Selasa 27 Aug 2019 06:30 WIB

Internet Papua Masih Diblokir: Maju Kena Mundur Kena?

Warga Papua hanya bisa pasrah ketika internet terus diblokir.

Anak anak papua menikmati internet
Anak anak papua menikmati internet

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

JAKARTA — ‘’Apa kitorang kalau beli sinyal harus ke Jakarta?’’ Pertanyaan ini dikatakan Ketua MUI Papua Barat, Ahmad Nausrau, Selasa pagi ini (27/8). Dia mengatakan soal ini sambil tertawa renyah melalui percakapan telepon. Terkesan ringan dan tak ada persoalan.

‘’Situasinya Papua sudah membaik. Hari kemarin masih ada demontrasi di Sorong dan kantor Gubernur Papua Barat. Hari ini belum ada kabarnya,’’ ujarnya lagi.

Bagi Ahmad Nausrau dan warga Papua, pemblokiran internet Papua ditanggapi dengan pasrah. Mereka hanya bisa berharap-harap cemas. Kepastian pembukaan blokir internet oleh pemerintak tak ada yang tahu sampai kapan. Yang mereka tahu hanya ada kabar akses internet akan dibuka ketika situasinya kondusif.

‘’Kami di MUI Papua Barat juga tidak tahu sama dengan warga lainnya. Dan pemblokiran ini merepotkam kami. Kordinasi dan acara yang sudah kami agendakan berantakan dan ditunda,’’ tegasnya.

Ahmad Nausrau yang juga salah satu putera Papua yang menamatkan studi di universitas Al Azhar Mesir tersebut menyatakan sebenarnya pemblokiran internet ini tak banyak manfaatnya. Bahan hanya membuat masalah baru yang menandakan kondisi Papua semakin ruwet. Spekulasi malah makin bermunculan.

‘’Kalau ada soal tersebar ‘hoaks’ memang iya. Tapi apakah ini akan membendung? Saya jawab tidak. Kalau muat buat hoaks untuk media sosial tinggal saja pergi  ke perbatasan dengan Papua New Geunia. Wilayah itu tak jauh dari Jayapura. Di sana sudah bebas mengakses internet,’’katanya lagi.

Malah, lanjut Nausrau, terus ditutupnya internet di Papua makin mengesankan kondisi Papua yang menakutkan dan tertutup pada akses asing. Ini akan memunculkan tanda tanya pada komunitas warga Indonesia di wilayah lain dan publik internasional.

‘’Saya pikir ini memang situasi maju kena mundur kena. Tapi saya pikir lebih baik dibuka saja, sebab malah membuat situasi tak kondusif. Rapat kami di MUI dengan pihak pemerintah bersama berbagai unsur umat beragama lainnya untuk mendinginkan situasi jadi sulit. Komunikasi tetap sulit karena internet di blokir,’’  tegas Nausrau.

Seorang warga Papua lainnya, juga bersikap senada dengan Nausrau. Dia tertawa ringan ketika ditanya apakah internet akan menyelesaikan banyak persoalan yang kini dialami warga Papua.

“Kawan-kawan Papua bahkan harus meminta kesediaan kami atas biaya menerima telepon dan SMS karena beli pulsa di sini kian sukar. Jaringan wifi broadband yang sempat bisa diandalkan sudah tak bisa dipakai akses internet sejak berapa hari lalu.,’’ katanya.

Menurutnya, pesan daring sampai hari ini juga terus dihambat. “Ini salah satu pemblokiran informasi paling sistematis dalam sejarah Indonesia. Ini merupakan fakta bila  satu lagi hak warga Papua yang direbut republik,’’ katanya lagi.

Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe juga telah berharap pembatasan akses internet di Papua segera diakhiri. Ia mengungkapkan, berbagai kalangan masyarakat, termasuk pengusaha, mengeluhkan sulitnya akses komunikasi.



"Kami harap dalam waktu dekat pemerintah sudah mulai buka kembali. Banyak keluhan. Makanya kami harap semua sisi informasi bisa dibuka,” ujar dia di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (26/8).



Kendati demikian, Lukas memahami langkah pembatasan akses internet yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga keamanan di provinsi paling timur Indonesia tersebut. Menurut Lukas, pascakisruh yang terjadi di Papua dan Papua Barat, situasi saat ini sudah berangsur normal dan aman.



Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan pembatasan akses internet di Papua dilakukan demi kepentingan bersama. Ia mengatakan, akses internet di Papua perlu dibatasi setelah ditemukan adanya 230 ribu URL atau alamat web yang memviralkan konten hoaks.

Karena itu, meskipun situasi di Papua telah kembali normal pascakisruh, pemerintah masih melakukan antisipasi dengan membatasi akses internet.

"Kalau dari sisi dunia nyata memang tidak ada demo lagi. Tapi di dunia maya ada 230.000 URL yang memviralkan hoaks. Saya ada catatannya. Lebih dari 230.000 URL. Artinya URL kanal yang digunakan,” jelas Rudiantara di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (26/8).



Berbagai konten hoaks tersebut, menurut Rudiantara, mayoritas ditemukan di jejaring media sosial, seperti Twitter. Ia berharap, pembatasan akses internet ini tak akan membuat masyarakat terhasut akibat adanya berita bohong.

Rudiantara tak bisa memastikan waktu pemulihan akses internet di Papua. Ia mengatakan, pembatasan akses internet ini dilakukan sesuai dengan aturan yang ada.

Sementara itu, kaum cendikiawan juga memprotes terus berlangsungnya pentutupan akses internet di Papua. Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai pemblokiran internet yang dilakukan pemerintah di Papua dan Papua Barat tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Ia pun meminta DPR segera memanggil pemerintah terkait pemblokiran yang sudah berlangsung sejak Rabu (21/8) lalu itu.

"Itu kan pembatasan hak asasi, ya, maka harus jelas menyebutkan kriteria dan bentuk pemblokiran yang dilakukan," ucap Bivitri kepada Republika, Senin (26/8).

Menurut Bivitri, saat ini memang belum ada landasan hukum yang bisa digunakan untuk melakukan pemblokiran internet. Ia pun menyarankan, jika pemerintah memang ingin melakukan pemblokiran, maka harus dibuat payung hukumnya terlebih dahulu. "Walaupun saya pribadi tidak setuju pemblokiran internet, tapi kedepan harus dibuat aturannya," kata dia.

Nah, dalam beberapa hari ke depan akses internet di Papua akan seperti apa? Apakah akan terus ditutup? Situasi ini bagi pemerintah di Jakarta seperti buah simalakama. Alhasil dalam situasi ini kok jadi ingat filmnya Warkop Prambros: Maju Kena Mundur Kena?

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement