REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha, Staf Ahli Direksi BPJS Kesehatan
Mahkamah Agung membuat kejutan di bulan Maret. Lembaga tertinggi yudikatif ini mengumumkan bahwa mereka mengabulkan sebagian materi gugatan judicial review terhadap satu pasal dalam Perpres 75/2019. Putusan ini menjadi pemberitaan luas di media massa cetak, televisi, maupun online. Selain itu juga cukup menjadi perbincangan di media sosial. Kendati begitu, isu ini tetap tak mampu menggeser isu corona.
Pemberitaan pun imbang antara yang sentimen positif dan yang sentimen negatif. Bahkan di hari kedua, percakapan di media sosial lebih bersentimen positif. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap masalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) makin baik.
Pendapat para penggiat advokasi masyarakat bahkan bernada negatif terhadap putusan MA. Hal itu tampak pada pernyataan mantan direktur YLBHI dan ketua harian YLKI. Keduanya cenderung mengkritisi putusan MA.
Pendapat keduanya senada dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Hal ini karena putusan itu berpotensi akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan program jaminan sosial kesehatan maupun terhadap mutu layanan fasilitas kesehatan terhadap peserta JKN yang diselenggarakan badan hukum publik BPJS Kesehatan.
Setelah Presiden mengeluarkan Perpres 75/2019, maka diperkirakan masalah defisit yang membelit BPJS Kesehatan yang berlangsung lima tahun sejak kelahirannya itu akan tuntas. Hutang-hutang BPJS Kesehatan ke rumah-rumah sakit akan lunas dalam beberapa bulan nanti.
Dengan demikian, BPJS Kesehatan akan lebih fokus pada penguatan mutu layanan. Karena itu BPJS Kesehatan menetapkan tahun 2020 ini sebagai tahun pelayanan dan kepuasan peserta.
Materi Gugatan
Uji materi diajukan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia pada 5 Desember 2019. Pemohon menguji Perpres 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan yang dinilai bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU 24/2011 tentang BPJS, dan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Sedangkan yang menjadi termohon adalah Presiden RI.
Selanjutnya Presiden memberikan kuasa substitusi kepada Menkumham dan Menkes untuk mewakili atas nama Presiden. Dua kementerian ini kemudian melakukan koordinasi dengan instansi terkait – termasuk BPJS Kesehatan -- untuk memberikan jawaban tertulis terhadap gugatan uji materi tersebut.
Jawaban pemerintah, oleh Kemenkumham dan Kemenkes, diberikan pada 31 Januari 2020. Maka pada 27 Februari 2020 MA membuat putusan atas uji materi tersebut, yang kemudian disampaikan ke media massa pada 9 Maret 2020.
Pada pokoknya, pemohon menggugat Pasal 34 Ayat 1 dan Ayat 2 Perpres 75/2019. Pasal 1 mengatur besaran iuran untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Berdasarkan Perpres itu besaran iurannya adalah Rp 42 ribu untuk kelas 3, Rp 110 ribu untuk kelas 2, dan Rp 160 ribu untuk kelas 1. Besaran iuran ini kenaikan dari ketentuan sebelumnya sebagaimana diatur dalam Perpres 82/2018, yaitu Rp 25,5 ribu untuk kelas 3, Rp 51 ribu untuk kelas 2, dan Rp 80 ribu untuk kelas 1. Sedangkan Ayat 2 Pasal 34 Perpres 75/2019 mengatur bahwa besaran iuran itu berlaku per 1 Januari 2020. Pemohon juga memohon agar Perpres 75/2019 bersifat tidak mengikat.
Hingga kini, MA belum memberikan salinan putusan ke pihak termohon. Para wartawan pun belum ada yang menerima salinan putusan tersebut. Sehingga belum ada gambaran yang utuh dan andal terhadap amar putusan tersebut.
Berdasarkan pernyataan juru bicara MA maupun humas MA bisa disimpulkan beberapa hal. Pertama, putusan itu tidak berlaku surut. Artinya, tidak ada kewajiban pada BPJS Kesehatan untuk mengembalikan selisih iuran.
Kedua, putusan berlaku sejak ditetapkan. Artinya, besaran iuran PBPU dan BP sejak tanggal ditetapkan kembali ke besaran iuran seperti yang tercantum pada Perpres 82/2018, kecuali Presiden mengeluarkan aturan baru.
Ketiga, menolak permohonan pemohon tentang Perpres 75/2019 bersifat tidak mengikat.
Ada sedikit kesimpangsiuran pada sebagian masyarakat tentang putusan MA ini. Yaitu, seolah MA membatalkan Perpres 75/2019. Padahal yang dibatalkan hanya Pasal 34 Ayat 1 dan Ayat 2 Perpres 75/2019. Sehingga besaran iuran untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tak ada perubahan, yaitu tetap Rp 42 ribu per peserta. Artinya, besaran iuran peserta PBI menjadi lebih besar daripada besaran iuran kelas 3 peserta PBPU – padahal keduanya sama-sama masuk kelas 3. Demikian pula tak ada perubahan ketentuan iuran untuk peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) pemerintah maupun swasta.
Dengan demikian putusan MA itu tak sepenuhnya mengembalikan kondisi keuangan BPJS Kesehatan ke situasi sebelum Perpres 75/2019.
Fokus Melayani
Apakah dengan demikian dampak putusan MA terhadap keuangan BPJS Kesehatan kecil saja? Tidak juga. Akibat putusan MA tersebut BPJS Kesehatan akan kehilangan potensi penerimaan hingga enam triliunan rupiah. Angkanya cukup signifikan. Hal inilah yang dikhawatirkan Tulus Abadi, ketua harian YLKI, yang bisa berdampak jangka panjang terhadap kualitas layanan.
Banyak yang belum menyadari bahwa iuran lebih dari 50 persen peserta JKN itu gratis dan dibayari pemerintah. Jumlahnya jauh di atas jumah orang miskin. Data BPS menyebutkan bahwa orang miskin berjumlah 25 juta orang. Sedangkan peserta yang iurannya dibayarkan pemerintah (APBN dan APBD) ada 134 juta orang. Dengan demikian orang yang masuk kategori near poor atau tidak mampu juga ditanggung pemerintah.
Apa pun, BPJS Kesehatan, sebagai lembaga yang selalu menjaga good governance dan taat hukum, sangat menghormati putusan MA. Karena itu, BPJS Kesehatan akan melaksanakan putusan MA tersebut.
Apakah dengan demikian defisit akan kembali menghantui BPJS Kesehatan? Apakah BPJS Kesehatan akan merevisi tagline tahun 2020 sebagai tahun pelayanan dan kepuasan peserta?
Terhadap pertanyaan pertama, BPJS Kesehatan akan bekerja keras agar tak terjadi defisit pada tahun 2020 ini. Walaupun potensi defisit itu sangat nyata. Artinya akan kembali ada tunggakan utang BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan. Hal ini akan berdampak terhadap kualitas layanan fasilitas kesehatan terhadap peserta JKN. Akhirnya, masyarakat juga yang dirugikan. Untuk mencegah hal itu, ada berbagai skenario yang harus dijalankan, misalnya dengan melakukan pengaturan atau penyesuaian biaya manfaat.
Dalam jangka menengah juga bisa melakukan iur biaya (cost sharing), pemberlakuan kelas standar perawatan, maupun penentuan kebutuhan kesehatan dasar. Hal-hal ini akan dibicarakan bersama dengan stakeholders terkait. Karena BPJS Kesehatan hanya subsistem dalam sistem JKN. Ada banyak pihak yang terlibat, seperti Kemenko PMK, Kemenkes, Kemenkeu, Kemensos, Kemendagri, Kemenkumham, DJSN, DPR, IDI, Persi, asosiasi profesi, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap pertanyaan kedua, BPJS Kesehatan tetap fokus pada programnya untuk meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan peserta.
Program 10 komitmen pelayanan tetap berjalan dan harus makin digencarkan. Dengan demikian, manfaat program ini makin nyata dan tak terus tertutup isu-isu defisit dan jeritan rumah sakit dan farmasi yang telat dibayar oleh BPJS Kesehatan.
Setiap hari, berdasarkan data yang sudah diaudit, ada 765 ribu layanan menggunakan JKN. Karena itu, manfaat program ini sangat konkret dan dirasakan masyarakat. Tentu saja pasti ada kekurangan. Namun isu defisit sama sekali di luar isu sistem dan manajemen layanan. Isu defisit lebih pada isu politik, karena penetapan besaran iuran merupakan keputusan politik dengan mempertimbangkan banyak hal.
Bagi komunitas internasional, praktik jaminan kesehatan di Indonesia merupakan suatu miracle, keajaiban. Tak heran jika asosiasi jaminan sosial dunia (ISSA) memberikan banyak penghargaan kepada Indonesia.