Sabtu 24 Nov 2018 21:14 WIB

Tahun Suram Sepak Bola Indonesia dan Tagar 'Kosongkan GBK'

Tagar 'Kosongkan GBK' merebak di media sosial untuk tidak menonton Timnas Senior

Israr Itah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Israr Itah*

Tahun 2018 menjadi masa yang menyakitkan bagi pendukung timnas Indonesia. Tiga timnas dari berbagai level usia gagal mencapai target yang didambakan. Timnas U-23 terhenti pada babak 16 besar saat pemerintah dan PSSI menargetkan posisi empat besar.

Timnas U-16 sempat menghapus dahaga gelar dengan juara Piala AFF U-16. Akan tetapi, tim asuhan Fakhry Husaini kemudian gagal di level lebih tinggi, Piala AFC U-16. Timnas dihentikan Australia di perempat final, padahal hanya butuh satu kemenangan lagi untuk mencapai target sebagai semifinalis agar bisa berlaga di Piala Dunia U-17 tahun depan.

Hal serupa terjadi pada timnas U-19. Tim asuhan Indra Sjafri juga terhenti di delapan besar oleh Jepang. Padahal andai menang, Witan Sulaeman dkk bisa berlaga di Piala Dunia U-20 tahun depan.

Klimaks kegagalan terjadi di Piala AFF 2018. Timnas senior yang ditargetkan juara justru harus tersingkir saat penyisihan grup masih menyisakan satu laga.

Bila dilihat, respons fan sepak bola Indonesia atas empat kegagalan tersebut sangat jauh berbeda. Timnas U-23 mendapatkan apresiasi positif karena menunjukkan perjuangan keras tak kenal menyerah sebelum akhirnya kalah 3-4 dari Uni Emirat Arab lewat adu penalti.

Stadion Wibawa Mukti, Cikarang penuh dalam laga tersebut. Applaus diberikan kepada para pemain U-23 plus tiga pemain senior yang dianggap sudah mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Pelatih Luis Milla Aspas pun mendapatkan apresiasi karena dianggap berhasil membentuk timnas yang berkarakter.

Respons serupa juga tertuju pada timnas U-16. Setelah sepanjang babak penyisihan bermain atraktif, timnas U-16 harus mengakui keunggulan Australia 2-3 pada babak delapan besar. Tapi Amirudin Bagus Kahfi dkk juga dianggap sudah menunjukkan perjuangan maksimal. Australia yang unggul dalam organisasi permainan dan postur tubuh dibuat bertahan pada menit-menit akhir untuk membendung serangan timnas U-16 yang bergelombang.

Apresiasi yang hampir sama juga ditunjukkan oleh timnas U-19. Mayoritas memaklumi kegagalan Witan dkk mengatasi Jepang yang tampil dominan. Apalagi dalam beberapa aspek, Jepang juga terlihat menaruh respek kepada timnas U-19 dengan strategi yang mereka terapkan saat menang 2-0.

Namun sikap berbeda tertuju kepada timnas senior yang tampil di Piala AFF 2018. Kritikan sudah mulai muncul bahkan sebelum turnamen dimulai. Sebagian kritik kemudian berubah menjadi hujatan saat timnas senior, yang diperkuat mayoritas pemain timnas U-23, dikalahkan Singapura 0-1.

Tagar 'Kosongkan GBK' merebak di media sosial yang mengajak penggemar timnas sepak bola Indonesia untuk tidak menyaksikan langsung aksi Andik Vermansah dkk melawan Timor Leste di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Selasa (13/11) lalu. Ajakan itu semakin menguat dalam beberapa hari terakhir jelang laga tim Merah Putih kontra Filipina di tempat yang sama, Ahad (25/11). Mereka yang menyebarkan tagar ini tak sekadar menyoal permainan timnas senior yang menyedihkan, melainkan PSSI dalam lingkup yang lebih besar. Sebab, buruknya performa timnas berawal dari langkah yang dibuat PSSI.

PSSI membuat kejutan dengan tidak memperpanjang kontrak Luis Milla Aspas dan mengangkat Bima Sakti sebagai pelatih kepala. Padahal Bima tak punya rekam jejak cukup di level klub untuk langsung menangani timnas. Ia hanya bermodal sebagai asisten Luis Milla. PSSI yang sebelumnya bisa memanfaatkan dana pemerintah untuk persiapan pelatnas Asian Games 2018 kepayahan membayar gaji mahal Luis Milla selepas multi event tersebut. Dilepasnya Luis Milla membuat PSSI diberondong kritikan pedas, yang berlanjut dengan keputusan mengangkat Bima Sakti sebagai pelatih kepala.

Saya menilai keputusan tersebut mungkin yang terbaik saat itu. Sebab dengan penyelenggaraan turnamen yang mepet, sulit menunjuk pelatih baru dalam waktu singkat. Apalagi pelatih-pelatih top Tanah Air sudah berkomitmen penuh dengan klub yang mereka latih. Bima diharapkan bisa meneruskan kerangka permainan yang sudah diciptakan oleh Luis Milla.

Nyatanya, Bima belum mampu. Sebab, ia tak didukung kebijakan penting PSSI untuk menghentikan kompetisi Liga 1. Alhasil para pemain yang bergabung dalam kondisi tak maksimal. Mayoritas mereka kelelahan karena sebelumnya bermain di Asian Games 2018, berlanjut membela klub di liga, dan kemudian tampil di Piala AFF. Sulit mengatur periodisasi atlet jika terus menerus berlaga seperti pemain timnas kita.

Efeknya bisa terlihat pada laga lawan Singapura. Bima seperti tak punya solusi taktis dan kontra strategi dari pelatih Fandi Ahmad yang menutup sayap tim Garuda dengan cermat. Sementara para pemain terlihat individualis dan tak mampu menahan emosi.

Permainan timnas sedikit membaik saat menang 3-1 atas Timor Leste, namun tetap mengkhawatirkan. Terbukti kemudian timnas senior kalah 2-4 dari Thailand pada laga krusial yang akhirnya membuat Indonesia tersingkir. Kemarahan para penggemar pun menyeruak, utamanya kepada Edy Rahmayadi yang menjadi Ketua Umum PSSI. Edy diminta mundur karena tak mampu mengatur organisasi dengan baik untuk menghadirkan prestasi. Bumbu isu pengaturan skor di Liga 1 dan 2 makin membuat kusut situasi.

Fan timnas Indonesia selama ini dikenal militan. Mereka tak sekadar glory hunter, yang hanya mau mendukung saat timnas menang. Benar, di saat skuat Garuda tampil bagus dan memetik kemenangan demi kemenangan, dukungan melimpah akan mengalir. Tapi andai tak menang sekalipun, sokongan kepada para pejuang di lapangan hijau itu tetap besar bila timnas menunjukkan perjuangan tak kenal menyerah.

Saat kesalahan yang dilakukan PSSI kembali berulang, wajar ada respons negatif yang juga makin membesar. Menarik dilihat apakah GBK benar-benar kosong pada Ahad (25/11) malam. Andai benar-benar kosong, semoga itu bisa menjadi tamparan keras atau shock therapy bagi para pengurus dan Exco PSSI untuk serius mengurusi olahraga paling populer se-Tanah Air ini.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement