Kamis 25 Jan 2018 19:40 WIB

Adakah Sebuah Kewajiban Asasi Manusia?

Hukum Islam selalu memberikan hak dan kewajiban secara bergandengan.

Fajri Matahati Muhammadin
Foto: dokpri
Fajri Matahati Muhammadin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin*

Ketika memulai berkuliah di fakultas hukum, salah satu bab awal dari mata kuliah pengantar ilmu hukum adalah tentang subjek hukum. Istilah ‘subjek hukum’ ini oleh Prof Sudikno Mertokusumo didefinisikan sebagai “Segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.”

Semenjak saat itu, dalam mempelajari dasar-dasar hukum, mahasiswa program studi ilmu hukum selalu mempelajari bahwa hak dan kewajiban seringkali datang secara bersamaan dan bersifat sejajar. Misalnya dalam hukum perjanjian dipelajari bahwa esensi dari sebuah perjanjian adalah pertukaran hak dan kewajiban antara para pihaknya. Ada juga yang menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat dan pemerintah adalah ketika masyarakat wajib menaati hukum dan ia berhak atas perlindungan oleh pemerintah, sedangkan pemerintah wajib melindungi masyarakatnya dan berhak untuk ditaati.

Karena perlunya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam fondasi hukum yang mengatur tentang mannusia ini, jika ada ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban biasanya jadi soalan. Misalnya dalam hukum ketenagakerjaan, ketika ada ketimpangan antara hak dan kewajiban pekerja dan pemberi kerja. Contoh-contoh ini akan semakin banyak, karena secara fundamental ketika bicara tentang manusia kita pasti akan berbicara tentang hak dan kewajiban secara sejajar dan seimbang.

Ketika kita berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Pasal 28J UUD 1945 yang berada di bawah Bab XA: Hak Asasi Manusia, ternyata tercantum kewajiban juga. Intinya adalah kewajiban menghargai HAM orang lain dan tunduk pada hukum. Apakah berarti ada sebuah ‘Kewajiban Asasi Manusia’? Prof Jimly Asshiddiqie dalam beberapa tulisannya menggunakan term ‘kewajiban asasi manusia’. Akan tetapi, ternyata UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 1(2) menggunakan istilah lain untuk hal ini yaitu ‘kewajiban dasar’.

Mengapa UU HAM tidak menggunakan istilah ‘kewajiban asasi manusia’, ketika UU tersebut berbicara tentang ‘hak asasi manusia’ dan mengatur sebuah kewajiban di bawah Bab HAM UUD 1945? Jelas ini pemilihan kata yang sengaja, dan diamnya Lembar Penjelasan UU HAM tentu membuat rasa penasaran ini digantung.

Rasa penasaran semakin digoda ketika melihat bahwa konsep ‘kewajiban dasar’ ini, kalau dipikir-pikir, tampaknya hanya sekedar penunjang HAM saja. Sederhananya, dalam UU HAM, posisi ‘kewajiban dasar’ hanyalah hanya memastikan bahwa HAM terlaksana. Akhirnya HAM adalah bersifat hak yang pada dasarnya adalah mutlak, barulah nanti ada pengecualiannya yaitu sederhananya ketika menyinggung HAM orang lain –baik individu atau masyarakat secara kolektif.

Apakah ini berarti tidak ada sebuah kewajiban yang sama asasinya dengan hak? Misalnya, apakah kita hanya memiliki kebebasan berpendapat saja tanpa kewajiban untuk berpendapat dengan baik? Lalu, baru dilarang ketika pendapat kita merugikan orang lain –walaupun pendapat tersebut memiliki hujjah (argumentasi-Red)? Apakah mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan diri sendiri dan umat manusia (Pasal 28C) hanya diposisikan sebagai HAM saja, dan tidak sebagai kewajiban? Tampaknya iya.

Dan, ternyata pembatasan-pembatasan dilakukan melalui UU, yang isinya harus tidak bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 yang sudah memaparkan apa saja HAM, sedangkan untuk kewajiban-kewajiban tidak ada enumerasinya yang bersifat asasi. Tapi, setidaknya, UUD 1945 sudah memberikan beberapa kewajiban yang bersifat konstitusional walaupun bukan di bawah Bab Hak Asasi, yaitu antara lain kewajiban untuk berperan dalam bela negara (Pasal 28) dan menempuh Pendidikan dasar (Pasal 31 ayat 2). Barangkali ini bisa jadi bahan untuk didiskusikan dan diteliti lebih lanjut.

Dalam sejarah hukum internasional, bahkan sampai sebelum Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), manusia secara umum tidak dikenal memiliki personalitas hukum internasional (kemampuan mengemban hak dan kewajiban menurut hukum internasional). Barangkali hanya sebagian kecil kasus saja yang mengakui, misalnya pada hak imunitas utusan negara dan ini pun karena mereka mewakili personalitas negara yang diutusnya. Barulah Piagam PBB dibuat pada tahun 1945 menyebut adanya Hak Asasi Manusia yang pertama dijabarkan pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, secara tegas individu manusia lebihi diakui sebagai subjek hukum internasional.

Setelah Deklarasi Universal tadi, lahir sekian banyak konvensi internasional yang mengatur tentang HAM. Mulai dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), Convention on the Rights of the Child (CRC), dan lain sebagainya. Akan tetapi, hukum internasional tidak mengenal satupun kewajiban menurut hukum internasional yang bersifat asasi dan sejajar dengan HAM tadi. Yang ada hanyalah kewajiban umum untuk menghargai HAM orang lain saja. Maknanya, sekali lagi semua kembali ke HAM lagi sebagai sesuatu yang bersifat asasi pada manusia.

Memang merupakan sebuah kenyataan historis bahwa timbulnya isu perlindungan terhadap HAM adalah pasca-dua perang dunia yang menyaksikan kesadisan yang luar biasa terhadap manusia. Sangat manusiawi pula ketika responsnya adalah perlindungan terhadap apa yang dianggap menjadi hak seorang manusia yang tidak boleh diambil, sebab itu adalah hak seorang manusia secara alamiah dan melekat ‘dari sononya’ hanya karena ia adalah seorang manusia.

Tentu banyak diskursus mengenai apa yang bersifat ‘alamiah dan melekat dari sononya’ pada manusia. Hal tersebut tentu sangat tergantung pada worldview kita tentang ‘siapakah manusia itu’. Akan tetapi, kita perlu merenung. Ketika pada fondasi dasar pembahasan ilmu hukum kita selalu membahas tentang keseimbangan hak dan kewajiban, apakah memang tidak ada sebuah kewajiban pada seorang manusia yang alamiah dan melekat ‘dari sononya’ hanya karena ia seorang manusia?

Seorang environmentalist akan melihat bahwa manusia adalah bagian integral dari lingkungan, sehingga merawat dan menjaga alam pastilah merupakan kewajiban yang bersifat sama asasinya dengan hak untuk menikmati hasil dari alam. Seorang ilmuwan yang amanah akan melihat manusia sebagai makhluk yang berkembang sejalan antara pengetahuan dan kontribusinya, sehingga hak untuk menuntut ilmu akan melahirkan kewajiban mengamalkan ilmu yang sama asasinya. Seorang beragama dan Pancasilais akan melihat bahwa manusia adalah ciptaan Allah, sehingga menjalankan agama bukan hanya hak melainkan juga kewajiban yang sama asasinya.

Mungkin, pada akhirnya, kita pun harus merenung. Pada akhirnya, ternyata memang penelusuran terhadap hukum yang ada (Indonesia dan Internasional) tampaknya menunjukkan bahwa tidak ada yang namanya Kewajiban Asasi Manusia. Pertanyaannya: apakah memang seharusnya seperti ini?

Post Scriptum

Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat berfatwa mengenai HAM pada MUNAS VI tahun 2000 lalu, bukan hanya menetapkan mengakui HAM internasional secara umum selama tidak bertentangan dengan Islam. MUI juga menyayangkan penekanan HAM yang terlalu condong pada hak dan melupakan kewajiban, serta mendorong pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Nyatanya, memang Hukum Islam selalu memberikan hak dan kewajiban secara bergandengan. Contohnya antara lain:

Manusia berhak mendapatkan rezeki (dijamin), dan diwajibkan berbagi rejeki (bukan cuma cuma dilarang menghalangi rejeki orang lain). Manusia berhak dijaga nyawanya tapi juga ada kalanya ia wajib menyabung nyawanya dalam jihad qital (bukan cuma dilarang mencabut nyawa orang lain [tanpa hak]). Hak penguasaan atas tanah pun dibarengi dengan kewajiban untuk mengolah tanah tersebut dan lain sebagainya.

Akan tetapi, poin-poin di atas umumnya adalah pada enumerasi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam soalan soalan spesifik saja. Sedangkan, ternyata, keseimbangan antara hak dan kewajiban juga ada pada hakikat yang paling mendasar sekali tentang konsep manusia itu sendiri.

Seorang JK Rowling, ketika menulis Harry Potter, tidak ada suatu apapun yang dapat membatasi apa yang ia tulis melainkan ilmu dan kreativitasnya sendiri. Sedangkan tidak satupun karakter Harry Potter bisa protes bahkan Albus Dumbledore sekalipun. Apalagi Allah yang Maha Tahu dan Maha Pencipta.

Manusia diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana Firman Allah di Surah Adz-Dzaariyat ayat 56. Bahkan salah satu hikmah dari diciptakannya tujuh langit dan bumi adalah untuk mengingatkan manusia akan kuasa Allah atas segala sesuatu, sebagaimana Firman Allah dalam Surah Ath-Thalaq ayat 12, yang barangkali sangat terkait dengan tujuan penciptaan manusia tadi. Bukankah dapat dimaknai bahwa manusia justru tercipta dengan sebuah kewajiban asasi melekat padanya?

Dengan posisi Pencipta ciptaan ini, bukankah nasib dari para ciptaan ini adalah sangat bergantung pada kemurahan Sang Pencipta? Dan, ternyata Maha Pemurah adalah salah satu terjemahan bahasa Indonesia dari salah satu Asmaul Husna yaitu Ar-Rahman. Sebagian ulama menjelaskan Ar-Rahman ini adalah “Maha Pemurah”nya Allah pada semua makhluq tanpa kecuali, beda dengan Ar-Rahim yang hanya untuk para mu’min (lihat Tafsir Ibn Kathir Vol 1). Ada nikmat-nikmat yang diberikan kepada semua makhluq, tapi ada nikmat yang jauh lebih besar yang dijanjikan pada kalangan mu’minin saja: dan inilah surga, khaalidiina fiiha.

Salah satu tadabbur (perenungan-Red) menarik dari Surah Al Faatihah oleh Imam Soheib Webb: separuh awal Surah menunjukkan kewajiban manusia dan hak Allah, separuh kedua menunjukkan hak manusia dan ‘kewajiban’ Allah. Ada keseimbangan. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Ibn Kathir, Surah Al-Fatihah adalah Umm al-Kitab karena (antara lain) merangkum seluruh isi Alquran. Paruh kedua Surah Al-Fatihah intinya meminta petunjuk ke surga, dan ayat tersebut berbentuk doa. Dalam Tafsir Ibn Kathir, dikutip sebuah hadith qudsi yang menyebut bahwa ketika dibaca setiap ayat pada paruh kedua ini, tiap kali Allah akan menjawab “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapat apa yang ia minta.” (Sahih Muslim, Tirmidzi, Ibn Majah, Abi Dawud, dan Malik)

Barangkali di sini dapat dilihat adanya hak yang sangat asasi pada manusia, dan bagaimana ia tidak terlepas dari sebuah kewajiban yang juga sifatnya asasi, semua pada hakikat manusia yang paling fundamental. Alays Allaahu bi ahkamil Haakimiin.

 

 

*Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement