REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Penolakan terhadap kedatangan relawan #2019GantiPresiden, Neno Warisman, di Batam memunculkan beragam reaksi. Sebagian warga menyesalkan insiden tersebut, sebagian lain menganggap itu imbalan setimpal bagi Neno.
Mereka yang kontra dengan gerakan politik yang Neno gulirkan mengatakan, tertahannya Neno selama empat jam di bandara Hang Nadim membuat artis lawas itu bisa merasakan posisi ibu berkaus #DiaSibukKerja saat diolok-olok massa berkaus #2019Ganti Presiden saat Car Free Day di Jakarta, akhir April (29/4) silam. Tak berhenti di situ, warganet dari kelompok pendukung petahana mencoba mengulik ingatan jauh ke belakang, kembali ke masa puncak panasnya hubungan antarpendukung kontestan pilkada Jakarta 2017.
Sebetulnya, tak adil jika memukul rata kesan terhadap kedua kubu. Seolah-olah, masyarakat pasti memiliki kesamaan pandangan terhadap kasus Neno, sesuai dengan afiliasinya masing-masing. Begitu juga sebaliknya dengan kejadian lain di kubu yang berbeda.
Saya yakin, tak semua pendukung pencalonan kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pilpres 2019 menganggap peristiwa yang melanda Neno patut terjadi. Demikian juga sebaliknya, tidak seluruh pendukung oposisi menjustifikasi hal-hal buruk yang pernah dialami saudara se-Tanah Air terkait preferensi politiknya.
Akan tetapi, persoalan menjadi semakin pelik saat orang dengan begitu mudahnya menarik kesimpulan atas suatu berita. Kesimpulan ditarik berdasarkan kemauannya, bukan berlandaskan fakta. Ketika berita itu disebar dan dikonsumsi orang banyak, panasnya pun semakin menyengat. Apalagi, verifikasi atas informasi memang belum membudaya di masyarakat.
Bukan hal yang mudah untuk menghilangkan sekat yang telah kokoh memisahkan selama beberapa tahun terakhir. Terlebih, provokator di jagat nyata dan maya ulet sekali mengipas-ngipasi.
Upaya untuk membuat masyarakat kembali berbaur sebetulnya telah digulirkan berbagai pihak, termasuk perorangan, kelompok masyarakat, ulama, dan pemerintah. Sikap GNPF Ulama atau Persaudaraan Alumni 212 terhadap menyeberangnya Kapitra Ampera yang dikenal sebagai pengacara inisiator gerakan 212, Habib Rizieq Shihab, ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan dukungan Tuan Guru Bajang Tengku Zainul Majdi untuk Jokowi sebetulnya bisa menjadi contoh positif cara merespons perbedaan pandangan politik.
PA 212 menyatakan aksi 212 adalah gerakan untuk menuntut keadilan atas pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukan gerakan untuk memusuhi Jokowi ataupun PDIP. PA 212 tetap menghormati hak politik setiap warga negara. Ulama yang tergabung di dalamnya pun tetap menganggap Kapitra dan Tuan Guru Bajang sebagai kawan.
Sementara itu, Jokowi pun telah memberi sinyal untuk membuat pesta demokrasi 2019 nanti jauh dari kesan ajang gontok-gontokan. Ketika menjamu partai-partai koalisinya di Istana Bogor, Selasa (31/7), Jokowi dan sekretaris jenderal sembilan parpol tampil kasual. Jokowi mengajak semua mengendurkan urat syaraf, lebih santai menghadapi pilpres, namun tetap berpikir strategis.
Kepada masyarakat luas, Jokowi mungkin hendak berkata, “Saya yang sedang mempertaruhkan posisi RI1 saja santai menjelang pilpres, kok Anda yang tegang?”
Sementara itu, menjelang peringatan 73 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Majelis Dzikir Hubbul Wathan kembali menggelar Dzikir Kebangsaan pada Rabu (1/8). Kegiatan yang merangkul ribuan ulama dan habaib dari berbagai penjuru Tanah Air ini sudah dua kali digelar di Istana Merdeka, Jakarta. Majelis ini memanjatkan harapan akan terpilihnya pemimpin yang amanah, yang bisa membuat rakyat menjadi sejahtera, dan mengundang berkah bagi negeri.
Terlepas dari tudingan miring yang akan selalu ada di setiap kebaikan yang coba diupayakan, saya pikir esensi pilpres ada di tema Dzikir Kebangsaan tersebut, yakni “Amanah Pemimpinnya, Sejahtera Rakyatnya, dan Berkah Negerinya”. Siapapun yang nanti terpilih, yang penting pemimpin negara ini tak mengkhianati amanah, menyejahterakan rakyat, dan semua yang dilakukannya membuat Tuhan rela memberkahi negeri ini.
Menyongsong pendaftaran pasangan capres dan cawapres yang akan bersaing di pemilu 2019, mari jauhi prasangka. Berilah dukungan dengan objektif dan proporsional. Mari rajut kembali persatuan. Indonesia butuh rakyatnya bersatu untuk mengatasi banyak persoalan. Kitorang basudara kan, bro!
*Penulis adalah redaktur republika.co.id