Jumat 15 Dec 2017 19:49 WIB

Jangan Salah Paham Putusan MK tentang LGBT

Fajri Matahati Muhammadin
Foto: dok. Pribadi
Fajri Matahati Muhammadin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fajri Matahati Muhammadin*

Ketika kita mendengar bahwa kemarin Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk mengkriminalisasi Lesbian gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan pasangan kumpul kebo, banyak dari kita yang kemudian ramai sekali mengatakan "rezim ini melegalkan LGBT/kumpul kebo!". Sebagian lain malah berteriak "Ini hari yang bagus untuk HAM!". Padahal, kalau kita mempelajari lagi cakupan fungsi dan kewenangan MK, mungkin kita akan mendapatkan jawaban yang berbeda.

Sebagai pembuka, mungkin perlu disampaikan dulu bahwa tidak ada legalisasi LGBT (khusus Transeksual ada syaratnya) atau kumpul kebo. Hanya saja, tidak ada yang mengkriminalisasi mereka secara categorical (baru pidana kalau misalnya kepada anak di bawah umur atau dengan paksaan). Sudah lama seperti ini, sehingga tidak ada cerita legalisasi apalagi oleh MK yang literally baru kemarin berbicara.

Sesuai Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang salah satunya untuk menguji sebuah Undang Undang (UU) terhadap UUD 1945. Maksudnya adalah ketika ada yang merasa bahwa sebuah UU (baik sebagian maupun seluruhnya) bertentangan dengan UUD 1945 maka ia bisa mengajukannya ke MK untuk membatalkannya. Jika MK berpendapat bahwa UU tersebut melanggar UUD 1945 alias inkonstitusional, maka UU tersebut (atau sebagian pasalnya) bisa dibatalkan.

Nah, salah satu 'bid'ah' yang dilakukan oleh MK adalah bahwa ia bisa memutus sebuah UU (atau sebagian pasalnya) adalah conditionally constitutional/inconstitutional, alias konstitusional/inkonstitusional bersyarat. Maksudnya adalah bahwa sebuah pasal UU tidak serta-merta dibatalkan, tapi sebuah makna atau penafsiran tertentu dipaksakan kepadanya melalui putusan MK. Misalnya adalah dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 kasus Machicha Mochtar soal anak luar kawin.

Dalam putusan tersebut, UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 43(1) berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya." Oleh MK, diputus bahwa pasal ini konstitusional bersyarat. Khususnya, pasal ini konstitusional hanya bila ditafsirkan seperti ini:

"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya" (Putusan hlm 37, Amar Putusan butir 3).

Jika ditafsirkan lain maka inkonstitusional.

Nah dalam kasus LGBT dan kumpul kebo ini, silahkan unduh Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, lalu langsung merujuk pada Pertimbangan Mahkamah terhadap pokok perkara, khususnya butir [3.12] dan seterusnya (halaman 430 dan seterusnya). Ternyata sulit ditemukan ada justifikasi terhadap LGBT dan kumpul kebo, apalagi mengatakan bahwa itu harus dilegalisasi!

MK mempertimbangkan bahwa permohonan untuk mengkriminalisasi LGBT dan kumpul kebo adalah memperluas pasal dengan terlalu jauh sehingga membentuk rumusan pidana yang baru. Maka dari itu, ini sudah bukan lagi termasuk ke dalam cakupan kewenangan MK.

Terlebih lagi, ini adalah konteks hukum pidana. Dalam hukum pidana, berlaku asas yang disebut dengan Asas Legalitas. Menurut asas ini, tidak boleh mempidana seseorang kecuali dengan hukum yang telah dibuat sebelum terjadinya perbuatan pidana tersebut. Memang putusan MK ini adalah dianggap setara dengan UU, tapi dalam hal membatalkan atau setidaknya barangkali dalam menafsirkan. Kalau untuk membuat norma baru, apalagi norma hukum pidana, ini tidak bisa dilakukan oleh MK.

Karena itulah, MK mengatakan bahwa perkara ini adalah ranah kewenangan legislator untuk merumuskannya. Ini hanya masalah forum saja, yang memang bisa dikatakan 'masalah teknis'. Ini adalah logika yang sama misalnya mengapa sidang tilang kendaraan tidak bisa dilakukan di Pengadilan Agama, kenapa sidang kasus korupsi tidak bisa di Pengadilan TUN, kenapa tidak bisa menggugat cerai di International Criminal Court, dan lain sebagainya.

Tentu hal ini tidak disetujui oleh sebagian hakim MK. Sebagaimana kita ketahui, dari sembilan hakim ternyata keputusannya tidak mutlak melainkan 5 versus 4, artinya ini memang berat sekali kasusnya (silahkan lihat putusan halaman 453 dan seterusnya untuk pertimbangan hakim yang berpendapat berbeda). Jadi secara akademis perdebatan bisa panjang.

Terlepas dari kita setuju atau tidaknya terhadap mayoritas MK, tetapi setidaknya ini bukan masalah apakah para hakim merasa bahwa LGBT dan kumpul kebo adalah perbuatan yang baik dan harus dilegalisasi. Semoga penjelasan ini bisa membantu semuanya memahami masalah.

 *Dosen pada Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement