REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Selama empat hari, 18-21 Desember, Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad punya gawe. Ia jadi tuan rumah ‘Kuala Lumpur Summit’. Meskipun di backdrop, spanduk, umbul-umbulnya tidak menyebut Islam dan umat Islam, namun pertemuan itu diikuti para pemimpin negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Mereka adalah Emir Qatar Sheikh Tamim Hamad Al Thani, Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan, dan Presiden Iran Hassan Rouhani. Di samping itu terdapat sekitar 450 ulama, akademisi, dan delegasi dari negara-negara Islam.
Beberapa media di Timur Tengah, seperti Aljazeera, menyebut Kuala Lumpur Summit (KL Summit) sebagai KTT (konferensi tingkat tinggi) kecil atau mini umat Islam, al Qimmah al Islamiyah al Mushaghgharah atau al Ijtima’ al Mushaghghar lil Ummah al Islamiyah. KTT besarnya adalah yang diselenggarakan Organisasi Kerja-sama Islam (Munadzdzomu at Ta’awun al Islamy/Organisation of Islamic Cooperatioan) yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi.
Yang dibahas pun macam-macam. Dari konflik internal, peperangan, kebodohan, keterbelakangan ekonomi hingga intervensi asing. Dari masalah radikalisme, ekstremisme, terorisme, sampai Islamophobia. Dari penderitaan bangsa Palestina, umat Islam Rohingya dan Uighur, nasib pengungsi, hingga perlakuan buruk yang dialami kelompok-kelompok minoritas umat Islam.
Selain itu, KL Summit juga memfokuskan isu penguatan ekonomi, sains, teknologi, dan pertahanan. Seperti dikatakan Mahathir, kebutuhan untuk dapat memproduksi dan menciptakan teknologi sendiri merupakan aspek terpenting bagi umat Islam sekarang. Sebab, selama negara-negara Islam masih bergantung pada teknologi dari negara-negara yang memusuhi umat Islam, negara Muslim akan terkontrol untuk tidak mengembangkan teknologi sendiri.
Selanjutnya, agar ekonomi negara-negara Islam tidak terus dikuasai negara-negara non-Muslim, Mahathir juga mengajak negara-negara Islam menggunakan mata uang Dinar sebagai transaksi perdagangan. Dengan jumlah lebih dari 1,8 miliar jiwa, yang merupakan seperempat dari seluruh penduduk dunia, potensi ekonomi umat Islam sesungguhnya sangat dahsyat.
Apa yang dihasilkan KL Summit tentu sangat baik seandainya umat Islam bersatu. Sayangnya, KTT di KL ini sejak awal sudah dicurigai sebagai tandingan dari OKI. Istilahnya, OKI Kecil versus OKI Besar. KL Summit pun justru mempertegas adanya perpecahan di tubuh OKI.
Mahathir sendiri telah mengklarifikasi tudingan miring itu. Ia mengatakan, tidak ada niat untuk menciptakan blok baru seperti yang disinggung beberapa pengkritiknya. ‘’KTT ini bukan sarana untuk membahas tentang agama atau urusan agama, tetapi secara khusus untuk membahas keadaan urusan umat Islam,’’ katanya.
Namun, tudingan miring itu terus bergulir manakala tokoh utama yang hadir adalah Presiden Iran, Presiden Turki, Emir Qatar, dan PM Malaysia sendiri. Apalagi setelah Presiden Erdogan menyatakan, empat negara telah sepakat bekerja sama satu sama lain. ‘’Keempat negara telah sepakat akan melanjutkan kerja sama yang mencakup ilmu pengetahuan, seni, industri pertahanan, ekonomi, perdagangan, budaya, dan semua bidang,’’ ujarnya.
Arab Saudi pun menolak keras penyelenggaraan KTT KL ini. Dalam pembicaraan lewat telepon dengan Mahathir, Raja Salman menyatakan pembahasan mengenai persoalan negara-negara Islam harus dilakukan melalui OKI. Dan, Saudi hanya akan hadir apabila pertemuan itu diselenggarakan di bawah bendera OKI.
Menurut Sekjen OKI Yoesef al Othaimeen, pertemuan seperti itu (KL Summit) hanya akan memecah belah umat Islam. Menurutnya, bukan kepentingan negara Islam untuk mengadakan KTT dan pertemuan di luar kerangka OKI. ‘’Dan, setiap upaya pelemahan OKI adalah pelemahan terhadap Islam dan umat Islam di dunia,’’ katanya.
OKI sendiri bermarkas di Jeddah, Arab Saudi. Sekjen OKI kini dijabat oleh Yousef al Othaimeen, seorang akademisi dan pernah menduduki berbagai jabatan tinggi di Kerajaan Saudi.
Perpecahan di kalangan anggota OKI sebenarnya sudah lama terjadi. KL Summit kini semakin mempertegas perpecahan dan adanya kubu-kubu di kalangan negara-negara Islam. Bukan rahasia lagi bahwa negara-negara seperti Iran, Qatar, dan Turki sudah lama tidak harmonis dengan Arab Saudi dan sekutunya — Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Oman, dan Mesir.
Iran telah lama tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Saudi. Sebagai akibatnya, umat Islam di Iran pun tidak bisa melaksanakan ibadah umrah maupun haji. Tuduhan yang dialamatkan ke Iran, negara ini telah membahayakan kawasan Timur Tengah, antara lain dengan mengembangkan senjata nuklir, mengintervensi beberapa negara Arab, dan mendukung kelompok-kelompok yang dianggap Saudi sebagai teroris. Kini Iran pun dianggap lebih berbahaya daripada Israel. Saudi dan sekutunya pun mendukung penuh embargo AS terhadap Iran.
Sementara itu, Qatar sejak dua setengah tahun lalu telah dikucilkan oleh Saudi dan sekutunya. Keanggotaan Qatar di Dewan Kerjasama Teluk (Majlis at Ta’awun al Khaliji) pun dibekukan. Tuduhannya, Qatar membantu pihak-pihak yang dianggap kelompok teroris dan berhubungan baik dengan Iran.
Arab Saudi dan sekutunya juga tidak suka dengan Presiden Erdogan. Yang terakhir ini dianggap banyak campur tangan terhadap negara-negara Arab, antara lain di Libia, Suriah, dan lainnya.
Kondisi di tubuh OKI itu digambarkan PM Mahathir, ‘’Kita menyebut semua muslim adalah saudara tetapi negara kita terlibat dalam perang sipil yang tak berkesudahan, perang sektarian, perang dengan negara tetangga sesama muslim, dan kita mengundang negara non-muslim untuk membantu kita dalam perang terhadap sesama muslim.’’
Dengan latar belakang seperti itu, tak mengherankan bila keputusan-keputusan OKI dari KTT yang satu ke KTT berikutnya selalu tidak nendang, tidak pernah ada kesepakatan bulat. Itu sebabnya Masjidil Aqsa dan Madinatu al Quds (Yerusalem) tidak bisa dibebaskan dari cengkeraman Israel. Padahal, pembakaran tempat suci ketiga umat Islam itulah yang menjadi pemicu terbentuknya OKI, 50 tahun lalu.
Keputusan-keputusan OKI juga gagal menjadi penekan untuk membela bangsa Palestina, umat Islam Rohingya dan Uighur, serta kezaliman-kezaliman lain yang dialami umat Muslim di berbagai belahan dunia.
Kini kondisi OKI semakin memprihatinkan dengan adanya tudingan munculnya kubu baru. Kubu baru itu, seperti ditulis Meshari al Dhaidi, kolomnis Saudi di media al Sharq al Awsat, adalah ‘Kubu Kuala Lumpur’. Kubu baru ini, seperti dituduhkan al Dhaidi, adalah untuk membentuk lembaga ‘pengganti’ dari OKI, yang terkumpul di dalamnya negara-negara non-Arab. Kalau ada negara Arab, seperti Qatar, hanyalah pendukung.
Kubu baru ini memang masih berupa OKI Kecil. Namun, kata al Dhaidi, kalau tidak waspada akan menjadi besar. OKI Kecil akan menjadi pesaing OKI Besar. OKI Kecil versus OKI Besar. OKI Besar adalah Arab Saudi dan sekutunya, OKI Kecil adalah Malaysia, Turki, Iran, Qatar, dan pendukung mereka.
Di mana Indonesia? Di antara OKI Kecil dan OKI Besar itulah Indonesia sebenarnya bisa ‘bermain’. Sudah benar Presiden Jokowi mengutus wakilnya, KH Ma’ruf Amin, untuk menghadiri KL Summit itu, meskipun pada saat-saat akhir berhalangan karena alasan kesehatan. Indonesia dikenal mempunyai hubungan baik dengan 57 negara anggota OKI.
Dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan hubungan baik dengan semua pihak, Indonesia seharusnya bisa mengambil peran lebih besar di OKI. Sehingga, OKI tidak dibilang hanya ‘Oh I See’ – plesetan dari OIC (Organisation of Islamic Cooperatioan), karena tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan umat Islam. Pada waktu yang sama, Indonesia juga bisa menjaga kekompakan di tubuh OKI.