REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Tao Kong dan Pierre van der Eng *)
Januari silam, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengumumkan sepanjang 2016, Indonesia memperoleh investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) dari Cina sebesar 2,7 miliar dolar AS (atau setara Rp 35,928 triliun) (Republika, 25 Januari 2017). Apabila ditambah dengan investasi asing langsung asal Hong Kong, daerah otonom Cina yang mana terdapat banyak perusahaan besar Cina mengendalikan operasional luar negeri mereka, maka jumlah FDI melonjak menjadi 4,9 miliar dolar AS (Rp 65,2 triliun).
Beberapa pekan berselang, Bank Indonesia (BI) merilis Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Berbeda dengan data BKPM, BI mencatat investasi asing langsung Cina ke Indonesia pada tahun lalu hanya 265 juta dolar AS (Rp 3,526 triliun). Apabila FDI asal Hong Kong sebesar 1,4 miliar dolar AS (Rp 18,629 triliun) dimasukkan, maka nominal investasi asing langsung asal Cina hanya seperempat dari data BKPM. Tidak ada penjelasan ihwal perbedaan data antara BI dan BKPM.
Data yang berbeda jelas dapat menimbulkan kebingungan dan kecurigaan para pihak. Apalagi, peningkatan aktivitas perusahaan Cina di Indonesia semakin meningkat sehingga berpotensi mendorong kesalahpahaman perihal peran mereka. Namun, perkiraan kami, perbedaan data antara BKPM dan BI lantaran BI memperkirakan arus masuk FDI dengan basis transaksi asing yang terekam di sistem keuangan Indonesia. Kepala BKPM menjelaskan pada Januari lalu catatan FDI dari Cina terkait dengan investasi Negeri Tirai Bambu untuk proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel dan pembangkit listrik di sejumlah wilayah di Tanah Air.
Lazimnya, proyek-proyek besar dibiayai secara bertahap selama jangka waktu pembangunan. Kemungkinan BKPM merekam komitmen total nilai investasi pada awal mula proyek, sedangkan BI mencatat aliran dana yang masuk dari tahapan terkait yang dapat berlangsung multi years.
Melalui Singapura
Kedua, beberapa perusahaan Cina berinvestasi melalui Singapura. Di sana, banyak perusahaan multinasional Cina yang mendirikan kantor regional untuk kawasan Asia Tenggara. Seiring dengan hal tersebut, sebagian besar bank-bank BUMN besar Cina pun beraktivitas di Negeri Singa. Tentu mereka cenderung akan memberikan pelayanan kepada pelanggan utamanya, yaitu BUMN Cina.
Pada 2015, FDI Cina ke Singapura mencapai 51 persen dari total 62,8 miliar dolar AS (Rp 835,679 triliun) yang diterima seluruh negara Asean. Jumlah tersebut kurang lebih sama dengan total FDI perusahaan-perusahaan Singapura ke negara Asean lainnya sejumlah 64,7 miliar dolar AS (Rp 860,962 triliun).
Pada tahun yang sama, Indonesia menerima 51 persen dari seluruh FDI yang disalurkan oleh Singapura. Dengan kata lain, sangat mungkin pula jika dikatakan Indonesia menerima FDI tidak langsung dari Cina melalui perusahaan-perusahaannya yang berbasis di Singapura.
Akan tetapi, data FDI yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan Cina, menambahkan kebingungan. Mereka mendasarkan nominal investasi asing langsung berdasarkan persetujuan yang tercatat di kementerian. Sampai 2014, perusahaan-perusahaan asal Cina harus mengajukan permohonan izin kepada pemerintah. Alasan utama bagi perusahaan untuk menjalani tahapan adalah mempermudah akses valuta asing yang dibutuhkan untuk menunjang FDI.
Dalam kurun waktu 2004-2015, kementerian telah memberikan izin kepada 628 perusahaan asal Cina untuk mendirikan anak perusahaan di Indonesia. Perizinan itu termasuk pendirian 131 kantor perwakilan. Selama kurun waktu itu pula BKPM mencatat lebih dari 2.500 proyek FDI asal Cina yang direalisasikan. Sebanyak 1.100 proyek lainnya berasal dari investasi asing langsung Hong Kong.
Potong kompas
Kemampuan perusahaan asal Cina untuk memotong saluran resmi dan mengakses valuta asing untuk FDI belakangan meningkat. Dengan begitu, pelaporan kepada otoritas terkait tidak dilakukan. Hal ini berkontribusi pada keputusan Pemerintah Cina pada 2014. Pemerintah menyatakan izin diperlukan untuk perusahaan-perusahaan Negeri Tirai Bambu yang hendak beroperasi di negara-negara "sensitif".
Pada sisi lain, data terkini dari kementerian mencatat aliran investasi asing langsung ke Indonesia dari Cina selama 2015 sebesar 1,5 miliar dolar AS (Rp 19,981 triliun). Sementara data BI menunjukkan FDI asal Cina sebesar 379 juta dolar AS (Rp 5,048 trilin), sedangkan BKPM mencatat 628 juta dolar AS (Rp 8,365 triliun).
Kementerian pun mencatat akumulasi FDI di Indonesia sebesar 8,1 miliar dolar AS (Rp 107,9 triliun) pada 2015. Sedangkan sepanjang 2004-2015 hanya 4,9 miliar dolar AS (Rp 65,272 triliun) yang tiba menurut BI dan 2,4 miliar dolar AS (Rp 31,97 triliun) mengacu BKPM.
Ini adalah perbedaan yang membingungkan. Semua ini kemungkinan besar diakibatkan beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan Cina menyalurkan FDI melalui Hong Kong dan Singapura tanpa memberi tahu kepada otoritas terkait. Kedua, BUMN Cina yang berinvestasi di Tanah Air mengajukan izin kepada kementerian dan berinvestasi di Indonesia secara bertahap. Ketiga, kementerian turut menghitung pendapatan yang diperoleh perusahaan-perusahaan asal Cina di Indonesia.
Harus diakui data statistik di Cina turut membantu mengatasi permasalahan yang kerap disalahpahami di Indonesia. Perkembangan pesat ihwal kehadiran perusahaan Cina di Indonesia juga disebabkan banyak kontraktor dan subkontraktor untuk pembangunan dan pengelolaan proyek yang didukung oleh kementerian/lembaga Pemerintah Cina sebagai bagian dari One Belt One Road (OBOR).
Peran perusahaan-perusahaan itu terkadang membingungkan jika disandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang mengalirkan FDI. Tercatat ada 49 perusahaan konstruksi Cina yang harus berinvestasi dengan jalan mendirikan anak perusahaan di Indonesia. Sebenarnya, nominal FDI mereka kecil, namun nilai proyeknya besar.
Data terakhir dari Badan Statistik Cina menunjukkan nilai proyek yang diselesaikan perusahaan-perusahaan Negeri Tirai Bambu di Indonesia per 2015 mencapai 4,8 miliar dolar AS (Rp 63,94 triliun). Nilai ini lebih besar dibandingkan FDI dari Cina pada tahun yang sama.
Perlu dipahami, nilai itu bukanlah nominal FDI, melainkan nilai kontrak proyek pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan swasta dalam negeri dengan perusahaan-perusahaan asal Cina. Perusahaan-perusahaan Cina kerap memenangi tender lantaran penawaran yang kompetitif disertai fakta proyek dibiayai dengan pinjaman lunak bank-bank BUMN Cina dengan suku bunga rendah serta tenor yang lama.
Sebab akibat
Namun, patut dipahami pula, kontrak dengan perusahaan Cina bukan tanpa akibat. Ambil contoh dari sisi utang luar negeri. Tercatat pada kurun waktu 2010-2016, jumlahnya meningkat sebanyak enam kali lipat. Padahal utang Indonesia ke negara-negara lain meningkat hanya 1,3 kali lipat. Kontraktor dan subkontraktor Cina juga kerap menggunakan bahan dan peralatan asal negara mereka. Sekadar catatan, impor ponsel kerap dituding sebagai penyebab defisit perdagangan Indonesia.
Data statistik Indonesia mencatat nilai impornya mencapai 2,6 miliar dolar AS (Rp 34,634 triliun). Itu hanya sebagian dari semua impor Cina. Indonesia mengimpor lebih banyak bahan yang terkait dengan konstruksi dan peralatan nonelektronik dan mesin. Perinciannya 4,7 miliar dolar AS (Rp 62,6 triliun) untuk bahan bangunan, baja, perlengkapan kamar mandi, dan lain-lain. Sementara sebanyak 2,3 miliar dolar AS (Rp 30,638 triliun) bersumber dari crane, buldoser, AC, dll.
Pada akhir 2015, jumlah pekerja Cina di proyek-proyek konstruksi Indonesia sebanyak 13.775 orang. Jumlah ini kurang dari setengah ekspatriat yang bekerja secara legal di Tanah Air yang tercatat 31.030 orang.
Tanpa informasi yang konsisten dan transparan dari institusi resmi terkait peran perusahaan Cina terhadap perekonomian Indonesia dan organisasi swasta semisal Kamar Dagang dan Industri Cina atau Indonesia-China Business Council, berita-berita palsu terkait sifat, ukuran, dan keinginan perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu bakal bakal terus bertahan di Indonesia.
*) Tao Kong merupakan Associate Professor in Economics di Peking University, sedangkan Pierre van der Eng adalah Associate Professor in International Business di the Australian National University.