REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Ryansyah, Alumnus Pendidikan Biologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ketua BEM Biologi UNJ 2012/2013
Terobosan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melarang anak buahnya menggunakan kantong plastik dan botol kemasan plastik sekali pakai di kantornya, patut diacungi jempol. Lebih bagus lagi kalau Mas Menteri membuat aturan serupa —bukan sekadar imbauan— untuk pelajar-pelajar di seluruh Indonesia. Agar sampah plastik di negeri kita tidak terus menumpuk dan tak terurus.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sampah plastik menempati rangking kedua dalam jenis sampah yang paling dominan dihasilkan di Indonesia, yakni sebesar 15 persen. Angka ini tidak bisa dibilang kecil. Sebab jumlah timbulan sampah secara nasional sebesar 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun jika menggunakan asumsi sampah yang dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg.
"….dari total timbulan sampah plastik, yang didaur ulang diperkirakan baru 10-15 persen, 60-70 persen ditimbun di TPA, dan 15-30 persen belum terkelola dan terbuang ke lingkungan, terutama ke lingkungan perairan seperti sungai, danau, pantai, dan laut," terang Rosa Vivien Ratnawati (Bisnis.com, 12/2/2019).
Ini yang mengkhawatirkan. Sebab sampah plastik yang mengalir ke laut bisa mengancam kehidupan banyak spesies laut. Lebih dari 260 spesies, termasuk invertebrata, kura-kura, ikan, burung laut dan mamalia, telah dilaporkan menelan atau terjerat dalam sampah-sampah plastik, sehingga pergerakan dan proses makannya terganggu, kemampuan reproduksinya menurun, mengalami luka-luka, borok, dan kematian (Thompson et al., 2009).
Berbagai upaya sebetulnya sudah dilakukan untuk mengurangi sampah plastik, seperti kampanye diet plastik, membuat bank sampah, mendaur ulang sampah, kebijakan plastik berbayar, menggunakan tas kain saat belanja, dan lain sebagainya. Namun tampaknya itu masih belum maksimal dan signifikan.
Jose G.B. Derraik dalam review-nya di Marine Pollution Bulletin 44 (2002) memandang, pendidikan sebagai alat yang sangat kuat untuk mengatasi masalah sampah plastik di laut. Anak-anak muda, kata dia, tidak hanya bisa mengubah kebiasaan dengan relatif mudah, tapi juga mampu membawa kesadaran mereka ke dalam keluarga mereka dan komunitas yang lebih luas, serta berperan sebagai katalis perubahan.
Peraturan juga mampu mengurangi jumlah sampah plastik di laut. Merujuk Amos (1993) dan Johnson (1994), Derraik mengungkap, Protocol to the International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) Annex V punya beberapa dampak dalam mengurangi sampah plastik di lautan.
"A combination of legislation and the enhancement of ecological consciousness through education is likely to be the best way to solve such environmental problems," tulis Derraik.
Karena itu, Mas Menteri dan pihak sekolah perlu bekerja sama dalam hal ini. Demi mengurangi sampah plastik, penulis mengusulkan kepada Mas Menteri sebagai pembuat kebijakan, dan pihak sekolah sebagai pelaksana, agar membuat dan melaksanakan aturan membawa tempat makan dan minum bagi pelajar. Tentu saja para guru juga harus membawanya sebagai contoh untuk murid-muridnya.
Salah satu sumber sampah plastik adalah di sekolah. Di kantin sekolah, kita bisa melihat sehari-hari para siswa membeli makanan dan minuman yang dikemas atau dibungkus dengan plastik, seperti siomay, batagor, nasi uduk, nasi rames, nasi goreng, air mineral, es teh, jus mangga dan lain-lain. Sudah begitu, makanan dan minumannya dimasukkan ke kantong kresek pula dan mereka minumnya pakai sedotan plastik. Lalu sehabis makan dan minum, mereka membuang sampahnya ke tong sampah. Akibatnya sampah plastik terus diproduksi di sekolah setiap harinya.
Nah tempat makan dan minum yang nantinya mereka bawa ini, akan menjadi wadah untuk makanan dan minuman yang dibelinya di kantin. Wadahnya bisa di-reuse dan di-refill. Jadi, kantin hemat pembelian plastik karena tidak perlu lagi menyiapkan kantong kresek, sedotan, sendok atau garpu plastik, bungkus plastik makanan, gelas cup plastik minuman, dan lain sebagainya. Kantin cukup menyediakan makanan dan minumannya saja.
Kantin juga tidak perlu lagi menjual air mineral kemasan gelas atau botol plastik. Air mineral bisa dijual dengan menggunakan galon dispenser. Dengan begitu, sampah plastik di sekolah akan berkurang. Apalagi jumlah sekolah di Indonesia sangat banyak. Akan banyak sekali sampah plastik yang berkurang.
Namun masalahnya, bagi sebagian pelajar, membawa tempat makan dan minum, mungkin terasa merepotkan, ribet, malu, dan memberatkan. Tidak praktis bila dibandingkan membeli langsung di kantin.
Para guru, khususnya guru IPA/biologi, perlu menggedor kesadaran murid-muridnya bahwa repot, ribet, malu, dan berat membawa tempat makan dan minum tidak seberapa bila dibandingkan dengan dahsyatnya dampak buruk sampah plastik bagi lingkungan. Repot, ribet, malu, dan berat adalah bentuk pengorbanannya untuk kelestarian lingkungan di masa depan. Tak berlebihan juga bila guru mengakui mereka sebagai pahlawan lingkungan.