Kamis 19 Jun 2025 16:08 WIB
Analisis Ekonomi

Defisit Tidak Selalu Berarti Ekspansif

Defisit lebih disebabkan karena penurunan belanja pemerintah.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani memaparkan kinerja APBN April 2025 yang surplus Rp 4,3 triliun dalam konferensi pers APBN KiTa di  Aula Juanda 1 Gedung Kemekeu Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Foto: Dian Fath Risalah/Republika
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani memaparkan kinerja APBN April 2025 yang surplus Rp 4,3 triliun dalam konferensi pers APBN KiTa di Aula Juanda 1 Gedung Kemekeu Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Oleh : Awalil Rizky, ekonom Bright Institute

REPUBLIKA.CO.ID,

Penjelasan Menteri Keuangan atas kondisi defisit anggaran dalam realisasi sampai dengan 31 Mei 2025 tampak mendua. Diklaim sebagai berhasil mengendalikan defisit hanya sebesar Rp21 triliun dan masih sesuai rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang Rp 616,2 triliun. Pada saat bersamaan dianggap masih tetap ekspansif, tearah, dan terukur.

Kinerja defisit tersebut sebenarnya lebih dikarenakan penurunan belanja yang bisa mengimbangi penurunan pendapatan. Belanja Negara mengalami kontraksi 11,26 persen, sedangkan Pendapatan Negara kontraksi sebesar 11,41 persen.

Penurunan belanja dalam kondisi pendapatan yang demikian bisa dikatakan cukup baik. Akan tetapi diklaim sebagai ekspansif dan shock absorber menjadi tampak berlebihan. Penurunan belanja itu berarti tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Terindikasi dari turunnya laju pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025.

Bahkan dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi Triwulan I-2025, konsumsi Pemerintah memberi kontribusi minus 0,08 persen poin dari pertumbuhan yang sebesar 4,87 persen. Laju pertumbuhannya secara tahunan (y-on-y) pun terkontraksi 1,38 persen. Menjadi satu-satunya komponen pengeluaran pada Produk Domestik Bruto yang kontraksi.

Cakupan konsumsi pemerintah memang tidak hanya APBN, melainkan juga lembaga negara lainnya serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bagaimanapun, porsi APBN adalah yang terbesar.

APBN memang tidak hanya menyumbang dalam konsumsi tetapi juga belanja modal. Belanja modal dijelaskan Kemenkeu telah mengalami peningkatan signifikan pada bulan Mei dibanding April 2025. Namun secara kumulatif selama 5 bulan sebenarnya masih tercatat kontraksi dibanding tahun 2024.

Hal lain yang perlu dicermati adalah soal belum adanya keputusan dan publikasi resmi tentang kebijakan efisiensi anggaran. Kontraksi belanja negara dan komponennya belum mencerminkan upaya efisiensi. Bisa dikatakan lebih karena pemblokiran atas berbagai rencana belanja, dibanding realokasi baru yang resmi.

Ketidakpastian alokasi belanja berpengaruh pada dinamika ekonomi, mengingat sebagian pelaku merupakan rekanan Pemerintah. Kondisi demikian yang justeru membayangi realisasi belanja sampai dengan 31 Mei 2025. Maka, sangat berlebihan klaim sebagai belanja ekspansif, terukur dan terarah.

 

Ekspansif Mesti Memperhitungkan Sumber Pembiayaan Utang

Meskipun defisit hanya sebesar Rp 21 triliun, namun pembiayaan utang telah mencapai Rp 349,3 triliun. Jauh lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu Rp 132,16 triliun (2024), Rp 150,39 triliun (2023), dan Rp 90,97 triliun (2022). Hampir setara dengan saat pandemi tahun 2020 yang mencapai Rp360,66 triliun.

Secara persentase dari rencana pembiayaan utang, kinerjanya merupakan 45,02 persen dari target setahun sebesar Rp775,87 triliun. Persentase paling tinggi selama kurun waktu serupa pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu: 20,4 persen (2024), 21,6 persen (2023), 9,3 persen (2022), 28 persen (2021), 35,8 persen (2020).

Dengan kata lain, Pemerintah telah berutang lebih banyak dan jauh melampaui kebutuhan untuk menutupi defisit. Dalam berbagai kesempatan, Kemenkeu menjelaskannya sebagai strategi “front loading” dan diklaim memenuhi target pembiayaan secara on-track. Alasan yang dikemukakan berupa cost of fund tetap efisien dan risiko yang terus dimitigasi.

Padahal, selama beberapa bulan terakhir tahun 2025 ini justeru biaya utang terbilang lebih tinggi dari biasanya. Yield Surat Berharga Negara nyaris selalu di atas rata-rata tingkat historisnya selama ini.

Pemerintah memaksakan berutang lebih banyak dan segera, yang bisa diartikan ekspektasi bulan-bulan mendatang akan lebih buruk. Sekurangnya, biaya utang yang mesti dibayar bertambah karena kurun waktu.

Perlu difahami bahwa pembiayaan utang yang diinformasikan merupakan nilai neto, atau setelah memperhitungkan utang pokok yang jatuh tempo. Berbagai judul pemberitaan media tampak kurang presisi dalam hal ini. Penarikan utang baru lebih besar dari pembiayaan utang, dan tidak disampaikan secara jelas besarannya oleh Kemenkeu.

Dalam penarikan utang baru, sumber terbesarnya adalah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Porsi terbesar dari SBN adalah yang berdenominasi rupiah atau dikenal pula sebagai SBN domestik. Pembeli atau pemilik SBN domestik ini berasal dari pelaku asing dan domestik.

Kepemilikan asing atas SBN Domestik yang diperdagangkan hingga akhir Mei hanya 14,56%, atau tidak jauh berbeda dari akhir Desember 2024 yang sebesar 14,52%. Kepemilikan domestik, termasuk Bank Indonesia dan bank umum adalah yang utama. Artinya, sumber pembiayaan utang pemerintah yang terbesar adalah dari dalam negeri.

Terlepas dari risiko pembiayaan yang tampak lebih rendah dibanding dimiliki mayoritas oleh asing, timbul soalan lain. Dana yang diserap oleh Pemerintah tersebut tidak bisa dipakai oleh pihak swasta untuk berinvestasi. Persoalannya apakah belanja dan pengeluaran pemerintah bisa dipastikan akan lebih efektif menggerakkan perekonomian dibanding jika dilakukan oleh swasta.

Pengeluaran Pemerintah jelas amat diperlukan, dan boleh saja sebagian dibiayai oleh utang. Namun jika telah melampaui batas tertentu dan menghambat sumber pembiayaan swasta, dikenal istilah “crowding out”. Apalagi jika ternyata pengeluaran Pemerintah itu tidak efektif, maka jelas tidak bisa diklaim sebagai APBN yang ekspansif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement