REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema
Akhir-akhir ini perkembangan politik mengarah pada saling klaim siapa yang paling pro umat, siapa yang paling Islam, atau siapa yang paling banyak mendapat dukungan habaib dan kiai. Buzzer pendukung kedua belah pihak saling berbantahan di media sosial dan grup WA.
Bahkan masjid dan majelis pun diramaikan oleh khutbah yang bernuansa kampanye. Bahkan khatib shalat Jumat tidak jarang diteriaki oleh jamaah untuk turun karena isi ceramah terlampau panas dan malahan penuh dengan fitnah.
Buat saya sebagai ekonom, perkembangan ini terasa sangat menggelikan dan mengingatkan saya pada suatu teori ekonomi tentang the market for lemon. Teori ini merupakan karya dari George Akerlof yang menyebabkan dirinya menjadi peraih Nobel bidang ekonomi.
Saya tidak akan membahas teori tersebut dengan detail agar pembaca tidak bingung. Lemon adalah istilah bagi mobil bekas yang kerusakannya hanya bisa diketahui setelah mobil itu dibeli. Si pembeli menjadi menyesal telah membeli mobil itu karena tertipu.
Itu akibat si penjual menyembunyikan kerusakan pada mobil dan malahan memoles mobil itu seolah-olah seperti mobil yang sempurna. Terjadilah asimetri informasi, penjual secara sengaja memberi informasi yang salah mengenai kualitas mobil. Ternyata mobil itu adalah lemon.
Sound familiar? Ya, itulah yang terjadi dalam pilpres sekarang ini. Tiba-tiba ada cawapres yang dinisbahkan sebagai ulama oleh salah satu politisi senior. Padahal, kenyataannya jauh panggang dari api. Tiba-tiba beredar buletin Jumat yang mendaulat salah satu capres mirip dengan Umar bin Khattab hanya karena tampilannya kelihatan tegas.
Beredar pula video para ustaz yang menyebarkan fitnah. Saling fitnah seolah merupakan hal yang enteng saja. Para ustaz tersebut tentunya tahu hukuman berat juru fitnah di akhirat nanti. Apakah mereka tidak sadar bahwa mereka sedang terlibat fitnah?
Hanya ada dua kemungkinan yang bisa menerangkan kenapa para ustad terlibat fitnah secara beringas. Kemungkinan pertama adalah mereka betul-betul tidak tahu bahwa mereka sedang ikut serta dalam menyebarkan kebohongan dan fitnah. Mereka telah digarap oleh pihak-pihak tertentu untuk menjadi corong politik yang diikuti jamaah. Mereka buta politik, tapi aktif dalam meramaikan politik.
Kemungkinan yang kedua adalah mereka sengaja mengumbar fitnah dan kebohongan sepenuhnya secara sadar. Dengan kata lain, dalil agama hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kemenangan politik saja. Kalau begini, mereka mirip dengan penjual lemon.
Yang paling kasihan tentunya adalah pemilih yang mendapat informasi yang salah mengenai capres dan cawapres. Akibatnya mereka bisa salah pilih dan akhirnya menyesal. Pilihannya tidak seperti yang dipersepsikan oleh juru bohong. Lalu apa yang harus dilakukan pemilih agar tidak salah pilih?
Ekonom sejak awal sudah memberikan solusi praktis untuk mengatasi masalah lemon ini. Penjual diwajibkan memeriksakan kendaraannya di bengkel resmi. Dari bengkel tersebut keluar sertifikat yang menerangkan kualitas dari kendaraan.
Artinya ada indikator yang bisa menjadi rujukan bagi calon pembeli. Dengan indikator tersebut, calon pembeli bisa membandingkan mana yang lebih baik.
Begitupun dengan politik identitas yang memanas akhir-akhir ini. Kalau yang dijadikan pertimbangan pemilih adalah faktor agama maka harus ada alat ukur tentang kualitas keagamaan masing-masing calon. Tinggal kita sepakati saja daftar indikatornya. Sederhana bukan?
Akhir-akhir ini ada sekelompok dai Aceh yang menggagas test baca Quran bagi capres-cawapres. Itu didasarkan best practice di Aceh yang mewajibkan caleg dan calon kepala daerah bisa baca Quran. Tentunya test baca Alquran saja tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengukur kualitas keislaman seseorang.
Diperlukan beberapa indikator lain untuk menjelaskan kualitas calon pemimpin kita. Ada teman yang usul jumlah hafalan surat dari juz yang terakhir. Ada pula yang usul sejauh mana pemahaman tentang kepemimpinan Islam yang ideal. Pembaca boleh usul juga. Namun, yang paling penting adalah indikator itu harus kita sepakati bersama.
Terakhir, kalau kita sepakati beberapa indikator yang mengukur kualitas keislaman pemimpin maka kita tidak harus berbantah-bantahan tentang siapa yang paling kental Islamnya. Hal itu juga akan membuat pemilih mendapatkan informasi yang akurat sehingga tidak dikelabui oleh informasi yang menyesatkan.
Kalau masalah ini sudah selesai maka kita tinggal mempertimbangkan aspek lainnya seperti kompetensi, gaya kepemimpinan, keberpihakan, dan lain sebagainya. Mudah bukan?