Ahad 21 Jul 2019 12:30 WIB

Captain Tsubasa, Kubo, Abe, dan Proyek Jangka Panjang Jepang

Kualitas individu Kubo dan Abe tak lepas dari upaya Jepang membangun kekuatan baru.

endro yuwanto
endro yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)

Dua klub raksasa La Liga Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, membuat rekrutan mengejutkan pada bursa transfer musim panas ini. Selain mendatangkan bintang-bintang Eropa, keduanya menggaet pemain muda Jepang.

Real Madrid menghadirkan Takefusa Kubo dari FC Tokyo dan Barcelona mendatangkan Hiroki Abe dari Kashima Antlers. Kedua gelandang belia skuat Samurai Biru itu disebut-sebut bukan sekadar pemain biasa berkat kemampuannya. Kubo mendapat julukan Messi Jepang. Pemain berusia 18 tahun itu memang merupakan didikan La Masia selama empat tahun, sebelum akhirnya kembali ke Jepang pada 2015 dan gabung FC Tokyo.

Perekrutan dua pemain itu setidaknya membuktikan bahwa sepak bola Jepang sedang menanjak, terutama mengingat makin banyak pula pemain Jepang yang berkiprah di lima liga top Eropa, yakni Bundesliga Jerman, Serie A Italia, La Liga Spanyol, Liga Primer Inggris, dan Ligue 1 Prancis. Jepang termasuk negara Benua Asia pemasok talenta di klub-klub Eropa.

photo
Takefusa Kubo

Hidetosi Nakata, yang paling gemilang. Bukan orang pertama, tapi dia salah satu yang paling berpengaruh. Ia merumput di Serie A Italia pada 1990-an hingga awal tahun 2000-an, di liga yang masa itu bisa dibilang terbaik dan banyak dimimpikan pesepak bola dari penjuru dunia. Perugia, Parma, AS Roma, Bologna, dan Fiorentina, adalah nama-nama klub yang pernah dibelanya. Termasuk tim Bolton Wenderes asal Inggris, sebelum Nakata memutuskan gantung sepatu.

Gelandang Negeri Sakura itu tak sendiri. Puluhan lebih pemain Jepang lain mengikuti merumput di klub-klub Eropa. Sebut saja, Takayuki Moprimoto (Catania-Italia), Shunsuke Nakamura (Espanyol-Spanyol, dan Reggina-Italia), Yuki Abe (Leicester City-Inggris), dan Ryo Miyaichi (Arsenal-Inggris). Tak ketinggalan, pemain kawakan Keisuke Honda yang pernah merumput di AC Milan.

Gelombang pemain baru Jepang di kompetisi Eropa bukan kebetulan, melainkan buah dari strategi rumit yang diterapkan Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA) menjelang akhir 1990-an. Sebagai hasil dari ini semua, Jepang berharap bisa membangun tim yang mampu memenangi Piala Dunia pada 2050 dan menciptakan sebuah liga domestik untuk menghasilkan tim yang mampu bersaing dengan liga-liga Eropa pada 2030. Setiap klub peserta J1 League (kasta tertinggi Liga Jepang) diwajibkan membangun akademi sepak bola masing-masing dan memiliki minimal dua tim usia muda.

Pengembangan pemain muda di Jepang sebenarnya sudah bermula pada dekade 1980-an. Ketika itu, lewat anime dan manga Captain Tsubasa karya Yoichi Takahashi, demam sepak bola sudah mulai diperkenalkan. Namun, sampai pada titik itu, belum ada langkah konkret untuk mengubah ambisi menjadi prestasi. Langkah konkret itu sendiri baru dimulai pada awal 1990-an.

Captain Tsubasa, serial kartun yang sudah beredar sejak tahun 1981 lewat majalah populer Shonen Manga Weekly Shonen Jump, menceritakan perjalanan karier seorang anak bernama Tsubasa Ozora. Dari pemain antar SD sampai membela timnas Jepang dan bergabung dengan tim Catalonia, klub Barcelona versi Captain Tsubasa. Sementara rival sejak SD Tsubasa, Kojiro Hyuga, memilih merumput di tim Italia, yang mirip klub Juventus.

Dalam beberapa tahun lamanya, sepak bola adalah olahraga langka di Negara Sakura beda dengan sumo atau bisbol. Tak banyak orang yang memahami bahkan mencintai si kulit bundar. Untuk menjumpai orang Jepang yang menyukai bisbol sangatlah mudah ketika itu. Namun, pamor bisbol lama-kelamaan dapat disaingi sepak bola berkat kemunculan komik CaptainTsubasa.

Komik Captain Tsubasa telah diterbitkan dalam beberapa seri seperti pada 1981-1988, 1994-1997, 2001-2004, dan 2010-2012. Sampai seri terbarunya pada 2018 lalu. Setelah seri pertama selesai terbit, JFA serius mengembangkan bakat-bakat pemain muda mulai dari SD hingga SMA. Dengan membentuk kompetisi yang mulai dibenahi secara detail dan dibuat meriah, seperti tergambarkan pada serialnya.

Prestasi Jepang dalam dunia sepak bola kala itu memang belum terlalu mengesankan. Sampai pada 1988, Jepang adalah anak bawang di dunia sepak bola. Sebelumnya, jangankan lolos ke Piala Dunia, masuk putaran final Piala Asia saja, Jepang belum pernah merasakan. Memang betul bahwa skuat Sakura pernah meraih medali perunggu di Olimpiade 1968, tetapi prestasi apik itu sama sekali tak mampu mengangkat kualitas persepakbolaan Jepang secara holistik.

Upaya yang sedemikian rupa itu memang belum cukup. Liga sepak bola di Jepang saat itu memang sudah ada dengan nama Japanese Football League (JFL).

Kompetisi itu digelar sejak 1965 dan digelar secara semiprofesional. Saat itu, semua klub di Jepang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya pun berstatus sebagai karyawan dari perusahaan pemilik klub. Pada 1988, Ricky Yakobi jadi pemain sepak bola Indonesia pertama yang merumput di Jepang bersama klub Matsushita. Kala itu, prestasi legenda striker Indonesia itu jadi sebuah kebanggaan.

Bagi para pengurus sepak bola Jepang, situasi klub di Jepang yang dimiliki oleh perusahaan dan para pemainnya berstatus sebagai karyawan perusahaan, tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, JFA mulai berbenah dan pembenahan itu dimulai dengan mengonsep segalanya dari awal. Akhirnya, sistem kompetisi yang tak menarik itu diubah. Dari yang awalnya perusahaan, basis klub-klub Jepang diubah menjadi kota, persis seperti di Eropa.

Untuk mewujudkan itu, pihak JFL membentuk sebuah komite khusus bernama Komite Revitalisasi. Para anggota komite ini bertugas untuk melakukan riset sedemikian rupa untuk mendongkrak animo masyarakat. Klub yang dulu dibela Ricky Yacobi kini juga sudah berganti nama menjadi Gamba Osaka.

Hasil akhirnya adalah pembentukan J-League pada 1991. Di J-League, kompetisi yang awalnya bersifat semiprofesional diubah menjadi profesional. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya berstatus sebagai pemilik klub diubah fungsinya menjadi sponsor utama. Dana memang tetap mengalir dari korporasi-korporasi itu, tetapi alurnya yang diubah.

Akhirnya, J-League pun dipentaskan untuk pertama kali pada 1993. Pada saat itu, dengan dukungan dana yang melimpah, klub-klub Jepang bisa mendatangkan bintang-bintang besar semacam Zico, Gary Lineker, dan Dragan Stojkovic. Warga Jepang yang tadinya tidak peduli dengan sepak bola dibangkitkan oleh rasa penasaran. Stadion-stadion pun kemudian mulai penuh. Episode sepak bola profesional yang sesungguhnya pun berjalan.

Beriringan dengan pembentukan liga sepak bola baru, JFA juga menelurkan 'Rencana 100 Tahun'. Rencana ini tidak main-main. Dalam 100 tahun, Jepang berniat untuk menjadi negara sepak bola terhebat di dunia. Yang menarik, rencana ini pun pada akhirnya tidak jadi pepesan kosong.

Jepang sadar bahwa sepak bola dimulai dari masa kanak-kanak. Untuk itu, Negeri Matahari Terbit ini kemudian menyusun program yang diterapkan di sekolah-sekolah. Persis seperti di serial Captain Tsubasa, sekolah-sekolah ini kemudian menjadi fondasi pengembangan sepak bola Jepang.

photo
Timnas Jepang

Pada akhirnya, segala upaya Jepang itu mulai menunjukkan hasilnya. Buahnya tentu saja bermuara ke pencapaian timnas Jepang. Sejak 1998, Jepang tak pernah absen berlaga di Piala Dunia, dengan capaian terakhirnya di edisi 2018 adalah menjejak babak 16 besar, sebelum dihentikan Belgia. Prestasi ini mengulang pencapaian Jepang pada Piala Dunia 2002 yang lolos babak 16 besar.

Jepang juga meraup pretasi luar biasa dengan merengkuh juara Piala Asia empat kali pada 1992, 2000, 2004, dan 2011. Pada edisi Piala Asia terakhir 2019 lalu, Jepang menjadi runner-up setelah di final kalah 1-3 dari Qatar. Terlepas dari itu, Jepang masih menjadi pengoleksi gelar terbanyak Piala Asia.

Kembali ke Kubo dan Abe. Kualitas individu Kubo dan Abe itu tak lepas dari upaya Jepang membangun kekuatan baru di sepak bola dunia.

Negara Asia Timur tersebut masih menjalankan proyek mercusuar guna menaklukkan sepak bola dunia. Tujuan yang hendak dicapai adalah menciptakan liga sepak bola yang mampu bersaing dengan liga top Eropa pada 2030 dan tentu saja menjuarai Piala Dunia 2050.

Target itu bukan isapan jempol. Pada April 2019 lalu, Presiden J-League Mitsuru Murai memaparkan proyek ambisius Jepang di World Football Summit Asia, di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebuah langkah panjang namun bukan mustahil, seperti kisah Captain Tsubasa yang sudah hadir sejak 30 tahun silam.

*) Wartawan Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement