Selasa 18 Feb 2020 18:24 WIB

Proyek Pencitraan Politik Jelang Pilkada 2020

Masyarakat harus semakin hati-hati memilih kepala daerah

Boneka maskot berbentuk rumah adat Balla Lompoa (rumah besar) beraksi saat peluncuran maskot pilkada Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (1/2/2020).
Foto: Antara/Abriawan Abhe
Boneka maskot berbentuk rumah adat Balla Lompoa (rumah besar) beraksi saat peluncuran maskot pilkada Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (1/2/2020).

Oleh: Verdy Firmantoro, Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

Jelang Pilkada serentak 2020, dipastikan proyek pencitraan politik semakin masif. Masifnya pencitraan politik tersebut tidak lepas dari penetrasi internet, terutama peran media sosial sebagai medium komunikasi identitas. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis setidaknya lebih dari 171 juta jiwa atau hampir 70 persen penduduk Indonesia menggunakan internet. Tulisan ini sebagai kritik atas kecenderungan mekanisme pencitraan di ranah digital sebagai bentuk “pembodohan publik”.

Kreativitas di ranah digital menjadi poin penting menghadapi realitas kontestasi politik kontemporer. Peralihan komunikasi dari analog ke digital menandai adanya perubahan platform sebagai kendaraan politik kandidat dalam memengaruhi publik. Pemilihan media menjadi poin yang krusial. Apalagi pada tahun ini terdapat 270 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Secara otomatis akan ada perebutan kekuasaan menjadi pemimpin di 270 daerah tersebut.Untuk mencapai itu, para kandidat berupaya memoles diri untuk menarik simpati publik terutama melalui media sosial.

Media sosial tidak hanya digunakan untuk sarana berinteraksi, tetapi sudah mengarah pada bentuk proyek pencitraan. Proyek yang sarat industrif, melibatkan upaya  komodifikasi diri menjadi “kandidat yang layak jual”.Mekanisme pencitraan tidak lagi sekedar menggunakan cara-cara konvensional, tetapi sudah melibatkan peran serta teknologi yang memungkinkan lebih cepat dan terkesan alamiah.

Para kandidat bisa menampilkan karakter-karakter yang diinginkan dan diproyeksikan diterima publik. Psikologi massa dimainkan, sisi emosional dikemas sedemikan rupa dengan memanfaatkan pendekatan-pendekatan humanis yang mendorong publik tergerak hanya melalui postingan gambar atau video olahan. Bahkan, kuatnya pencitraan juga dapat mengaburkan publik untuk melihat hal-hal yang sifatnya substansial.

Efek pencitraan yang berlebihan dikhawatirkan melahirkan pemimpin yang tidak sesuai harapan. Menang dalam wacana, namun lemah dalam karya. Proyek pencitraan politik melemahkan akal sehat publik. Publik dituntut tidak rasional ketika aspek emosional lebih diarusutamakan. Hal ini mengancam kualitas kepemimpinan politik kita di tengah upaya untuk memperbaiki karakter bangsa.

Komunikasi Identitas untuk Pencitraan Politik

Komunikasi identitas merupakan bentuk narasi diri ke publik atau konstruksi citra diri. Michael L Hecht (2005) dalam tulisannya The Communication Theory of Identity: Development, Theoritical, Perspective and Future Directions, menyebut empat lapisan identitas, di antaranya: personal, enactment, relational dan communal layer. Pencitraan politik dapat dilakukan secara optimal jika mempertimbangkan lapisan-lapisan identitas tersebut.

Pertama, personal layer dapat digunakan untuk menggambarkan tentang diri berkaitan dengan basis karakter personal kandidat. Kedua,enacment layerberkaitan dengan proyeksi citra diri yang ditangkap oleh orang lain atau dalam hal ini calon pemilih. Dalam konteks komunikasi identitas kandidat, di wilayah ini setiap orang akan menginginkan dinilai baik atau positif di mata publik. Upaya-upaya meminimalisir atau bahkan menutupi kekurangan diri dilakukan dengan strategi pencitraan dalam rangka memberi narasi positif. Publik dikondisikan untuk terbawa dengan citra diri yang dikonstruksi atau image by design.

Berikutnya, relational layer menekankan adanya irisan yang diciptakan untuk menghubungkan kandidat dengan publik. Di era media sosial membuka ruang interaksi yang lebih dekat. Setiap kandidat dapat memerankan diri menjadi mitra publik, baik dalam konteks menjawab suatu masalah maupunmembangun relasi yang tidak hirarkis.

Tahapan keempat masuk apa yang disebut dengan communal layer. Lapisan identitas ini menempatkan figur kandidat pada level representasi publik. Siapa yang dianggap dapat mewakili publik cenderung mempunyai elektabilitas dan akseptabilitas yang tinggi. Maksudnya, dalam communal layer, identitas individu kandidat dengan identitas publik telah melebur. Kandidat yang berpeluang besar memenangkan kontestasi adalah kandidat yang mampu menjadi ikon bagi publiknya.

Suburnya Pencitraan Politik di Era Digital

Di era digital seperti saat ini menyuburkan proyek pencitraan politik. Proyek pencitraan politik dilakukan oleh para pengelola akun media sosial atau “jasa pengemas diri”. Para pengelola akun media sosial dapat membantu upaya pencitraan dengan membuat konten-konten yang menarik.Membuat konten tidak lagi sekedar sebagai bentuk visualisasi karakter diri, tetapi upaya untuk mengelola image.

Image menjadi bias karena telah dikontrol oleh kepentingan politik. Kondisi seperti ini mengarah dengan apa yang disebut Steven McCornarck sebagai manipulasi informasi. Tidak semua identitas yang direpresentasikan di media sosial sesuai dengan karakter riil kandidat. Pencitraan politik di satu sisi sebagai bentuk kreativitas pengelola konten media sosial memudahkan para kandidat dapat mengarahkan proyeksi identitas yang diharapkan.

Namun, di sisi lain, munculnya kesenjangan publik dalam mempersepsi citra seseorang dapat menyebabkan kegagalan dalam memilih dan menentukan figur pemimpin yang tepat. Atau istilah Buller dan Burgoon menyebutnya sebagai bias kebenaran (truth bias). Saat publik diterpa dengan narasi-narasi positif yang dikondisikan membaik-baikkan kandidat, sementara pada kondisi tertentu publik yang tidak berpikir kritis akan cenderung rentan terbuai dengan politik artifisial yang sarat pencitraan.

Literasi Digital Hadapi Politik Artifisial

Kemajuan teknologi seharusnya mampu menguatkan demokratisasi masyarakat. Masyarakat selayaknya menjadi subjek teknologi, bukanlah objek. Literasi digital politik menjadi hal yang penting dilakukan. Piranti digital ini tidak sekedar sebagai alat (tools) penguasa dalam mengkomodifikasi pesan-pesan politik, namun juga diharapkan dapat menjadi kelengkapan publik dalam mendorong tingkat melek politik sebagai pemilih para calon pemimpin daerah.

Pasokan informasi yang berlebihan dan menjauh dari realitas yang sesungguhnya merupakan bentuk politik artifisial. Media sosial lahir sebagai bentuk keceriaan sosial agar setiap individu yang menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai netizen bisa saling berinteraksi. Jangan sampai penguasaan media sosial oleh kalangan elit politik tertentu membentuk oligarki informasi. Maksudnya, informasi yang beredar bersifat top down, dikontrol oleh penguasa dan kemudian menjadi agenda publik.

Literasi digital perlu dilakukan menghadapi Pilkada serentak 2020. Kesuksesan pesta demokrasi ini nantinya bukan hanya ditentukan dari kelancaran penyelenggaraan Pilkada, namun juga dari pemimpin yang dihasilkan melalui proses tersebut. Apalagi Pilkada ini nantinya akan melibatkan 107 juta pemilih dari keseluruhan daftar pemilih tetap pada Pemilu 2019.

Melalui literasi digital politik dapat mendorong terciptanya atmosfer politik yang sehat. Jika publik sudah melek politik, kritis dan terliterasi informasi secara baik, tidak akan terjebak dengan politik artifisial para kandidat yang akan berkontestasi. Meski kontestasi pencitraan politik akan tetap terjadi di era media sosial. Mengingat itu sebagai bagian dari seni berkomunikasi politik, namun publik juga akan siap mendayagunakan nalar kritisnya untuk memilih kandidat yang terbaik guna memimpin daerahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement