah bergeming menaikkan iurannya meski sebelumnya keputusan tersebut telah digugurkan oleh Mahkamah Agung. Meski muncul reaksi publik dan demo tetap tak dihiraukan. Itulah realitas demokrasi kita saat ini.
Dalam situasi ini maka ka juga terkenang pada menteri kuangan perancis yang namanya kini menjadi gaya melukis bayang-bayang yang disebut Siluet.
PAJAK SEPEDA
Duta Besar Belanda di Indonesia Lambert Grijns melaporkan kepada Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte tentang kondisi Indonesia pada masa New Normal.
"Rakyat Indonesia kini ramai bersepeda. Hampir mirip di negeri kita. Mereka bersepeda ke kantor, ke mall, ke pasar dan berolahraga sepeda setiap akhir pekan," lapornya lewat Zoom meeting.
PM Rutte bertanya apa yang menarik dari massalnya jumlah pesepeda di Indonesia. "Pemerintah Indonesia berencana akan menarik pajak dari setiap sepeda," sebut Grijns lagi.
Belum selesai dijelaskan, Rutte langsung menyambar dengan menjelaskan bahwa pajak sepeda itu warisan dari nenek moyang mereka saat menjajah Hindia Belanda. "Namanya 'peneng' atau 'plombir.' Bagus mereka mewarisi budaya nenek moyang kita sekarang," tuturnya dengan penuh senyum.
Di akhir pertemuan virtual tersebut Rutte mengingatkan Dubesnya untuk tidak bercerita kepada relasinya di Jakarta, bersepeda di Nederland sekarang tak lagi dibebani peneng. "Biar mereka mewarisi alam kehidupan masa lalu nenek moyang kita," pungkasnya.
Cerita di atas merupakan dialog imajiner bukan cerita yang sesungguhnya. Namun ada pelajaran penting dari rencana pengenaan pajak sepeda tersebut, elit kita kurang melakukan kajian akademik serta dampak yang akan timbul dalam masyarakat.
Dalam banyak kebijakan kebiasaan pemerintah kita sering melakukan "tes ombak" untuk melihat reaksi publik. Jika sebuah kebijakan ditentang hampir pasti diurungkan.
Tetapi tidak sedikit juga kebijakan publik langsung dibuat menjadi aturan tanpa kajian akademik yang mendalam. Akhirnya masyarakat yang menanggung beban yang timbul di kemudian hari.
Ambil contoh masalah BPJS, pemerintah bergeming menaikkan iurannya meski sebelumnya keputusan tersebut telah digugurkan oleh Mahkamah Agung. Meski muncul reaksi publik dan demo tetap tak dihiraukan. Itulah realitas demokrasi kita saat ini.
Dan tentu saja publik beraksi. Di mana-mana memang kini muncul kegiatan bersepeda. Toko sepeda laris manis. Bahkan pemberli sepeda sampai antri dari harga sepeda kelas biasa sampai premium. Di sini mungkin pajak sepeda akan dikenakan kepada sepeda premium, tapi ini apa tak bermasalah sebab publik juga tahu ketika ada kasus sepeda asal Inggris yang diselundupkan di pesawat Garuda yang baru yang terbang dari London.
Bahkan, saat itu sudah ada reaksi dari pihak yang berwenang akan menetapkan pajak benda mewah untuk sepeda tersebut. Makanya rakyat gundah bila sepeda biasa juga terncam dikenakan pajak. Dan ini pun ada keluhan dari para pemilik sepeda premium itu: Lho katanya sudah ada pajak sepeda yang mahal sampai 150 persen?
Jadi wacana soal pajak sepeda lagi-lagi membuat hati rakyat 'dagdigdug'. Di masa pandemi ini terbayang terkena beban lagi, setelah BPJS naik, tagihan listrik tiba-tiba melonjak, BBM yang tak mau turun meski harga internasionalnya sudah turun, kini akan ada pajak baru. Sudah naik kendaraan dibatasi, eh ini ada niatan mulia rakyat mau berolah raga supaya sehat dan ikut mengurangi pencemaran udara, kok dihambat. Apa sih maksud semua ini? Apa ini mirip wacana adanya pajak untuk asap knalpot?
Munculnya berbagai beban kepada rakyat seperti halnya menaikkan pajak, semua menjadi ingat akan kisah menteri yang gemar menarik pungutan di kala Prancis bangkrut. Dia bernama Silhouettes yang merupakan seorang menteri keuangan Prancis di bawah Raja Louis XV. Lengkapnya bernama Étienne de Silhouette.
Silhouette memang orang cerdas. Dia telah mempelajari keuangan dan ekonomi serta telah menghabiskan satu tahun di London belajar tentang ekonomi Inggris. Silhouette "memperkenalkan beberapa mode penghematan selama pemerintahannya. Dan di antara mode-mode penghematan ni adalah kemampuannya membuat setoran pajak yang sangat besar bagi negara .
Maka rakyat Prancis yang kala itu ekonomunya tengah susah sekali, terkena pajak melangit. Silhouette memburu pungutan pajak seperti orang kesurupan. Bahkan sampai hal sepele seperti pintu rumah pun dikenakan pajak. Setiap ada pintu rumah baru maka petugas pajak akan selalu datang menagih pungutan pajaknya.
Karena saking kesalnya, para jurnalis di koran-koran Prancis saat itu memasang gambar Silhouette (di Indonesia jadi sebutan gambar silhuet,red) yang hanya dalam bentuk bayang-bayang hitam. Wajah dan sosoknya tak terlihat. Anehnya, ketika digambar dengan cara itu rakyat Prancis suka. Bukannya kesal, malah kini bertindak sebaliknya menyukai gambar bayang-bayangnya seperti menteri keuangan Silhoute. Ternyata di sini benci terbukti bisa berubah rindu, bahkan benar-benar cinta. Silhouet yang tadinya bersal dari sosok pejoratif, berubah menjadi lambang 'sukaan'.
Makanya, dengan adanya rencana pajak sepeda maka bisa saja kita mencinta dan merindukan gaya kolonial Belanda di masa lalu di dalam memeras rakyat datang kembali. Ingat masa lalu kadang terasa indah. Ingat zaman normal ya. Bukankah para pemimpin semua merasa makmur pada zaman itu. Mereka tak ada yang merasa dijajah. Hanya rakyat yang tak kebagian saja yang merasa dijajah kan?
Salah sendiri jadi rakyat...?