REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Andi Rahmat, Pelaku Usaha/Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Istilah negara kewirausahaan (Entreprenuerial State) diperkenalkan kali pertama oleh Mariana Mazzucatto, Profesor Ekonomi di University College of London, dalam bukunya yang berjudul sama. Dalam istilah Mariana, negara merupakan “key actors that has been an investor of first resort”.
Dalam bukunya itu, Marianna membongkar apa yang disebutnya sebagai mitos tentang kontribusi pengusaha dan bisnis rintisan sebagai penggerak inovasi.
Sebaliknya, inovasi merupakan proses kolektif, di mana institusi publik (baca: negara) memainkan peran yang sangat penting ( Marianna Mazzucato, The Entreprenuerial State, Debunking Public vs Private Sector Myths, Anthem Press, 2013).
Memahami fungsi penting negara (baca: Institusi Publik) dalam inovasi, dalam pemahaman Marianna, akan membantu kita dalam memahami mengapa penciptaan kekayaan (wealth creation) seringkali terdistribusi secara tidak tepat, atau dengan kata lain melalui mekanisme yang tidak pas (dysfunctional ways).
Dengan mengutip Mazzucatto, saya sesungguhnya tidak sedang mengatakan bahwa negaralah yang paling determinan dalam menciptakan inovasi. Tetapi tulisan ini sebetulnya menghendaki dan mendorong agar negara mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong inovasi dan menciptakan talenta kewirausahaan. Ketimbang menganggap bahwa aktor swasta atau non-negara dibiarkan menjalankan fungsinya itu tanpa perlu peran aktif negara.
Amerika Serikat (AS) dan China adalah dua contoh klasik dalam hal ini. Amerika memiliki Silicon Valley dan China memiliki Shenzen. Institusi publik di dua negara itu berperan besar dalam melapangkan jalan bagi inovasi. Negara seringkali merupakan garda depan pada pengembangan inovasi lanjut.
Internet merupakan contohnya yang menonjol. Pada mulanya dikembangkan sebagai sistem komunikasi di Departemen Pertahanan AS, dan dalam pengembangan berikutnya telah menjadi kenyataan hidup sehari-hari manusia.
Alghoritma pencarian Google, pada mulanya dikembangkan dan dibiayai oleh Hibah dari National Science Foundation. GPS, Aktivasi Suara merupakan teknologi yang mulanya dikembangkan dan dibiayai oleh Departemen Pertahanan AS.
China pun demikian. Pengembangan Artificial Inteligent (AI), Mobil Listrik, Drone, Pengenalan Wajah (Face Recognition), Sistem Pembayaran Digital, Teknologi dan Infrastruktur 5G, Komputasi Kuantum, dan banyak lagi yang lain. Kesemuanya memperoleh hibah dana dan difasilitasi langsung oleh Institusi Publik China.
Di Asia Tenggara, Singapura mempelopori upaya lebih luas dalam merangsang inovasi dan merubah wajah bisnis singapura menjadi garda depan pengembangan bisnis berbasis teknologi maju. Global Talent Competitive Index (GTCI) menempatkan Singapura pada peringkat 2 dunia sebagai negara dengan ketersediaan talenta teknologi. Singapura telah berkembang menjadi pusat pengembangan bisnis cyber security dunia.
Dan dalam hal negara paling menarik untuk memulai bisnis inovatif dan berbasis teknologi, pada tahun 2017 Menurut lembaga pemeringkat “start up “ yang berbasis di Berlin, Nestpick, Singapura adalah tempat terbaik untuk bisnis rintisan mengalahkan 80 negara lain, termasuk china dan US.
Peran negara dalam merangsang lahirnya inovasi, yang pada gilirannya membiakkan lahirnya kultur kewirausahaan sungguh sangat besar. Dapat dikatakan peran itu bersifat tradisional dan inheren dalam “negara”. Baik negara dalam pengertian “negara-bangsa” paska Westphalian maupun “ negara” sebelum Westphalian.
Justin Mirozzi di dalam bukunya yang cukup tebal, “Islamic Empires; Fifteen Cities That Define A Civilization” (Penguin, 2019), merekam peran kuat “negara” dan penguasa dalam merangsang inovasi, menciptakan bisnis dan menumbuhkan peradaban.
Mirozzi sendiri tidak secara khusus membicarakan konsep “negara kewirausahaan” di dalam bukunya itu. Tetapi penceritaannya terhadap kota-kota seperti, Baghdad, Isfahan, Cordoba, Fez, Damaskus menunjukkan kuatnya pengaruh penguasa dalam menumbuhkan kota, dan ekonomi aglomerasi berbasis inovasi yang berkembang pesat di kota-kota tersebut.
Peran penting negara itu terletak pada keberpihakannya pada inovasi dan penumbuhan kultur kewirausahaan. Pada bidang inovasi, peran itu terletak pada keseriusan institusi publik untuk menginisiasi riset dan pengembangan teknologi berbasis sains aplikatif. Keseriusan itu terlihat pada alokasi anggaran dan keberanian negara dalam mengambil resiko kegagalan dalam upaya inovatif.
Dalam penumbuhan kultur kewirausahaan, peran negara itu terletak pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warganya untuk melakukan kegiatan usaha. Kesempatan yang luas itu berupa penciptaan pasar usaha yang symetris, non monopolistik dan oligopolistik, juga memerangi kartelisme dalam penguasaan kue ekonomi.
Termasuk juga pada penyederhanaan regulasi dan hambatan usaha. Dan pada tingkat tertentu, subsidi terhadap upaya inovatif bisnis rintisan yang bertujuan untuk merangsang pengambilan resiko dalam memulai bisnis.
Catatan kami menunjukkan bahwa dalam dua peran penting negara inilah yang menjadi kelemahan fundamental kita selama ini.
Unesco menyebutkan, alokasi riset pada tahun 2018 di Indonesia baru 0,3% dari total PDB. Jauh dibawah Korea, Jepang,Singapura dan China yang berada diatas 2% dari PDBnya. Menristekdikti menyebutkan peningkatan anggaran riset dari tahun 2016 ke tahun 2018 hanya berkisar 0,03% dari PDB. Pada tahun 2019, alokasi APBN terhadap riset berjumlah Rp 35,7 Trilliun yang tersebar diberbagai institusi publik.
Isu utamanya adalah upaya kreatif untuk menyambungkan alokasi anggaran riset itu pada penerapan aplikatifnya bagi sektor bisnis. Fokus yang memadai pada riset garda depan, yang berhubungan dengan pengembangan lanjut disektor bisnis membutuhkan keberpihakan negara. Kongkritnya, terutama dan pada tahap permulaan adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan institusi publik.
Regulasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang selama ini dianut, belum menempatkan riset dan pengembangan sebagai “champion” dalam pemenuhan lokal konten. Hal itu dapat dibuktikan dalam alokasi riset pengembangan yang masih minim, kalau tidak dikatakan tidak dipersyaratkan sama sekali, pada perencanaan kebutuhan institusi publik.
Kementerian Riset dan Teknologi , yang nota bene merupakan garda depan pengembangan teknologi, untuk tahun 2020, hanya bisa mengalokasikan Rp 1,46 Triliun alokasi dan riset dan pengembangan. Ini saja sudah menunjukkan level keseriusan kita dalam mempersiapkan infrastruktur persaingan global Indonesia.
Di Indonesia, rasio kewirausahaan barulah berkisar 7% dari total populasi. Jauh di bawah angka 14% yang menjadi “treshhold” dalam ratio kewirausahaan yang dianggap kompetitif.
Dalam laporannya ditahun 2019, Global Talent Competitiveness Indeks (GTCI) menempatkan Indonesia pada pada posisi ke 67 dengan skor kompetitif kewirausahaannya 38,61. Jauh dibawah Singapura yang berada diurutan kedua dengan skor 77,27, Australia diurutan 12, Malaysia diurutan 27, Brunei 36, Philipina 58 dan Thailand 66. Indeks GTCI mengukur talenta kewirausahaan suatu negara dan kota-kota dinegara tersebut.
Di dalam laporan yang sama, talenta kewirausahaan dianggap merupakan komponen kritis dari kemampuan kompetitif dan inovasi. Tetapi yang menggelisahkan, mengutip William Boumol, talenta kewirausahan terlalu sering disia-siakan dan makin menderita disebabkan misalokasi massif yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak efisien dan struktur organisasional yang tidak familiar dengan pengambilan risiko (GTCI 2019, Insead, 2019).
Padahal, talenta kewirausahaan yang sesungguhnya merupakan kombinasi dari kreatifitas, inovasi, fleksibilitas, adaptasi dan pengambilan resiko, merupakan kunci penentu dalam “ global scramble for prosperity” dimana keterampilan kewirausahaan makin langka dan gelombang tren perubahan yang makin cepat dan ketat.
Mengimplementasikan suatu konsepsi “entreprenuerial state “menjadi suatu tantangan tersendiri bagi upaya pemulihan ekonomi. Di antara objektif yang seyogyanya terdefinisikan secara nyata dalam kebijakan pemulihan ekonomi nasional adalah perbaikan rasio kewirausahaan Indonesia.
Sudah selayaknya para pengambil kebijakan memasukkan ini dalam tujuan kebijakannya. Seperti yang pernah dilakukan, dan hingga sekarang telah menjadi parameter baku dalam pembahasan Nota Keuangan Pemerintah setiap tahun, dimana tujuan pelaksanaan APBN dinyatakan dalam pencapaian target penurunan angka kemiskinan dan rasio penciptaan lapangan kerja. Target penumbuhan kewirausahaan juga selayaknya menjadi parameter penting dalam perencanan dan pelaksanaan APBN.
Indonesia akan segera memasuki ledakan demografi, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai “ masa emas” perekonomian suatu bangsa. Memasuki masa ini dengan berbekal rendahnya rangsangan inovatif dan rendahnya rasio kewirausahaan, tidak saja akan membuat kita tidak bisa mengambil manfaat besar tetapi juga akan membuat kita selamanya tidak bisa mencapai puncak performa yang diperlukan untuk melepaskan diri dari “ middle income trap” dan menjadi negara maju; bukan sekedar “ emerging country”. Wallahu ‘alam.