Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Jawa dan Islam memang terjadi persinggungan unik. Tak jelas apa sebab utamanya mengapa penduduk Jawa yang mayoritas Hindu dan Budha bisa beralih menjadi Muslim, terutama semakin marak semenjak era akhir Majapahit pada tahun 1300 M.
Dalam hal itu, tak aneh bila ada sejarawan asing yang ketus menyebut berpindahnya agama orang Jawa, terutama para Raja Jawa sifatnya politik atau untuk kepentingan oportunis kekuasaan. Mereka hanya pindah dengan tujuan awalnya sebenarnya untuk kepentingan kekuasaan.
Tapi apa pun itu, faktanya orang Jawa sudah kini telah kian banya merasuk menjadi Muslim. Sejarawan Australia, Ricklefs, menulis dalam bukunya tentang Mengislamkan Jawa bahkan sempat menyimpulkan bila Jawa masa kini sudah semakin Islam dan sangat susah untuk kembali mundur ke belakang. Dengan kata lain, orang Jawa 'abangan' kian menipis semuanya berubah drastis mulai dari fenomena meluasnya penggunaan jilbab, tersebarnya pengajian di pelosok Jawa, hingga munculnya fenomena gerakan Islam yang digagas Abu Bakar Baasyir, dan hal lain yang identik.
Lalu apa hubungannya masjid, sholat Jumat, dan politik kekuasaan di kerajaan Jawa itu. Jejaknya sangat mudah terlihat misalnya pada kisah Raja Mataram Sunan Pakubuwono IV hingga para leluhur raja Jawa lainnya. Semua ternyata anak-anak santri bahkan banyak sekali punya leluhur orang Pesantren. Salah satu contoh lainnya ada pada sosok Sultan Hamengku Buwono I (pendiri kerajaan Mataram Yogyakarta yang jelas anak keturunan seorang ulama).
Khusus untuk Sunan Paku Buwono IV malah harus diberi catatan khusus. Dia dikenal sebagai 'Raja yang santri'. Tak hanya punya kebolehan memahami ajaran Islam, dia juga mengajarkannya langsung dalam tata kehidupan sehari-hari. Setiap Jumat di selalu memberi khutbah atau pada hari biasa dia lazim memberi pengajian.
Paku Buwono IV
Tak hanya itu, Sunan Paku Buwono IV suka puasa tak hanya pada bulan Ramadhan, melainkan juga melaksanakan puasa Senin-Kamis. Dalam sehari-hari dia memakai pakaian khas Arab yakni jubah dan turban. Bahkan, ketika dia menulis Sunan Paku Buwono IV ini menghasilkan 'serat Wulang Reh' yang berisi ajaran Islam. Bagi warga kerajaan, Sunan Pakubowoni IV ini kerap disebut sebagai 'Sinuhun wali'. Bahkan sosok raja ini sudah menjadi hikayat dengan adanya kisah menjelang sholat Maghrib dia selalu saja di Makkah, yakni selain utuk sholat Maghrib dia bertugas menyalakan lampu di Masjidil Haram saat itu.
Pengaruh Islam saat itu di Kraton Jawa Mataram yang kemudian pecah menjadi dua, kemudian malah pecah tiga, memang sangat kental. Masjid kala itu menjadi pusat pergerakan. Ini misalnya, saat kerajaan ini berkonflik dengan Belanda, selebaran seruan 'jihad' dari 'Syarif Makkah' tersebar di berbagai masjid yang ada di sana. Kepedulian mereka terhadap hubungan Islam dan politik terus diturunkan kepada generasi berikutnya (meski tidak semua).
Contoh yang sama terjadi pada sosok Paku Buwon X yang menjadi penyokong utama Sarekat Islam. Juga di Yogyakarta, berkat Sultan Hamengku Buwono ke VIII, seorang anak penghulu kraton bernama Mohammad Darwis bisa menuntut ilmu ke Makkah. Dan semua tahu, anak penghulu Kraton inilah yang kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Sosok Darwis itulah yang kemudian berganti nama menjadi KH Ahmad Dahlan.